PoV Pia
Mati aku!
Kenapa Emak sama Bapak mesti paketin aku ke Jogja, sih? Mestinya ke Konoha, biar bisa belajar jurus ngilang kayak Naruto Uzumaki. Jadi, kalau lagi dalam situasi gawat darurat begini, aku bisa ngilang dari peradaban. Ini juga nih, salah satu risiko jomlo. Enggak ada perlindungan. Coba aja punya cowok yang bahunya selebar Benteng Takeshi, aku, kan, bisa ngumpet di belakangnya. Sekarang boro-boro punya pacar yang bahunya lebar kayak Kim Seokjin, ya ampun ... malah didatangi sama kuntilanak nyimpang satu itu.
Aku bergidik ngeri melihat cowok jadi-jadian itu. Enak saja! Biar kata belum laku sejak berwujud zigote, tapi aku masih normal, ya. Masih doyannya sama cowok tulen, modelan Hamish Daud gitu, deh. Kalau Bang Hamish ketinggian, Oppa Gong Yo juga nggak apa. Pokoknya yang ... ganteng, tajir, saleh, budiman, rajin menabung? Bukan! Pokoknya yang mau sama aku!
"Boleh gabung di sini? Kalian cantik-cantik sekali," kata si Kuntilanak Nyimpang.
Bruk!
Aih ... si Ayuk memang paling jago kalau urusan begini. Belum juga aku sempat mikir mesti apa, dia sudah akting kesurupan penunggu pohon kamboja. Mana penunggunya terkenal jomlo pula. Kan, aku nggak bisa akting kesurupan jodohnya penunggu pohon kamboja.
Daripada stres, darah tinggi, serangan jantung, kadar kemanisan meningkat pesat, mending aku kabur dari warteg terkutuk ini.
"Mpok, Pia pulang dulu! Tagihan es tehnya, biar si Denok yang bayar!" teriakku, kemudian mengambil langkah seribu dan berlari dari hadapan cowok jadi-jadian itu. Enggak apalah gagal pergi ke Konoha dan nggak bisa nembus tembok, yang penting punya kaki dua sehat tiga nggak sempurna. Jadi, masih bisa menjalankan jurus favorit para jomlo. Jurus lari dari kenyataan.
*
"Dunia belum berakhir ... bila kauputuskan aku!"
"Lah, cak mano pulo nak putus? Jadian bae belom!" sambar Tante Eka, bibi paling uwuw sejagad raya.
"Geng Huh Hah tuh cocoknya nyanyi lagu Ade Irma. Tiga kali puasa, tiga kali lebaran, status jomlo nggak ilang-ilang!"
Iyak, tarik, Mak! Sindir teros ....
"Pia ... Pia. Umur udah 25, tiap kondangan nggak ada temennya." Tante Eka terbahak oleh ucapannya sendiri. "Situ orang apa Tugu Monas, sih? Berdirinya sendiri mulu."
Astagfirullah ... memang dasar tante nggak ada akhlak!
"Pia nih bukannya Tugu Monas, Tante, tapi tower masjid. Makanya sendirian. Puas?"
Lagi, Tante Eka terbahak.
Baju-baju yang sudah kukeluarkan dari mesin pengering ke keranjang, segera kubawa ke halaman belakang untuk dijemur. Hari ini hanya tiga tali jemuran yang penuh, itu artinya omzet laundry Tante Eka menurun lagi. Biasanya, sepuluh tali jemuran penuh, itu pun ada ronde kedua dan ketiga. Sampai aku pernah berdoa, biar punya pinggang yang bisa dibongkar pasang.
Setelah selesai dengan jemuran, Tante Eka menyuruhku menyapu halaman depan. Amboi ... baru saja mengkhayal bisa berjumpa dengan kasur kesayangan, malah disuruh nyapu. Sabar, ya, kasur. Kita masih harus LDR-an sementara waktu.
