Kenalan sama si Pia
Pia's PoV

Mungkin ini yang disebut bidadari kesiangan!

Rasanya semalam aku sudah menghidupkan alarm supaya nggak kesiangan hari ini, tapi masih aja telat bangun buat kondangan. Ditambah lagi datang bulan yang membuat tidur semakin tenteram. Aku bisa membayangkan sekarang muka teman-teman sudah pada masam kayak durian basi.

Buru-buru aku menyodokkan kaki ke sepatu flat putih, lalu berlari ke pintu. Tempat kondangannya nggak jauh, bisa sampai dalam waktu singkat. Secepat kilat!

Namun, aku lupa kalau di rumah ini ada penangkal petir. Kilat, geledek, guntur, tornado, atau puting beliung pun akan kalah dengan kecepatan bicaranya.

"Duh, Tuan Putri akhirnya bangun juga. Mau ke mana, ha? Sudah bangunnya siang, langsung mau pergi tanpa permisi. Kamu nggak ingat, piring bekas makan semalam belum dicuci, belum lagi lantai belum disapu, cucian masih numpuk, genteng belom ditambal. Gimana mau dapet jodoh, zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz!"

Maaf, Tante, tapi kita semua tahu kalau Sivia Khalisa memang agak durhaka. Oleh karena itu, Emak dan Bapak rela kalau aku pindah ke Jogja.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, aku langsung berlari meninggalkan rumah, secepat yang kubisa.

"Pia!!!" Teriakan Tante Eka menggema, bahkan kupikir sampai planet sebelah pun bisa mendengarnya. Namun, aku tidak menoleh, terus berlari ke lokasi tenda yang sebenarnya bisa terlihat dari rumahku. Sampai di sana, ternyata semua orang sudah sibuk menyantap makanan. Dan tentu saja, aku tidak boleh kehabisan. Bagaimanapun keadaannya, makanan gratisan adalah hal paling nikmat selain rebahan di Bumi ini.

Sesampai di tempat kondangan, aku celingukan mencari teman-teman sambil mengantre makanan. Tempat ini cukup ramai dan entah kenapa wajah semua orang terlihat mirip. Dahlah, nanti saja mencari mereka. Ayam goreng di hidangan seperti sedang menggoyangkan bokongnya padaku.

"Eh, Pia. Hari gini masih sendiri aja?"

Walah,  Mak Lampir mulai berdendang.

Pasti itu suara si Ningsih, reporter kampung yang hobinya ngumpulin gosip tentang semua orang. Terutama yang jomlo.

"Kasihan, ya, Pi. Enggak laku-laku dari zaman bahela!" Dia terkikik di ujung kalimat.

"Ya, nggak apa-apa, sih, Ukhty. Biar jomlo asal nggak buta. Emangnya anti, punya pasangan, tapi pake lipstik masih belepotan! Suaminya nggak ngasih tahu, ya, kalau di giginya ketempelan gincu? Kesian, kesian, kesian. Gandengan rasa jomlo, dong!"

Ningsih tampak panik, lalu menggandeng tangan suaminya menjauh. Rasanya pengin kusumpal mulutnya pakai tulang ayam, supaya nggak nyinyir lagi.

Namun, masalahnya bukan hanya Ningsih, tapi hampir semua orang di kampung ini. Pertanyaan: "Kapan nikah?" itu sudah jadi makanan sehari-hari. Dosis tergantung suasana hari. Hari biasa dosis juga biasa, 3 kali sehari. Hari istimewa seperti Lebaran dan tahun baru, dosis meningkat jadi 10 kali sehari. Hari pernikahan orang lain, pertanyaannya bisa menjadi overdosis, tidak ada hitungannya lagi. Andai ada undang-undang yang melarang pertanyaan itu beredar di antara jomlo, maka kami nggak perlu ngerasain repotnya nyari TEMEN KONDANGAN demi menghindar dari pertanyaan: "Kapan nikah?"

Senyumku terukir saat melihat sosok yang sedang duduk di pojokan. Ah, untung ada mereka. Iya, mereka! Sesama jomlo abadi.

Komentar

Login untuk melihat komentar!