Makasih sudah baca gaes ...
🍁Jangan lupa subscribenya biar tidak ketinggalan update cerita ini!🍁
Bukannya hilang dari pikiran, pertemuan terakhir mereka malah membuat Naomi terus terbayang sosok mantan kekasihnya.
Naomi sendiri heran, mengapa bayangan Imam begitu lekat menempel di kepala. Mungkinkah cintanya pada lelaki itu sangat besar, atau Naomi sendiri yang belum ikhlas melepasnya?
Dua hari telah berlalu setelah kepulangannya di Jepang. Cepat atau lambat orang tuanya akan mempertemukan dirinya dengan si calon suami.
Mamanya bilang lelaki itu lebih banyak tinggal di Indonesia, mengurus perusahaan orang tuanya yang bergerak di bidang otomotif, tapi ia akan datang ke Jepang beberapa hari lagi.
Naomi tidak tertarik mendengar info apa pun tentang calon suaminya. Setelah cintanya kandas, ia hanya bisa pasrah pada keputusan orang tuanya dan berharap bisa melupakan Imam.
Ah, lagi-lagi nama lelaki itu …
Langit terlihat suram.
Noami mempercepat langkah agar tidak bertemu hujan yang sebentar lagi akan membasahi jalanan.
Jepang sudah memasuki musim gugur dan akhir-akhir ini hujan terus mengguyur. Daun-daun momiji terlihat berserakan menutupi pori-pori tanah yang dilapisi rerumputan.
Gadis itu memasukkan tangannya ke saku jaket sambil mengigil kedinginan. Tubuhnya masih menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang lebih dingin dari Indonesia.
Uap tipis tampak menyembul dari mulut mungilnya saat ia mendesah, lalu hilang begitu menyatu dengan udara luar.
Naomi tiba di depan toko temannya yang baru saja diresmikan sebulan lalu ketika ia masih berada di Indonesia.
Karena tidak hadir dalam acara peresmian itu, Ami kelewat jengkel, mengancam akan memutuskan pertemanan dengan Naomi jika gadis itu tidak datang ke tokonya hari ini juga.
“Kau benar-benar keterlaluan. Pulang nggak bilang-bilang, sekarang telat datang. Apa perlu aku mengancammu lagi?!” Ami langsung mengomel begitu Naomi tiba di ruangannya.
Naomi hanya tersenyum kecil, melepas syal dan jaket tebalnya , lalu meletakkan benda-benda itu ke gantungan khusus.
Ruangan tempat Ami bekerja tidak terlalu luas, tapi cukup nyaman dan hangat.
Naomi lega terbebas dari udara dingin yang bisa jadi akan membuat darahnya membeku bila ia terlalu lama di luar ruangan.
Ami terlihat mengenakan celemek berwarna biru muda dengan gambar gajah di tengahnya. Rambut panjang gadis itu dikucir rapi ke belakang. Di mejanya terdapat seloyang kue kering yang gosong.
“Jadi, apa yang bisa kubantu?” tanya Naomi, tidak menghiraukan kalimat temannya tadi.
Ami menunjuk sofa yang menghadap ke jendela dengan dagu. Naomi mengerti apa mau gadis itu dan segera merebahkan diri di sana.
“Sebenarnya, aku hanya ingin kau menemaniku saja.” Ami duduk di sampingnya setelah melepas celemeknya yang bernoda. “Yuka sibuk dengan S2-nya sedangkan Yuki mengelana entah kemana, sepi deh …” desah gadis itu menyebut kedua sepupu kembarnya. “Kalau kau sedang tidak sibuk hari ini, mungkin kau bisa mengajariku menghias kue serabi.”
Toko Ami menjual aneka kue dari berbagai macam negara, salah satunya Indonesia. Sebagian besar kue Indonesia yang terpajang di etalase hari ini merupakan hasil belajarnya dengan Naomi dulu.
“Menurutku, kue serabi tidak perlu dihias,” ujar Naomi datar. “Tapi nggak salah juga kalau kau mau mencoba. Itu akan jadi menarik …”
“Tepat sekali.” Ami menatap dengan binar antusias. “Ayo, ke dapur!” ajaknya sambil menyeret Naomi menuju dapurnya yang bersih dan rapi.
Di ruangan berukuran 6 x 8 meter itu, mereka tenggelam dalam tugas masing-masing.
Naomi terlihat membungkuk sambil mengoleskan sesuatu ke atas kue-kue di hadapannya tanpa tertarik dengan keadaan sekitar. Ia bahkan tak peduli ketika salah satu karyawan Ami menumpahkan minuman panas dan hampir mengenai tubuhnya.
“Ragamu di sini, tapi pikiranmu melayang ke tempat lain. Menyedihkan!” Ami mendesah panjang, berdiri melipat tangan di samping Naomi.
“Apa maksudmu?” Naomi balik bertanya tanpa memandangnya.
“Sejak tadi kau tidak konsentrasi. Atau lebih tepatnya, kau pasti masih memikirkan mantanmu itu ...”
