Merasa ada sesuatu yang tidak beres, Naomi langsung berpindah ke kursi sampingnya. Tanpa ia duga Naito melakukan hal yang sama sehingga mereka kembali berdampingan.
Gadis itu menatap penuh selidik, meneliti penampilan Naito dari atas sampai bawah. Satu tindik di telinga kanan lelaki itu cukup meyakinkan Naomi jika dia bukanlah orang yang baik. Apalagi ditambah tato kepala singa yang terlukis di bawah telinganya.
Naomi sedikit bergidik lalu bergerak ke tempat duduk di sebelahnya hingga gadis itu tiba di kursi paling pojok. “Apa maumu?!” sentaknya karena Naito terus mengikuti.
Ia khawatir pria di sampingnya ini akan berbuat yang tidak-tidak. Jika itu sampai terjadi, Naomi akan berteriak sekencang mungkin, atau lari sekarang juga dan meninggalkan tempat itu sejauh-jauhnya.
“Tidak ada, aku hanya ingin bicara padamu.”
“Aku tidak punya waktu.”
“Kelas belum dimulai, apa salahnya kita saling mengenal. Mungkin saja kita berjodoh, kan?”
Naomi terperangah sambil memerhatikan wajah cengengesan Naito. Ia heran mengapa ada orang Jepang begitu percaya diri seperti itu, padahal yang ia tahu pria Jepang cenderung pemalu.
“Dasar, tampan-tampan tapi nggak sopan,” kesal Naomi dengan bahasa ibunya.
“Jadi, kau mengakui aku tampan?”
Kali ini Naomi dibuat lebih kaget karena Naito paham apa yang baru saja dikatakannya. “Kau bisa bahasa Indonesia?” tanyanya sedikit antusias tapi tetap waspada.
Naito menyuguhkan senyum lagi. “Tentu saja, aku pernah tinggal di sana selama dua tahun,” ujarnya.
Ia menyeret kursi lebih dekat ke arah Naomi dan tertawa saat gadis itu kembali bersiaga. Entah mengapa Naito suka menggoda gadis yang baru saja dikenalnya ini.
“Jadi, apa kau mulai tertarik ingin mengenalku lebih jauh?”
Naomi mengedikkan bahu. “Entahlah, kau terlalu ceplas-ceplos, membuatku sedikit … takut,” ujarnya jujur. Ia bukan tipe wanita yang mudah bergaul.
“Sifatku memang seperti itu, tapi percayalah aku orang baik. Aku jamin kau pasti senang berteman denganku.”
Naomi tertawa kecil, membuat Naito terkesima sesaat ketika melihatnya. “Oke, kita liat saja.”
Tak lama kemudian dua orang memasuki kelas, menyapa mereka. Naito menjauhkan diri dari samping Naomi dan berkenalan dengan mereka satu per satu.
Sepuluh menit berlalu.
Kelas pun dimulai, namun Naomi harus menahan diri untuk tidak mencolok mata Naito yang tak bosan memperhatikannya selama pelajaran berlangsung.
***
Naomi tidak langsung pulang. Ia hendak pergi ke Masjid Camii untuk menunaikan salat maghrib.
Sebelum itu, ia mampir ke sebuah taman, duduk di bangku panjang dengan pohon momiji di belakangnya.
Mata gadis itu menatap kosong sekumpulan angsa yang berenang di danau. Kerudungnya bergerak pelan karena sepoi angin. Walau sudah berusaha menyibukkan diri, Naomi merasa hidupnya sekarang seperti tak punya ruh lagi.
Bila orang lain melihatnya, mereka pasti akan berpikir gadis itu baik-baik saja, tapi kenyataannya tidak. Hatinya masih menyimpan sakit meski raganya tampak sehat.
Ia tak tahu lagi bagaimana kabar Imam. Semua akses komunikasi termasuk sosial medianya diputus.
Terkadang ia merasa rindu, tapi Naomi berusaha sekuat mungkin untuk tidak membiarkan rindu itu terlarut lebih dalam.
Ia ingin melupakan mantan kekasihnya. Ingin kembali hidup seperti sedia kala seperti saat hatinya masih baik-baik saja.
Ia ingin mengembalikan senyumnya yang tanpa beban, menikmati bahagia pada setiap hari yang berganti.
Tak henti-hentinya gadis itu merapalkan doa pada setiap waktu mustajab yang menyambanginya. Karena tak ada yang bisa ia lakukan selain mengadu di atas sajadah, meminta pentunjuk pada-Nya agar luka itu segera sirna.
Namun kenyataannya sulit sekali melupakan seseorang yang sudah terlanjur tinggal di hati. Sulit sekali menghapus semua kenangan yang telah ia rajut bersama.
Teringat tentang lelaki itu, seperti halnya membongkar kuburan ingatan. Meskipun Naomi sudah memendamnya dalam, kenangan itu selalu muncul dan terasa menyesakkan.
Suara notifikasi di ponsel membuat Naomi terbangun dari lamunan. Ia segera membuka pesan singkat dari aplikasi warna hijau itu dan mendesah panjang begitu tahu siapa yang mengubungi.
[Cepat pulang, kita akan makan malam dengan calon suamimu dan keluarganya ...]
Naomi memejamkan mata, ingin sekali melempar gawainya sekarang juga. Pesan lain menyusul muncul, dan kali ini benar-benar membuatnya melemparkan benda itu ke tanah. Ia berjongkok, jemarinya meremas samping kanan kiri gamisnya sedangkan wajah gadis itu dibenamkan pada kedua lutut yang tertekuk.
Benda kotak miliknya masih menyala, memperlihatkan pesan dari Shintya.
[Lupakan Imam, besok dia menikah …]
***
Di bagian ini, saya akan memperkenalkan kata keterangan waktu dalam bahasa Jepang.
Pagi : asa
Siang : hiru
Petang : yugata
Malam : yoru
Tadi pagi : kesa
Tadi : saki
Sekarang : ima
Nanti : ato
Nanti siang : hiru/konban
Untuk nama-nama hari :
- Senin : getsuyoubi
- Selasa : kayoubi
- Rabu : suiyoubi
- Kamis : mokuyoubi
- Jumat : kinyoubi
- Sabtu : doyoubi
- Ahad : nichiyoubi
Dua hari lalu : ototoi
Kemarin : kinou
Hari ini : kyou
Besok : ashita/asu
Lusa : asatte
Dua tahun lalu : ototoshi
Tahun lalu : kyonen
Tahun ini : kotoshi
Tahun depan : rainen
Dua tahun yang akan datang : sarainen
Dua bulan lalu : sensengetsu
Bulan lalu : sengetsu
Bulan ini : kongetsu
Bulan depan : raigetsu
Dua bulan yang akan datang : saraigetsu
Dua minggu lalu : sensenshuu
Minggu lalu : senshuu
Minggu ini : konshuu
Minggu depan : raishuu
Dua minggu yang akan datang : saraishuu
Kata keterangan waktu biasanya digunakan di awal kalimat, tapi tergantung situasi dan kondisi percakapan juga.