🍁Happy Reading!🍁
Naomi menyangga dagu dengan tangan kanan. Ia tidak memerhatikan sensei yang sedang menjelaskan tentang macam-macam isim atau kata benda dalam bahasa Arab.
Kelas sudah berlangsung selama beberapa hari tapi otaknya belum bisa menyerap semua materi. Ia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.
Naomi mendesah panjang untuk ketiga kalinya. Mungkinkah dirinya masih akan dizinkan kuliah di Madinah setelah menikah nanti? Sejak tadi Naomi memikirkan hal itu ... Jika memang tak bisa, pupus sudah cita-citanya.
Tiba-tiba Naomi merasa ada orang yang menarik-narik jilbabnya. Ia meletakkan pena dengan kesal dan mendelik pada Naito yang duduk di belakangnya. “Nani?!” sentaknya tanpa ragu.
Naito meringis, penanya menunjuk ke depan, tepat ke arah sensei yang sudah berdiri di dekat Naomi. Kepala gadis itu pun kembali ke arah semula dan tersenyum kikuk begitu melihat gurunya bersedekap sambil memicingkan mata.
“Su-sumimasen …” ucap Naomi yang disambut tawa teman sekelasnya.
***
Meskipun sudah mengenakan jaket tebal, Naomi masih merasakan dingin ketika lengannya menyentuh meja batu di hadapannya.
Ia menggosok-gosokkan telapak tangan ke paper cup yang mengepulkan kopi panas sambil menunggu seseorang datang.
“Jadi, kenapa kau ikut kursus bahasa Arab?” tanya Naito yang tanpa permisi duduk di sampingnya.
Naomi sedikit menggeser tubuh, menjauhi Naito. “Aku ingin belajar di Madinah. Mau tak mau harus bisa bahasa itu walau tidak sepenuhnya menguasai,” jelasnya singkat. “Kau sendiri?”
“Aku ingin pergi ke Dubai suatu saat nanti. Makanya aku siap-siap mulai sekarang …”
“Oh,” gumam Naomi tanpa berminat mengajukan pertanyaan lain.
Berhari-hari mereka belajar di kelas yang sama, tapi Naomi belum mau membuka diri meskipun Naito selalu mencoba mendekati.
Ia hanya tahu Naito seorang arsitek dan bercita-cita ingin bekerja di Dubai, itu pun Naito yang memberitahunya tanpa diminta.
Naito berdehem dan menegakkan tubuh. Ia menyeruput kopi sambil mencuri pandang ke arah gadis di sampingnya yang sedang sibuk mengetikkan sesuatu di ponsel.
Bibir Naomi mengulum kecil ketika sebuah pesan sampai di layar aplikasinya. Tanpa disadari Naito pun ikut tersenyum, bahkan ia juga tidak sadar kalau sesuatu di dalam dadanya berpacu lebih cepat.
Tiba-tiba angin musim gugur mengembus sedikit kencang, membuat buku Naomi di atas meja terbuka-buka. Sebuah kertas kecil pun terbang dari salah satu selipannya, terbawa udara tak kasat mata itu, dan jatuh tepat di dada Naito.
Naito menangkap kertas yang ternyata foto seorang pria Indonesia. Matanya meneliti sesaat wajah di sana. Ia kemudian melirik Naomi, tapi si pemilik kertas belum menyadari barang itu sudah ada di tangannya.
“Apakah lelaki ini pacarmu?” tanya Naito tanpa basa-basi.
“Siapa?” balas Naomi tanpa melihat Naito, masih sibuk dengan ponsel.
“Ini?”
Naomi menggerakkan kepala ke samping dan membelalak begitu tahu foto mantan kekasihnya ada di tangan pria genit itu. “Kembalikan!” serunya sambil berusaha menggapai foto Imam.
Naomi yakin semua barang yang berhubungan dengan Imam sudah terbakar di perapian, tapi yang satu ini sepertinya terlewatkan ...
Naito tidak membiarkan Naomi mendapatkannya dan memilih menyembunyikan benda itu di balik punggung. “Jadi benar dia pacarmu?”
“Bukan, lebih tepatnya mantan pacar!” gusar Naomi. “Kembalikan sekarang!” pintanya lagi dengan tangan masih tergantung di udara.
Sebelum mengembalikannya, Naito kembali mengamati wajah Imam dan tertawa geli.
“Apanya yang lucu?” Naomi merampas foto dari tangan Naito.
“Kau pernah pacaran dengan lelaki sejelek itu?” Kepala Mackenyu palsu itu menggeleng-geleng tak percaya.
Naomi sedikit tidak rela, tapi bukan karena sedang membela Imam, melainkan ini memengaruhi penilaian orang lain terhadap seleranya. “Menurutku dia manis, tidak jelek!”
Naito mengangguk-angguk sok paham sambil masih menahan tawa. “Apa kau masih mencintainya?”
“Tidak!”
“Lalu kenapa masih memujinya?”
Naomi kehabisan kata. Ia mengertak kesal dan membuang pandang ke tempat lain. Menyebalkan sekali menjawab pertanyaan Naito yang berhasil memojokkannya.
