Hari pernikahan sudah ditentukan.
Sebulan lagi Naomi akan menyandang gelar sebagai seorang istri Arga Sanjaya. Meskipun di depan teman-temannya gadis itu terlihat ceria, tapi tidak di hatinya yang menyimpan segudang kegundahan.
Naomi merasa keputusannya menerima perjodohan ini salah. Karena sampai detik ini perasaannya masih biasa saja. Ia sama sekali tak tertarik pada Arga walaupun pria itu kelewat tampan.
Yang gadis itu heran, kedekatannya dengan Naito malah membuatnya semakin nyaman. Naito pria yang ceria, apa adanya, juga selalu berhasil membuat Naomi tertawa.
Ya, sekarang gadis itu sudah menganggap Naito sebagai teman. Pertemuan mereka setiap sore saat belajar bahasa Arab mengakrabkan keduanya.
“Aku tidak bisa, Naito …” seru Naomi ketika pria itu hendak mengajaknya jalan-jalan ke Fukuoka.
“Kenapa? Kita hanya jalan-jalan saja, kan … menurutku nggak masalah.”
“Justru itu yang membuat masalah.” Naomi menghadapkan tubuh ke Naito dengan sedikit menggeser kursi. “Aku dan kamu bukan mahram, kita tidak bisa sembarangan pergi berdua, apalagi kau bilang kita juga mau menginap,” tegasnya sambil memutar bola mata. Konyol sekali jika ia mau menerima ajakan Naito.
“Tapi kita sering duduk berdekatan, seperti sekarang …” Naito merentangkan tangan, seolah ingin membuktikan bahwa bangku mereka saja berdekatan jadi tak masalah bila mereka jalan berdua, bukan?
Naomi menatapnya malas. “Itu karena kita di kelas, banyak orang yang melihat.” Dia mengemasi buku dan memasukkannya ke tas. “Aku harus pergi, ada janji sama temen.”
Naito ikut berdiri ketika Naomi menggendong tasnya. “Di luar juga banyak orang, Naomi ... Sungguh, keyakinanmu itu pelit sekali, terlalu mengekang seorang wanita,” ujar lelaki itu sambil menyejajari langkah Naomi yang terburu-buru.
Gadis itu hanya mengembuskan napas dan mengabaikannya. “Kau tidak akan mengerti kalau kau sendiri tidak mau meyakini adanya agama, Naito,” terangnya tanpa memandang wajah si Mackenyu palsu.
Mereka sudah di luar. Naomi berdiri di dekat restoran Turki yang menguarkan aroma lezat. Satu dua orang keluar masuk tempat itu, membuat penciuman Naomi semakin terseret ingin mencicipi berbagai menu yang dijual di sana.
“Ayolah, Naomi … kita tidak pacaran, hanya kencan saja!” Naito masih membujuk, berdiri di sebelah Naomi seraya menyelipkan tangan ke saku jaket.
Naomi mencebik kecil ke arahnya.
“Punya agama itu memang merepotkan dan aku tidak suka itu,” tambah Naito kesal.
“Kau bisa bilang seperti itu karena kau orang yang nggak suka diatur sedangkan dalam setiap agama sendiri ada aturannya masing-masing.”
Naito mengangguk membenarkan kalau dia tipe orang yang tidak suka diatur-atur. “Aku tidak yakin Tuhan itu ada. Buktinya, masih banyak kejahatan dan banyak manusia yang hidup sengsara … misalnya saja, seperti kau yang dibuat sakit hati atas kehilangan pacarmu itu.”
Naomi mendelik karena Naito mengingatkannya pada Imam. Ia sudah bisa melepas ikhlas pria itu dan berjanji tidak akan menangis lagi bila teringat penghianatannya.
Gadis itu tidak berkata-kata sesaat lalu tersenyum kecil ketika melihat seorang pria dengan rambut panjang tak beraturan melintas di depan mereka.
“Kau liat pria itu?” Pandangan Naito tertuju ke arah yang ditunjuk Naomi. “Aku yakin di Jepang tidak ada tukang potong rambut sehingga masih ada orang dengan rambut seperti itu berkeliaran.”
Naito mendengus geli. “Tentu saja ada. Kalau dia mau mencari pasti bisa menemukannya dimana-mana.”
“Nah, seperti itulah …” ujar Naomi riang. Kulit wajahnya yang menahan dingin memendar rona merah di kedua pipi. “Tuhan itu ada, hanya saja banyak orang yang tidak mau mencarinya, karena itu masih banyak kejahatan dan kesulitan di dunia ini. Coba kalau mereka mau kembali kepada Tuhan, aku jamin hidup mereka akan baik-baik saja.”