Naomi menghentikan gerakan tangan, mengingat kembali percakapannya dengan Ami di telepon ketika ia dalam perjalanan pulang dari Singapura.
Ia menegakkan tubuh dan mendesah panjang, menyesali kelakukannya waktu itu yang curhat pada Ami sambil menangis di sembarang tempat.
“Tuh, kan … ngelamun lagi! Liat apa yang kau lakukan pada kue-kueku?” Ami menunjuk adonan di depannya dengan pandangan tak rela.
“Maaf, aku akan memperbaikinya,” ucap Naomi ringan saat menyadari kue basah yang dihiasnya tampak mengerikan.
Ami hanya mendesah sambil menggelengkan kepala. “Aku jadi penasaran, seperti apa wajah mantanmu itu? Ada banyak lelaki tampan di dunia ini, tapi kau memilih terpuruk pada satu nama yang sudah menolakmu,” ujarnya dan berlalu pergi.
***
Sepulang dari toko Ami, Naomi pergi ke tempat kursus Bahasa Arab. Ia sudah mendaftar online untuk belajar di sana beberapa waktu lalu.
Gadis itu ingin menambah ilmu bahasanya meskipun ia sedang sibuk mengurus salah satu restoran orang tuanya di Tokyo.
Baru pukul tiga. Kelas masih sepi dan hanya ada dirinya.
Naomi mengambil notes di tas dan mulai mencoret-coreti buku kecil itu, membuat kerangka karangan untuk novelnya yang baru.
Selain menjadi manager restoran, ia juga seorang penulis buku. Beberapa bukunya yang pernah duet bersama Yuka sudah best seller dan disukai banyak remaja Jepang.
“Ano, koko ni suwattemo ii desuka?”
Karena tenggelam dalam kerangkanya, Naomi sampai tak sadar ada seseorang yang sudah berdiri di depannya, meminta izin duduk di dekatnya.
Naomi mendongak dan melihat pria tampan mirip Mackenyu Arata sedang tersenyum manis. Gadis itu mengedarkan pandangan dan mengernyit heran, kenapa pula si Arata ingin duduk di sampingnya sedangkan bangku lain masih kosong melompong?
Belum juga Naomi mengiyakan, Mackenyu Arata merebahkan diri pada kursi di sebelahnya. “Hai, Naito desu. Yoroshikune …” ujarnya memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan.
Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum menjawab. “Eh, Naomi desu. Yoroshiku …” ujarnya lirih dengan menakupkan tangan di dada.
Naito terbelalak karena tangannya diabaikan. Baru kali ini ia mengalami penolakan seorang wanita. Sepertinya gadis dengan penutup kepala itu tidak tertarik dengan wajah tampannya, karena Naomi kembali sibuk dengan tulisannya lagi.
Namun, wajah Naomi yang setengah Jepang itu berhasil menyedot seluruh perhatian Naito, seolah tak ada pemandangan lain yang lebih indah daripada parasnya yang cantik. Naito terbengong menatap Naomi tanpa kedip.
“Ada yang bisa saya bantu?” Naomi mendadak menoleh, netra beningnya bertumbukan dengan mata Naito yang tajam. Ia merasa risih dilihati sedemikian intens, padahal mereka baru saja bertemu beberapa detik yang lalu.
Naito sama sekali tidak gugup saat ketahuan mencuri pandang ke arah gadis itu. Senyumnya malah mengembang tipis dan kepalanya sedikit maju. “Ada, tetaplah seperti itu agar aku bisa menikmati wajah cantikmu.”
Naomi melongo seketika, tak percaya pria itu berani melemparkan gombalan receh padanya.
Dasar tidak sopan!
***
Sekarang kita akan membahas tentang bentuk –te, atau akhiran –te setelah kata kerja.
Dalam bahasa Jepang, akhirat –te biasanya digunakan untuk meminta tolong.
Sono Hon wo totte kudasai.
Kata kerja yang dipakai di sini adalah totte, berasal dari bentuk kamus toru, yang artinya mengambil. Kalau kita mau menyuruh orang, tidak pakai toru, tapi totte.
Toru diubah dulu ke dalam bentuk –te. Karena belakangnya –ru, maka perubahan –te nya dimatikan. Jadinya, totte.
Kudasai itu imbuhan untuk memperlembut kalimat atau biar jadi sopan.
Jadi dalam kalimat sono hon wo totte kudasai, artinya, tolong ambilkan buku itu.
Kalau dalam percakapan di atas, koko ni suwatte mo ii desuka? Menyatakan permintaan izin, karena bentu –te diikuti oleh mo ii desuka? Yang bisa diartikan, bolehkah saya …
Jadi, si Naito ini meminta izin untuk duduk di samping Naomi.
Koko sendiri artinya “di sini”, diikuti partikel NI atau bisa diartikan “di”
Untuk menunjukkan tempat bisa menggunakan koko – di sini artinya lebih dekat dengan pembicara dan lawan bicara, soko – di situ artinya agak jauh, atau asoko – di sana yang tak terjangkau oleh pembicara dan lawan bicaranya.