Pulang Kampung

Hari ini masa iddah usai. Sesuai janji, aku kembali ke kampung halaman. Siap diperistri lelaki tua.

Jarak dari kampung ke rumahku dahulu sebenarnya tidak jauh. Hanya saja jalan di kampung masih jelek dan jarang angkutan umum, sehingga bagi simbok itu jarak yang cukup jauh untuk ditempuh. Ditambah, setiap mengunjungiku, Simbok harus menghadapi sikap suami yang tak sopan. Akhirnya, simbok malas menemuiku saat rindu.

Sama. Jika aku kangen pada simbok, tanpa izin dari suami bagaimana aku bisa pergi? Aku hanya bisa menahan perihnya rindu. Mendamba kasih sayang suami sama mustahilnya dengan mendamba kasih sayang bapak. Sebab bapak telah meninggal sejak aku berusia empat tahun.

Masalah hutang piutang sudah beres. Para preman itu tak akan mengikuti atau mencariku lagi. Dituntaskan oleh Pak Hamdan lewat perantara istri pertamanya.

Sungguh, waktu melihat istri pertamanya sengaja bertandang ke kota, aku tak menyangka bahwa dia akan menyapaku ramah. Sama sekali tak ada tanda-tanda kebencian.

Istri pertama Hamdan merangkulku. Menyebutku adek. Melunasi hutang-hutangku, dan mengajakku segera pulang ke kampung karena suaminya, Hamdan, telah menungguku. Ia mengaku senang, aku memutuskan menikah dengan suaminya.

Bukankah itu aneh? Se-frustasi itukah dia karena memiliki suami impoten? Mungkinkah ada penyakit lain yang Hamdan idap, sehingga ia tak sabar buru-buru membagi suaminya itu dengan wanita lain?

Jujur, aku tak bisa menghentikan prasangka. Kupikir Pak Hamdan ini, pria bangkotan yang kemungkinan besar sudah sangat menyusahkan. Itulah mengapa istri-istrinya rela dimadu.

Aku tak ingat bahwa aku punya penggemar bernama Hamdan. Seorang pria tua. Seingatku dulu, memang banyak yang menyukaiku. Tapi aku bukanlah wanita murahan yang silau dengan harta dunia.

Saat itu, diri hanya terbuai oleh rayuan pria yang kukira baik budinya. Ia mencintaiku, menghujaniku kata cinta. Seringkali aku dikirimi puisi. Tiap hari ia juga rajin mendekati, menghampiri tanpa henti. Akhirnya aku luluh juga.

Saat Tomi mulai melamarku dengan memberikan setangkai bunga mawar yang ia petik dari kebun tetangga, aku langsung menerima. Sudah tak terbayang betapa bahagianya bisa bersuami pria romantis seperti dia. Namun, romantisnya hanya di muka. Begitu terlanjur jadi suami, sifat aslinya terbongkar semua. Selain malas, ia juga suka berkata kasar.

Ah, mengingat mantan suami hanya bikin sakit hati. Benar kata orang, buanglah mantan pada tempatnya.

Sekarang, mantanku sudah berada di tempat yang tepat. Yaitu di pelukan janda tua. Aku tinggal melanjutkan hidup bersama Arka.

Naasnya, aku mungkin akan mengikuti jejek dia yakni jatuh ke pelukan pria tua, meskipun bukan duda. Parahnya, aku jadi istri ketiga alias istri muda. Akan seperti apa kehidupan rumah tanggaku selanjutnya?

***

“Juwi, apa kabar? Lama gak ketemu,” sapa teman masa kecilku. Nining namanya. Dia juga sudah menikah. Dan yang bikin perasaanku tak nyaman bertemu dia adalah karena suaminya adalah teman mantan suamiku.

Hemm ... aku memaksakan senyum tipis. Belum sanggup tersenyum ikhlas.

“Kebeneran banget kamu di sini. Lusa, teman kita Kamelia mau nikah. Gede-gedean hajatannya. Nanggap ketoprak juga. Pokoknya kamu harus datang. Nanti undangannya biar dikirim ke rumah simbokmu ya,” katanya lagi.

Undangan tak terduga. Duh, baru juga lepas dari rentenir. Baru hendak hijrah. Mau menenangkan hati sebelum dipoligami, eh, malah ketemu dia di sini.

