Setelah kejadian yang tidak mengenakkan itu, Naomi terpaksa selalu menerima tawaran Naito untuk mengantarnya pulang sampai rumah.
Gadis itu duduk berseberangan dengan teman sekelasnya di kereta sambil terus menunduk. Akhir-akhir ini, setiap kali ia bersama Naito hatinya selalu berdebar aneh.
Naomi hanya takut, dirinya jatuh cinta pada pria itu sedangkan ia sendiri sudah menerima lamaran orang lain.
“Kita sudah sampai!” Naito menunduk, menatap Naomi yang sedang mengamati lantai kereta. Gadis itu mendongak dan mengerjap tak mengerti. “Tsuita, yo!” ulang Naito lagi.
“Ah, maaf … aku melamun.” Gadis berhijab pasmina itu salah tingkah melihat netra Naito yang cerah. Ia berdiri, berjalan beriringan dengan Naito ke luar dari ular besi itu.
“Kau tidak ingin makan dulu? Di sana ada restoran halal.” Naito menunjuk sebuah kedai kecil di dekat toko kelontong ketika mereka tiba di luar. “Aku yang traktir!” tambahnya cepat sebelum gadis itu menjawab.
Naomi mendesah melihat punggung Naito yang menjauh. Lelaki itu menoleh dan berhenti, tersenyum sambil melambai ke arahnya.
“Ayo, cepat!”
Dengan berlari kecil, ia menyusul Naito yang hampir tiba di depan pintu. Naomi disambut pelayan yang mengenakan jilbab juga.
“Naomi Chan, selamat datang!” ucap wanita itu sambil tersenyum ramah. “Ayo, silakan duduk!”
Mereka berbincang sesaat dan tertawa-tawa.
Melihat keakraban Naomi dengan pemilik kedai Naito mengangkat bahunya. “Kukira kau belum tau tempat ini, makanya kuajak ke sini …” Ia duduk setelah menggantungkan jaket di gantungan sebelahnya.
Tempat itu sedang tidak terlalu ramai namun itulah yang membuat Naomi merasa nyaman di sana. “Apa kau menganggapku baru saja pindah ke Jepang?” Ia tertawa ringan. “Aku sering ke sini, dan aku tidak bosan melakukannya … kau memilih tempat yang tepat!”
Naito merasakan kelegaan yang luar biasa. Ia pikir Naomi tidak suka, tapi ternyata gadis itu sangat menyukai pilihannya.
“Pesanlah apa pun yang kau mau …”
Sepuluh menit kemudian pesanan mereka datang. Sambil makan mereka mengobrol banyak hal. Naomi lebih banyak tertawa, mendengar lelucon Naito walau kadang terasa garing. Selera humor orang Jepang asli dengan orang Jepang-Indonesia akan tetap ada bedanya.
Di luar gerimis. Beberapa pejalan sempat berteduh di depan warung mungil itu, membuka payung lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Naito menggosok-gosokkan kedua tangannya di bawah meja. Ia menoleh ke sebuah ruangan untuk kesekian kali, mengecek apakah Naomi sudah selesai melaksanakan ibadahnya atau belum.
Beberapa detik yang menegangkan, akhirnya gadis itu muncul dari balik pintu bersama pelayan wanita yang menyapanya ketika masuk tadi.
Mereka bergurau sesaat, entah apa yang dibicarakan tapi Naomi sempat melihat ke arahnya sekali, tertawa kecil, lalu menggeleng.
Ketika gadis itu kembali berjalan ke mejanya, Naito menarik napas dan mengembuskannya panjang. “Maaf, membuatmu menunggu lama.” Naomi duduk di tempat semula. “Kita pulang sekarang?”
“Tidak!” ujar Naito cepat, lalu ia kembali meralat ucapannya. “Maksudku, di luar hujan, sebaiknya kita tunggu sampai reda.” Alasan yang tepat.
Naomi menoleh ke luar jendela dan mengangguk. Ia baru sadar kalau hujan sudah mengguyur deras.
“Naomi Chan …”
“Hm?” Gadis itu menolehnya lagi.
Bibir Naito tampak bergerak-gerak tapi tak ada suara yang keluar. Ia menegakkan tubuh dan berdehem keras. Tatapannya pun berubah serius. Lalu, pada detik berikutnya, Naito mengulurkan tangan ke depan setelah mengambil sesuatu dari sakunya.
“Maukah kau menikah denganku?”
Mata Naomi melebar begitu melihat kotak kecil berwarna merah terang tersodor ke arahnya.
“Aku tau ini terlalu cepat. Mungkin juga tidak ada romantisnya, tapi aku takut tidak punya kesempatan lagi bila tidak mengatakannya sekarang …”
“Naito …”
“Anata no koto ga suki da!” Naito memotong kalimat Naomi dengan menyatakan isi hatinya.
Hening sejenak.
Kedua tangan pria itu masih terarah ke depan sedangkan sesuatu di dalam dada Naomi bergemuruh cepat. Pernyataan cinta lelaki tampan itu sangat tak terduga. Ia sampai mencubit tumitnya di bawah meja untuk menyadarkan diri sendiri.
Ini bukan mimpi! Naomi merasakan sakit ketika ibu jari dan jari telunjuknya bekerjasama menarik kulitnya.