Itu benar, setiap manusia yang kembali di jalan Tuhan akan menemukan kebahagian di hati dan jiwanya. Bukankah Allah sendiri sudah berfirman bahwa hanya dengan mengingat-Nya hati akan kembali tenang?
Naito tampak termangu, memandang wajah teduh di hadapannya. “Kalau dia benar-benar ada, mengapa dia membiarkan orang itu merebut semua kebahagiaanku?” gumam pria itu yang membuat Naomi mengkerutkan kening.
“Maksudmu?”
“Mengapa Tuhan membiarkan kebahagiaanku hilang, Naomi?” tanyanya tegas.
Naomi tidak langsung menjawab. Ia mengembuskan napas pelan hingga kepulan uap dari rongga mulutnya keluar perlahan. Syalnya yang melilit di leher sedikit membenamkan wajahnya. “Bukan karena Dia merebut kebahagiaanmu, Naito. Mungkin … kaulah yang tidak bisa ikhlas dengan apa yang terjadi padamu. Makanya kau merasa terus menderita ...”
Ucapan Naomi yang terakhir ini membuat Naito bungkam. Selama beberapa saat hanya keramaian yang terdengar di antara keduanya.
Suasana mulai meredup. Awan-awan mulai menggelap. Lampu-lampu jalanan pun sudah menyala sejak tadi.
“Kalau kau mau berdamai dengan semua lukamu, pasti akan ada bahagia di hatimu, Naito Kun.” Kalimat itulah yang sebenarnya lebih pantas ditujukan pada dirinya sendiri. Bila Naomi ingin berdamai dengan lukanya, maka ia akan mudah melepaskan Imam sejak dulu.
Naomi mengeratkan jaket dan membenahi syal. Wajahnya kembali terlihat penuh. Walaupun sudah mengenakan jilbab, dingin masih bisa menembus pakaiannya. Dan ia paling tidak suka berlama-lama di luar ruangan ketika cuaca sedang dingin-dinginnya.
“Ah, temanku sudah tiba. Aku pergi dulu!” Gadis itu berlalu dari hadapan Naito.
Mata Naito mengikuti gerakan Naomi yang berlari-lari kecil mendekati temannya. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, gadis blasteran itu kembali menolehnya, melambai dengan menyuguhkan senyuman manis lagi.
Sekali lagi, senyum itu menular padanya namun Naito tidak menyadari bibirnya ikut melengkung ke atas.
***
“Sebaiknya kau pertimbangkan keputusanmu, Naomi.” Yuki menunjuk temannya yang berjilbab itu dengan garpu.
Mereka sedang berada di toko Ami, menikmati beberapa potong lumpia yang masih hangat sambil ngeteh.
Naomi menggeleng pelan. “Aku tidak bisa menolaknya. Orang tuaku akan malu jika aku membatalkannya …” Mulutnya membuka sehingga potongan makanan asal Semarang itu mulus mendarat di sana.
“Tapi kau yang mau menikah, bukan mereka!”
“Iya, aku tau … tapi aku tidak bisa!” ujarnya dengan mengangkat sebelah bahu.
Gadis berambut sebahu itu hanya memutar bola mata malas. Naomi terlalu patuh pada orang tuanya. “Kau tidak punya pendirian,” umpatnya lirih namun Naomi sama sekali tidak tersinggung.
“Kalian di sini sampai jam berapa?” tanya Ami yang baru saja duduk di antara mereka.
“Setelah ini kita pulang. Mau bareng?” Yuki yang menjawab.
“Tidak, aku masih banyak kerjaan,” jawab Ami lalu menoleh ke arah Naomi dan mendesah. “Aku sudah mendengar semuanya dari Yuki, pastikan kau mempertimbangkannya lagi, Naomi. Menikah tanpa cinta itu mengerikan,” ujarnya dengan menggerakkan tangan membentuk cakaran.
“Aku sudah membujuknya tapi dia tidak mau.” Yuki mengedikkan bahunya.
Ami menggeleng pelan dan kembali memerhatikan teman Indonesia-nya itu lekat. “Baiklah, semua keputusan memang ada di tanganmu, tapi kalau kau ingin mundur sekarang, lakukan sebelum semuanya terlambat.”
Naomi menghargai perhatian teman-temannya tapi gadis itu tidak bisa membatalkan pernikahan ini. “Aku ingin pulang sekarang!” ujarnya setelah makanan tandas.
***
“Kita berpisah di sini, hati-hati!” Yuki memeluk Naomi erat. “Apa pun keputusanmu, semoga menjadi yang terbaik.”