Ia belum bisa melupakan Imam, tapi bukan berarti Naomi masih mencintainya. Rasa sakit itu masih ada, tapi dia berusaha untuk ikhlas. Lagi pula, gadis itu sudah mendapat pengganti yang lebih tampan walaupun orang itu jarang tersenyum dan suka nyinyir.
Teringat calon suaminya itu membuat tubuh Naomi pun melesak resah. Apakah pernikahannya nanti akan berjalan baik-baik saja, mengingat kepribadiannya dengan Arga sangat bertolak belakang?
Naomi kembali fokus pada benda yang sedang dipegang, lalu merobek foto itu menjadi serpihan kecil dan membuangnya di tong sampah terdekat dengan gerakan yang dibuat dramatis.
Selamat tinggal mantan!
“Oh, pantas kau tidak menjawab teleponku, ternyata kau sedang selingkuh dengan pria lain?” Suara tegas dan datar itu membuat jantung Naomi melompat seketika. Meskipun baru pertama kali bertemu, tapi ia tidak akan lupa seperti apa suara calon suaminya.
“Arga?!” Naomi berdiri. Dari mana lelaki itu tahu dirinya berada di taman? Ia membuka kembali kunci layar ponselnya dan mendapati tiga panggilan dari nomor tak dikenal. Naomi memang belum menyimpan nomornya. “Maaf, aku tidak tahu …”
Arga mengesampingkan gadis itu dan menghadap ke arah Naito yang sekarang sudah berdiri juga. Naomi melihat bola mata Naito yang biasanya hangat berubah tajam sedangkan tatapan Arga masih datar seperti saat pertama kali mereka berjumpa. Dengan gaya angkuh, calon suaminya meneliti tubuh teman sekelasnya dari atas sampai bawah.
“Jangan salah paham, dia teman sekelasku, bukan selingkuhanku,” terang Naomi tapi Arga tidak bereaksi. "Lagian, kita juga belum nikah, nggak ada selingkuh-selingkuhannya, kan?"
Arga tak menjawab. “Kita pulang!” ajaknya kemudian.
“Aku ada janji sama temen.” Naomi keberatan, pandangannya menatap memohon.
“Aku tidak mengizinkan.”
Gadis itu mengertakkan gigi. Belum juga resmi jadi suami istri Arga sudah seenaknya mengurusi hidupnya, kurang kerjaan sekali?
“Aku akan tetap pergi!”
“Kalau begitu, jangan salahkan aku kalau aku menyentuh dan memaksamu masuk ke mobil sekarang juga!”
Mendengar ancaman itu Naomi hanya bisa mendengus sebal. Ia tak akan mengizinkan lelaki mana pun - kecuali sang ayah, menyentuh kulitnya sebelum halal, termasuk si calon suami.
Cukup sudah Naomi melakukan kesalahan dengan Imam dulu. Pacaran hanya menjadikannya patah hati. Buang-buang waktu dan hanya mendapat dosa.
Ia pun bertekad untuk berubah menjadi lebih baik dan menggapai cintanya dengan cara baik walau harapannya sekarang terasa abu-abu.
Dengan perasaan dongkol, Naomi akhirnya mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu, membatalkan rencana jalan-jalannya dengan Yuki.
“Sampai jumpa besok, Naito Kun!” ucapnya sambil menatap Naito hangat.
Naito mengerjap dan tersenyum kecil saat Naomi sudi memanggilnya demikian. Itu berarti Naomi sudah menganggapnya sebagai teman dekat.
“Ya, sampai jumpa besok! Kuharap kau baik-baik saja karena sepertinya pria ini perlu diwaspadai,” sindir Naito pada Arga yang menatapnya tanpa ekspresi.
Kedua orang itu pun meninggalkan Naito sendirian. Arga duduk di samping supir taksi sedangkan Naomi di jok belakang.
Naito mengiringi kepergian mereka dengan tangan terkepal.
***
Panggilan–kun di belakang nama seseorang biasanya dipakai untuk anak laki-laki yang lebih junior, atau lebih kecil dari orang yang memanggil.
Akan tetapi, ada yang mengartikan bahwa –kun itu menunjukkan hubungan lebih dekat, atau rasa sayang terhadap kawan.
Misalnya, panggilan Hinata pada Naruto dengan panggilan Naruto kun.
Sebaliknya, untuk memanggil perempuan yang lebih kecil atau juniornya memakai – Chan, tapi digunakan juga untuk menunjukkan hubungan lebih dekat. Misalnya panggilan Naruto pada Sakura, Sakura Chan.
Ada panggilan lain yaitu –san dan –sama. Untuk –san, lebih umum kita jumpai. Dapat digunakan untuk lelaki maupun perempuan sebagai bentuk lebih sopan, yang artinya –saudara/i.
Sedangkan –sama, biasanya digunakan untuk orang yang sangat dihormati atau dari kalangan bangsawan yang artinya –tuan.
Sampai sini paham, ya! 😊
Mampir juga ke ceritaku yang lain ...
- Mantan Calon Mertuaku Tak Tahu Aku Sudah Kaya
- Sekantor dengan Mantan Suami
- Ketika Panggilan Suamiku untuk Kekasihnya Nyasar ke Ponselku
- Makasih, Udah Menceraikanku, Mas!