Saat hampir selesai berurusan dengan butiran debu, aku malah harus berurusan dengan butiran daki. Siapa lagi kalau bukan Ningsih, Mak Lampir abad ke-21, yang mulutnya minta disumpal pakai gagang sapu Harry Potter.
"Mbak Jomlo, kenangan sama mantannya jangan lupa disapu juga, ya!" teriaknya dari depan pagar besi rendah rumah Tante Eka. "Ups, lupa! Pia, kan, nggak punya mantan! Haha!"
Duh, dasar penghuni hutan rimba! Mulutnya nggak beradab memang.
"Potong bebek angsa, masak di kuali. Jomlo udah lama, belom kawin lagi. Itu si Pia, itu si Pia, lalalalalala!"
"Asem!" Teriakanku menggema di udara, disambut gelak tawa Mak Lampir yang sudah berlari dari depan pagar.
"Emang dasar syaiton! Awas aja, ya, anti! Ana rukiah pake air comberan masjid, baru tau rasa!" omelku sambil meremas-remas gagang sapu. Memang dasar kecebong sawah! Baru bisa goyang pantat saja sudah belagu, apalagi kalau bisa goyang dumang.
"Apa, sih, Pia?" Tante Eka tiba-tiba muncul, mungkin merembes dari tembok rumah.
"Itu si Ningsih, kerjaannya ngatain Pia jomlo mulu!"
Tante Eka nyengir, lalu berkata, "Sabar, ya. Sesungguhnya, jomlo lebih halus daripada perawan tua."
"Aduhai, ini Tante emang perlu dirukiah. Bukannya belain ponakan, malah tambah ngatain," ocehku dengan gigi bergemeletuk.
Akhirnya aku mengais-ngais debu yang sejak tadi kukumpulkan, lalu menyuapkannya ke mulut Ningsih. Andai bisa begitu, duh, bahagianya. Sayang, aku mah manusia berakhlak yang nggak tega menyakiti sesama. Paling ikutan cara Ayuk saja. Bawa foto dan sebutkan nama lengkapnya ke si Mbah, besoknya langsung muntah paku, emas, intan, dan berlian.
Setelah selesai menyapu, aku menyandarkan benda kurus berwarna biru itu ke tembok, lalu buru-buru pergi dari rumah. Berjalan menghentakkan kaki ke arah kosan Denok sambil berdoa, semoga dia ada di sana. Soalnya Beby Suraby, kan, lagi kerja jam segini.
"Denok montok!" panggilku di depan pintu kosannya, lalu melangkah masuk. "Assalamu'alaikum, Ukhti!"
"Wa'alaikumsalam," jawab Denok dengan mulut penuh. Ketika aku masuk ke kosan mereka yang lumayan berantakan, Denok terlihat sedang bersandar di dinding sambil memangku laptop. Namun, tangannya terlihat lebih sibuk menggapai bungkus keripik dibanding mouse. Aku agak lupa kalau Denok sedang belajar menjadi food blogger. Jadi, mungkin sekarang dia sedang mengedit video mukbang-nya. Hobi yang menghasilkan, kata si Denok. Menghasilkan lemak. Lihat aja kalau nggak percaya. Ngeditnya semenit, ngemil keripiknya sekilo. Biarpun begitu, cita-cita kurus masih terjaga di lubuk hati yang terdalam. Iyain aja, biar cepat tamat kisahnya.
"Denok, ih! Gemes banget aku tuh!" omelku sambil memukul-mukul bantal bulu-bulu warna hijau milik Beby.
"Naon?"
"Itu si Mak Lampir, apa nggak punya kerjaan selain ngatain kita jomlo?" Tanganku terkepal erat, merasa sangat geram dengan makhluk bermata tiga itu.
"Yaudah, Pia, diemin aja."
Aku mendelik pada Denok, lantas menggeleng. Kenapa sifatnya sangat lempeng, ya Allah? Beda dengan badannya yang ... ehem! Penuh dengan tanjakan dan belokan.
“Tapi aku kesel, Nok. Kamu ngerti kata kesel, nggak? Ke-sel,” kataku penuh penekanan. “Apa aku santet aja, ya, si Ningsih? Biar nggak bisa berkotek lagi dia.”
