Disatroni Preman

Dog-dog-dog!!!

Pintu rumah digedor dengan sangat keras. Bisa roboh daun pintu jika tidak segera dibuka. Bergegas aku lari membuka pintu. Tak mau keributan itu membangunkan Arka yang tengah tidur pulas.

“Maaf ada apa?” tanyaku takut-takut. Tiga pria bundar berkulit gelap berdiri di depan pintu rumahku. Perut mereka yang buncit menandakan hobi minum. Bajunya hitam-hitam, rambutnya juga acak-acakan. Lihat tampangnya saja mengerikan.

“Gimana kelanjutan hutangnya? Jangan bikin kami tambah kerjaan, ya! Segera bayar atau kuobrak-abrik rumah ini?” hardik salah satu dari mereka yang paling buncit perutnya.

 “Maaf, Pak, tapi bukan saya yang hutang. Saya tidak bisa membayarnya. Karena toko juga sudah dijual suami ke orang lain tanpa sepengetahuan saya,” kataku takut.

“Masa bodoh! Urusan kamu itu! Pokoknya saya mau duit bos yang dipakai suamimu itu balik! Jika tidak, liat saja nanti. Kami bawa kamu ke bos,” tegasnya. Lantas tangannya yang kotor berusaha menyentuh wajahku. “Kamu masih bisa jual diri ‘kan buat bayar hutang? Bos pasti senang jika kau temani.”

Hahaha ... ketiga pria legam itu tertawa terbahak-bahak bersamaan. Mata mereka tak henti-henti menjelajahi tubuhku, atas bawah. Risih, aku pun menjauh. Sejauh aku bisa. Aku tak mau tangan mereka yang kotor menyentuhku. Jijik.

Preman. Kenapa mereka suka bertindak sewenang-wenang? Tak adakah di hati mereka rasa iba? Bukankah preman juga manusia? Lantas ke mana rasa kemanusiaannya? Dan kenapa aku yang harus bayar hutang itu? Sementara mantan suamiku sudah hidup enak dengan istri baru?

***

Setelah mereka pergi, simbok memelukku dari belakang. Rambutku dibelainya. Kulihat isak tangisnya tertahan dan kemudian meledak bersama tangisku. Kami menangis berpelukan.

Kontrakan rumah ini pun harus segera dibayar. Sebulan lagi akan jatuh tempo. Dan tuan rumah pastinya tak akan berbaik hati memberi kelonggaran waktu.

Ya Rabb, ketika orang kena musibah kenapa musibah itu datangnya bertubi-tubi? Bukankah tidak ada satupun kejadian di muka bumi ini yang luput dari pengawasan-Mu? Tapi kenapa nasibku seburuk ini? Apa salah dan dosaku?

Selanjutnya, bagaimana aku mengatasi kesulitan ini? Menikah dengan Pak Hamdan dan jadi istri ketiga? Menitipkan Arka yang masih menyusu ke simbok dan kabur ke luar negeri jadi TKW? Atau malah harus kurelakan diriku dijual oleh para preman itu?

Ya Rabb, aku bingung, aku kalut. Takut sekali jika besok preman kembali datang dan menyeret paksa. Rasanya dada ini begitu sesak. Jika tidak ditopang simbok, mungkin aku sudah pingsan. Jika tidak ingat Arka, mungkin aku bunuh diri saja agar tidak perlu menghadapi kerasnya dunia.

Begitulah aku, terkadang imanku sangat lemah. Saking lemahnya, ketika mendapat ujian yang berat aku hanya bisa menangis dan meratap. Lalu berharap, nyawaku dicabut agar tak perlu merasa takut, khawatir, dan tersiksa.

Untungku aku punya simbok yang kuat dan bijak. Selalu melihat harapan di balik setiap kesulitan. Selalu percaya bahwa Kuasa Allah itu di atas segala-galanya.

Nduk, ingat, Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Jika Allah mengujimu seperti ini, itu artinya Allah yakin kamu kuat. Insya Allah, jika kamu bisa melewati ujian ini maka kamu akan naik derajat keimanannya. Jangan kendor, jangan pesimis. Sebab Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya.”

Aku pun kembali berprasangka baik pada Allah sesuai nasehat Simbok. Aku yakin, sangatlah mudah bagi Allah membuat yang mustahil menjadi mungkin. Musibah ini, aku yakin sangat mudah bagi Allah untuk membaliknya menjadi anugerah.

***

Oh, ya, reader, bagi yang belum tahu, cerita ini berlatar tahun 1990, di mana kecanggihan teknologi belum sepesat ini. Jadi enggak akan ada kosakata sejenis andoid, gawai, medsos, dll., yang ada setelah tahun 2000.



Komentar

Login untuk melihat komentar!