Senyum Naomi terkembang. “Arigatou …”
Mereka saling menyemangati sebelum berpisah di persimpangan jalan yang menuju tempat tinggal masing-masing.
Bulan menggantung penuh di atas sana. Cuaca malam semakin dingin. Beberapa kendaran di jalan raya melintas dalam jarak yang cukup lama.
Naomi menyempatkan salat di masjid yang baru saja diresmikan dua minggu lalu di sekitar tempat itu sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
Akhir-akhir ini pemerintah Jepang gencar membangun fasilitas ibadah untuk kaum muslim. Mungkin karena sebentar lagi akan ada olimpiade Tokyo sehingga hampir di setiap tempat umum dibangun musalanya. Tidak terlalu luas, tapi cukup nyaman bila digunakan untuk beribadah.
Setelah selesai, tak lupa Naomi memohon pada Sang Penguasa Hati agar diberikan keridaan atas segala pilihannya, karena hanya dengan rida-Nyalah semua akan berjalan baik-baik saja.
“Hei, gadis cantik!” Seseorang menghadang jalannya ketika Naomi sudah beberapa meter meninggalkan tempat ibadah tersebut.
“Si-siapa kalian?” Ia gelisah mendapati tiga pria terhuyung-huyung ke arahnya. Dilihat dari penampilannya, mereka bukan orang baik-baik, apalagi banyak tato yang terlukis di wajah dan tangan mereka ...
“Kemarilah, kita bersenang-senang …” Pria itu kembali berteriak, disusul tawa kedua temannya.
Naomi memundurkan langkah hati-hati namun seorang dari mereka memblokade jalan pelariannya dari belakang. Gadis itu terkepung. Indera penciumannya langsung menangkap bau minuman keras yang cukup kuat.
“Ka-kalian mau apa?” gugup Naomi seraya memeluk dirinya sendiri.
Meskipun ia sudah mengenakan pakaian syar’i, tidak menutup kemungkinan ketiga orang itu akan berbuat******padanya, bukan?
“Heeee … gaikoku jin ka?” ucap pria dengan kemeja terbuka di bagian atasnya sambil menatap penampilan Naomi lekat-lekat. Ia menyadari gadis itu seorang warga asing.
“Tidak masalah, ayo kita lakukan!” Yang lain lagi menimpali, masa bodoh dengan status gadis itu, mereka hanya ingin bersenang-senang.
Pria di dekat Naomi tadi mengulurkan tangan dan menarik hijab Naomi secara kasar. Gadis itu langsung berteriak minta tolong sambil berusaha menahan kerudungnya agar tidak terlepas.
Suasana di sekitarnya sangat tidak mendukung karena bukan jalanan umum. Naomi harus berjuang mati-matian untuk melepaskan diri.
Dua penjahat lainnya ikut mengerubungi Naomi yang sekarang jatuh terduduk dan terperosok ke semak-semak. Sayangnya, tak ada satu pun yang berhasil hasil menyingkap jilbab gadis itu karena Yuki datang dan menendang salah satunya sampai terjengkang.
Kedua teman lelaki yang terjengkang tadi menoleh dan menatap bengis ke arahnya. “Tidak akan kubiarkan kalian menyentuhnya seinci pun!” geram Yuki, kemudian menghantam pria di hadapannya dengan mata nyalang. Orang itu pun ambruk namun sisanya maju menyerang.
Naomi menepi dan memeluk tubuhnya dengan napas tersengal. Ia melihat salah satu dari kelompotan itu mengeluarkan pisau untuk melawan Yuki.
“Yuki, awas!” teriaknya ketakutan. Temannya itu dengan mudah menghindari serangan dan langsung mengeluarkan senjata dari balik jaket.
TANG!
Dentingan besi tajam beradu, membuat napas Naomi tercekat ketika menyaksikan serpihan api yang keluar di antara benda itu. Ia tak menyangka Yuki menyimpan sesuatu berbahaya di balik pakaiannya.
Yuki mendorong kuat pisau musuhnya dan langsung menebas ke depan dengan ganas. Ia melompat ke samping untuk menghindari serangan benda tajam itu lalu kembali mengirim pukulan. Naomi memejamkan mata sesaaat ketika Yuki dengan mudahnya membanting orang itu tanpa ampun.
Dalam lima menit pertarungan, ketiga lelaki******itu akhirnya terkapar di bawah kaki Yuki. Wajah mereka penuh luka dengan darah yang mengalir dari ujung bibir atau lubang hidungnya.
Antara percaya dan tidak, Naomi baru saja menyaksikan pertarungan mematikan dengan mata kepalanya sendiri.