“Astagfirullah … kamu ini, Pia! Penampilan kayak ukhti-ukhti, tapi, kok, mulutnya kayak nyai-nyai. Enggak boleh nyantet orang, dosa!”
Mataku menyipit memandang Denok, lalu beralih ke keripik yang sejak tadi dikunyahnya.
“Tumben ngomongnya bener, Nok? Itu keripik ada obat syarafnya, ya?”
“Aku, kan, memang dari dulu bener, Pia. Karena ikutan sama kalian aja, jadi sering khilaf. Eh, ternyata enak! Yaudah, lanjut, Mang!”
Aku terbahak, lantas ikut mencomot keripik di tangan Denok. Enak, rasa khas makanan gratisan!
“Enak, Nok. Punya siapa?” tanyaku sambil mengunyah.
Denok mengangkat bahu bulatnya. “Enggak tau, tetiba ada aja di depan mata. Kan, sayang atuh kalau nggak dimakan. Mubazir.”
Aku manggut-manggut. Memang benar kata pepatah, orang semok itu penyayang. Ada sisa makanan dikit, sayang, akhirnya disuap. Lihat emak sudah masak makanan warna-warni, bilangnya sayang kalau nggak dihabiskan, nanti tenaga emak buat masak terbuang percuma. Lihat mangga di pohon tetangga, katanya sayang, takut mangganya busuk di batang, akhirnya dicolong. Dahlah, gitu aja terus sampai Spongebob jadi bulat.
“Masih kesel, Pi?”
Aku menggeleng cepat. “Enggak, kayak kata kamu tadi, diemin aja.”
“Wah, cepet banget berubah pikirannya?”
“Iya, diemin aja. Entar juga mati sendiri.”
Denok melempar tatapan ngeri, lalu mengambil segenggam keripik dan menyuapkan semua ke mulutnya.
“Ternyata bener, ya, kata cowok yang batal deketin kamu dulu,” kata Denok dengan mulut penuh. “Kamu terlalu bon cabe untuk aku yang malika.”
“Fitnah itu mah,” sangkalku. “Yang bener itu, aku terlalu masyaAllah untuk dia yang astagfirullah.”
“Nista banget emang kamu ini, Pia,” ucap Denok lagi. “Muka kalem, kelakuan balsem.”
“Yang penting cakep!” tukasku.
Beberapa saat kemudian, Ayuk dan Neneng datang. Ayuk dengan semangat menimpali omelanku, sementara Neneng seperti biasa. Menguji kesabaran.
“Kalian kenapa, sih, selalu marah kalau dibilang jomlo? Kan, kita bukan jomlo.”
“Allahu ….” Aku mengusap dada turun naik.
“Jelasin, Nok! Jangan sampe foto si Neneng aku bawa ke dukun beranak!” kata Ayuk.
“Ogah! Biar dijelasin sampe berbuih juga dia nggak bakalan ngerti apa persamaan jomlo sama nggak laku,” jawab Denok.
“Emang apa persamaannya?”
“Sama-sama ngenes!” kata Ayuk ketus.
“Dahlah, jangan ngamuk-ngamuk lagi.” Denok menengahi. “Mending nonton drakor, yuk!”
“Ha, drakor? Jomlo nonton drakor itu, sama aja kayak bunuh diri, Nok,” sahutku cepat.
“Bener!” timpal Ayuk. “Orang di layar yang kisseu-kisseu, kita penonton yang kejang-kejang.”
“Kenapa? Emang mereka kisseu-nya sama orang rabies, ya? Kok, bisa kejang? Terus virus rabies bisa menular lewat mata, ya? Sejak kapan coba? Kok, kalian makin hari makin oon, sih?” ucap Neneng.
Aku, Ayuk, dan Denok, hanya bisa menghela napas dalam.
Dahlah, dahlah, dahlah. Males. Nonton kuyang beranak dalam kubur aja!