“Juwi, ayo dong jangan bengong aja. Udah lama lho kamu enggak silaturahmi sama teman-teman SMP kita dulu. Tak boleh sombong gitulah,” tegurnya sambil menggoyang-goyangkan lenganku. Guncangannya di lengan sangat mengganggu sebab aku sedang menggendong Arka.

Simbok langsung sigap, melepaskan tangan Nining dari lenganku. “Iya, iya, nanti Juwita ke sana. Kalau ada ketoprak, pasti ramai. Sudah, ya, Juwi masih capek. Biar istirahat dulu. Besok aja ngobrol lagi,” kata simbok sambil menggandengku pergi.

Bertemu teman lama harusnya menyenangkan. Tapi tidak jika itu teman yang bakal mengingatkanmu pada mantan. Seingatku, Nining berperan besar pada suksesnya hubunganku dengan Tomi dulu. Nining selaku mak comblang. Itu pun karena dia punya misi mendekati teman Tomi.

Beruntung, Nining berhasil dengan suaminya. Sementara aku gagal segagal-gagalnya.

***

Setelah siang bertemu dengan Nining, malamnya giliran bertemu dengan Pak Hamdan. Sejujurnya, aku juga penasaran dengan wajah calon suamiku itu. Aku belum pernah melihatnya langsung, hanya dari mulut ke mulut. Ia dikenal kaya, punya istri dua, tapi tak bisa punya anak.

Saat pertama bertemu, sedikitpun aku tak meliriknya. Pertemuanku dengan dia berlangsung lancar. Meskipun terlihat uban sudah menghiasi sebagian rambut pria berusia 47 tahun itu. Akan tetapi, secara penampilan Hamdan tidak terlalu jelek. Justru ia tampak berwibawa dan berkharisma.

Membayangkan aku dipersunting pria itu, seperti membayangkan jadi biarawati. Aku harus melakukan kerja sosial untuk merawat suami, membantu madu-maduku mengurus rumah, mengurus anak, dan sederet urusan domestik lainnya. Akan tetapi, harus membunuh semua hasrat sebagai wanita muda.

Yah, tak mengapa. Aku sudah mempersiapkan batin untuk semua itu. Lagipula aku juga tak bisa membayangkan akan mudah menerima sosok lain masuk ke dalam tubuh ini, setelah berkali-kali mengalami kekerasan oleh mantan suamiku dulu.

Anganku berlarian, berkejar-kejaran bagai di taman. Membayangkan berbagai hal. Hingga lupa pada sosok pria yang memandangku dengan seksama di muka.

Hamdan, ia memandangiku sambil tersenyum. Ia melambaikan tangan sebagai isyarat agar aku mendekat. Tentu aku mendekat, dia kan calon suamiku. Namun aku tak mau duduk di sampingnya. Aku memilih kursi di depannya sehingga masih terhalang meja. Merinding rasanya, masih takut membayangkan jadi istrinya.

“Jangan takut. Aku tak akan menyentuhmu sebelum kamu sah jadi istriku. Cuma mau ngasih tahu, hidupmu, anakmu, dan simbokmu akan jadi tanggung jawabku mulai hari ini. Karena kamu sudah bilang setuju,” janjinya.

Setidaknya ada rasa lega. Janji Hamdan pada pertemuan formal kami yang pertama tersebut seolah menggaransi hidupku ke depan. Tak ada kemiskinan, tak ada kekurangan. Aku hanya perlu melakukan pengabdian sebagai seorang istri. Memang begitu kan tugas wanita dalam rumah tangga? Tak usah banyak menuntut, tapi harus siap dituntut. Dituntut bisa masak, bisa macak, dan bisa manak.

Untuk syarat terakhir, terbukti aku subur. Mungkin justru Hamdan-lah yang mandul. Namun, penilaian masyarakat seringkali menimpakan kesalahan pada kaum Hawa. Padahal, kaum Adam pun berperan di sana. Bagaimana ovarium bisa dibuahi jika spermanya jelek?



Ketarangan : 

masak, macak, manak : memasak, merias diri, melahirkan.



Komentar

Login untuk melihat komentar!