Harusnya ia tak perlu mengkhawatirkan nasib Yuki. Para berandalan itulah yang sekarang lebih pantas dicemaskan.
Yuki seorang mantan pencuri bayaran yang dulu pernah menghebohkan seluruh Jepang dengan aksinya. Ia bahkan telah membunuh banyak nyawa dan Naomi sendiri tahu akan hal itu ...
Teringat kembali akan masa lalu temannya itu membuat bulu kuduk Naomi berdiri. Sampai sekarang ia pun masih belum percaya bisa berteman dengan Yuki.
Perlahan ketegangan Naomi memudar saat Yuki kembali menyelipkan pedang pendek ke balik jaketnya. Ia lega gadis itu tidak menghabisi mereka.
Perasaannya pun semakin menghangat, seiring dengan melunaknya pandangan Yuki yang tak lagi memancarkan aura ingin membunuh.
“Aku antar pulang sampai rumah!” ucap gadis itu yang langsung diangguki Naomi dengan gerakan patah-patah.
***
Untuk cerita Yuki sudah dibukukan. Kalau mau pesan bukunya, boleh japri, ya …
Percakapan Naito dan Naomi tentang keberadaan Tuhan terinspirasi dari sebuah video yang penulis temukan di sosial media. Kalau teman-teman pernah ketemu juga, mohon bagi link, ya, untuk disertakan sumbernya ... Kemarin kelupaan. 😊🙏
Di bab ini saya akan memberikan sedikit penjabaran mengenai kata kerja dalam bahasa Jepang. Bedanya dengan kalimat bahasa Indonesia, di bahasa Jepang sendiri kata kerjanya terletak di belakang.
Misalnya, saya makan bakso menjadi watashi wa bakso wo tabemasu. Nah, kalau diartikan dari belakang bacanya memakan bakso saya, hehe.
Untuk kata kerja sendiri ada tiga macam kelompok.
Kata kerja golongan I (bunyi dari kolom ‘u’)
Kata kerja golongan II (bunyi dari kolom ‘e’ dan ‘I’)
Lalu kata kerja golongan III (terdiri dari kata benda shimasu) atau ada kata kerja khusus seperti ‘kimasu’ yang artinya memakai.
Penjelasan kolom bisa dilihat di bawah dipisahkan dengan tanda -
A - I - U- E - O
KA - KI - KU - KE - KO
SA - SI - SU - SE - SO
TA - CHI - TSU - TE - TO
NA - NI - NU - NE - NO
HA - HI - FU - HE - HO
MA - MI - MU - ME - MO
YA - YU - YO
RA - RI - RU - RE - RO
WA - O
N
GA - GI - GU - GE - GO
ZA - ZI - ZU - ZE - ZO
BA - BI - BU - BE - BO
PA - PI - PU - PE – PO
- Kata kerja kelompok pertama
Kalau ingin mencari kata kerja di kamus, maka kata “masu” yang biasanya mengikuti kata kerja dihilangkan dan ubah akhiran ‘i’ sebelum ‘masu’ ke akhiran ‘u’
Misalnya iimasu = sebelum masu akhirannya ‘i’ diubah ke ‘u’ jadi ‘iu’ inilah yang dinamakan bentuk kamus atau bentuk biasa.
Contoh lainnya
Kakimasu jadi kaku = menulis
Hanashimasu jadi hanashu = berbicara
Machimasu jadi matsu = menunggu
Shinimasu jadi shinu = meninggal
Yomimasu jadi yomu = membaca
Hashirimasu jadi hashiru = berlari
- Kata kerja kelompok kedua
Kata kerja ini dari kolom akhiran ‘e’ = eru, iru –spesial
Misalnya, tabemasu = sebelum masu akhirannya ‘e’ diubah jadi bentuk kamus tinggal tambahi ‘ru’ jadinya = taberu
Kaemasu = kaeru = mengganti
Tsukemasu = tsukeru = memasang
Misemasu = miseru = melihat
Tatemasu = tateru = membangun
Wasuremasu = wasureru = melupakan
Ada kata spesial yang tidak berakhiran ‘e’ tapi masuk ke dalam kelompok kedua seperti :
Okimasu = okiru = bangun
Tarimasu = tariru = cukup
Karimasu = kariru = meminjam
Mimasu = miru = melihat
- Kata kerja kelompok tiga adalah yang berakhiran –shimasu dan beberapa kata spesial seperti ‘Kiru’ yang artinya memakai.
Misalnya, shanposhimasu = shanpo kalau dipisah jadi kata benda tapi di tambah shimasu jadinya kata kerja, berarti jalan-jalan.