“Kita berbeda Naito.” Akhirnya Naomi berani mengeluarkan suara setelah mereka disekap kebisuan. “Aku tidak bisa menikah dengan orang yang tidak sekeyakinan …” ucapnya memberi alasan yang logis. Naomi berharap pria itu mau mengerti.
Naito menarik tangannya. “Banyak orang yang berbeda keyakinan nyatanya bisa bersama,” jelasnya kemudian.
Naomi menggeleng pelan. “Dalam Islam itu tetap tidak boleh … Lagi pula, aku sudah menerima lamaran lelaki lain.”
“Bukankah selama ini kau bilang tidak pacaran?”
“Ya, aku memang tidak pacaran, tapi akan langsung menikah dengan seseorang yang seiman denganku. Maaf …”
Hening kembali menyambangi keduanya. Hanya suara hujan di luar yang terdengar, juga percakapan beberapa orang di kedai itu yang terdengar membahagiakan.
“Seandainya aku masuk Islam … apa kau akan menerima lamaranku dan membatalkan pernikahanmu itu?”
Naomi mendongak, tak menyangka Naito akan bertanya seperti itu. Ia akui Naito orang yang baik, tapi ikatannya dengan Arga tidak bisa dibatalkan.
Akhirnya, gadis itu memilih menggeleng lagi.
“Siapa pria itu?”
Naomi mengigit bibir dan mengesampingkan wajahnya ke arah luar. Di balik kaca jendela itu, rintik hujan masih setia mengguyur jalanan. “Orang yang pernah menjemputku sepulang dari kelas bahasa Arab. Kau pernah bertemu dengannya,” ujarnya lirih.
“Kau mencintai pria itu?”
“Untuk saat ini belum. Kami baru bertemu beberapa kali, dan aku tidak begitu mengenalnya.” Naomi menunduk.
“Dan kau mau menikah dengan seseorang yang tidak kau suka?!” Suara Naito terdengar sedikit frustasi. Kedua tangannya mengepal kuat. “Aku tidak akan membiarkanmu hidup dengan lelaki yang tidak kau cintai, Naomi …”
“Aku akan baik-baik saja!”
“Kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri,” sanggah Naito. Pelipisnya berkedut sedangkan kulit wajahnya memerah.
Naomi melihat tangan Naito gemetar karena emosi yang berlebihan. “Itu pilihanku, Naito. Aku akan mencoba membuka hati untuknya. Lebih baik begitu, daripada semuanya jadi berantakan.” Ia menatap netra cerah itu dengan binar kesedihan.
“Lalu, bagaimana denganku? Apa kau tidak mencintaiku?”
Naomi menunduk. "Gomen, ne ... Kau pasti akan menemukan cinta sejatimu suatu saat nanti ..."
The end
***
Permintaan maaf dalam bahasa Jepang ada beberapa macam. Kalau yang dipakai sesama teman sejawat, atau orang yang sudah akrab biasanya menggunakan gomen, gomen ne, warukatta, warui, sumimasen.
Sedangkan untuk bahasa yang lebih sopan, atau yang digunakan kepada orang yang lebih dihormati menggunakan, sumimasen deshita, warui desu, moshiwake arimasen.
Nah, kalau di bab sebelumnya kita sudah belajar kata kerja bentuk kamus, sekarang ditambah dengan perubahan kata kerja.
Di percakapan di atas ada kata ‘Tsuita, yo!’
Sebelum lanjut, perhatikan kolom di bab sebelumnya. Tsuita itu berasal dari kata tsukimasu yang artinya tiba. Kalau mau diubah jadi bentuk kamu jadinya ‘tsuku’
Agar kita paham dengan perubahan bentuk –te, -ta, -nai kita pelajari rumus di bawah.
Untuk setiap akhiran bentuk kamus di bawah ini, diikuti dengan perubahan yang ditebalkan.
A - I - U- E - O
KA - KI - KU - KE - KO
SA - SI - SU - SE - SO
TA - CHI - TSU - TE - TO
NA - NI - NU - NE - NO
HA - HI - FU - HE - HO
MA - MI - MU - ME - MO
YA - YU - YO
RA - RI - RU - RE - RO
WA - O
N
GA - GI - - GE - GO
ZA - ZI - ZU - ZE - ZO
BA - BI - BU - BE - BO
PA - PI - PU - PE – PO
Setiap akhiran bentuk kamus kata kerja pertama U, TSU, RU diikuti –tta, contoh dari Tsukimasu bentuk kamus ‘Tsuku’ berubah jadi ‘Tsuita’
Setiap akhiran bentuk kamus kata kerja pertama BU, NU, MU diikuti –nda, contoh dari Nomimasu bentuk kamus ‘Nomu’ berubah jadi ‘Nonda’
Setiap akhiran bentuk kamus kata kerja pertama KU, GU, SU diikuti –ita, contoh dari Hanashimasu bentuk kamusnya ‘Hanasu’ berubah jadi ‘Hanashita’
Sedangkan akhiran bentuk kamus dalam kata kerja kedua tinggal tambah –ta saja. Misalnya Tabemasu bentuk kamus ‘Taberu’ berubah jadi ‘Tabeta’
Untuk akiran bentuk kamus dalam kata kerja ketiga juga tinggal tambah –ta. Misalnya Shanposhimasu bentuk kamusnya ‘Shanposhuru’ berubah jadi ‘Shanposhita’