Mau Nulis, Tapi Bingung Mulai dari Mana? Baca ini!
Mau Nulis, Tapi Bingung Mulai dari Mana?

SERING kali kita bingung atau keder saat mau menulis, mulainya dari mana, kata apa dulu yang mau ditulis. Kira-kira kamu pernah gak sih merasakan hal begitu? Ya, kamu, yang baca tulisan ini. Ngaku aja dech. Kalau aku sih, cukup sering.

Begini, Kawan. Menulis itu kan termasuk keterampilan (skills). Yang namanya skill itu ya, tidak cukup hanya bermodal teori, tapi praktik. Malah dimensi praktiknya lebih dominan. Kendatipun ada dimensi teori, tapi sebenarnya teorinya bersifat teknis dan aplikatif. Untuk menguasai teori-teori penulisan, ya kudu sambil dipraktikkan. Tahu satu teori kepenulisan, berupa penggunaan tata bahasa atau penggunaan kalimat efektif misalnya, ya kudu langsung dipraktikkan dalam menulis. Selain itu tentunya kudu banyak membaca, lalu dianalisis tata bahasanya, dan setelah itu: PRAKTIK MENULIS lagi.

Ya, emang harus banyak menulis, Kawan. Orang bilang itu namanya jam terbang. Semakin banyak praktik menulis, akan banyak bagus tulisan kita. Boleh juga kamu menyebutnya dengan kata LATIHAN. Penguasaan keterampilan itu memang harus dengan banyak berlatih. Makanya, kalau sudah mahir dalam hal ini, seseorang akan disebut TERLATIH.

Jadi, tip pertama yaitu pelajari satu teori, langsung praktikkan. Ntar kalau sudah terlatih, kamu pasti kagak bakalan bingung lagi mau nulis dari mana. Ya kan? Ya kan? Ya nggak? Pasti, iya, lah.

Soal keterampilan, aku jadi teringat dengan menjamurnya BLK era kini. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah kejuruan, madrasah dan pesantren yang dapat bantuan berupa dana pendirian BLK (Balai Latihan Kerja) di berbagai bidang, yang tentunya juga bidang keterampilan. Ada yang mendirikan BLK otomotif, BLK menjahit, BLK komputer dan desain. Yang aku belum dengar tuh, dan ini yang disayangkan, belum ada BLK KEPENULISAN atau semacam bengkel literasi gitu lah. Apa mungkin karena kepenulisan dan literasi dianggap gak terlalu penting, ya? Pantaslah bila menurut survei dunia, tingkat literasi para pelajar di Indonesia menurut PISA (Programme for International Student Assessment), sebagaimana diakui Kemendikbud, masih rendah.

Nah, ini masuk tips kedua. Apa tuh? Kira-kira kamu bisa menebak gak? Apa itu? Ya, tepat sekali tebakanmu: bergabung di komunitas literasi. Tebakanmu kira-kira salah apa benar? Hayo ngaku. Kagak apa-apa kalau salah juga. Masih boleh kok lanjut bacanya. Hanya saja, di kampus saat itu (TA 2017/2018) belum ada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang literasi, kepenulisan dan jurnalistik, akhirnya dalam paragraf berikutlah yang aku lakukan.

Sejak pertama kali mengajar di kampus sebagai dosen, aku dapati banyak sekali (mungkin mayoritas) mahasiswa dengan tingkat literasi seperti yang disebut di atas: rendah. Banyak sekali mahasiswa yang malas baca buku. Bahkan, tidak banyak juga yang punya buku, kecuali bila diwajibkan beli buku. Bahkan, pernah aku iseng tanya seorang mahasiswa semester akhir yang sedang bimbingan skripsi denganku: Punya berapa buku selama kuliah? Jawabnya ngeri, Kawan. Katanya, tak satu pun buku dibelinya. Akhirnya, aku sarankan untuk beli buku, setidaknya untuk bahan referensi skripsi di bagian kerangka teori. Lainnya bisa ambil dari artikel di jurnal.

Sudah tidak punya buku, malas pula pergi ke perpustakaan, sekedar baca, pinjam atau mencatat apa yang dibaca. Ya, berdasarkan pengakuan pustakawan, perpus sekarang cenderung sepi pengunjung.

Mungkin kamu agak memaklumi, karena ini zaman digital. Semua referensi dan informasi bisa diakses melalui jaringan internet. Jadi, gak harus punya buku kali, Pak! Ok. Itu pilihan. Memang, untuk peroleh referensi ilmiah, sudah banyak tersedia di internet. Kalau aku sih kagak. Bagiku, punya buku itu sesuatu banget. Apa lagi ketika bisa ‘mengalahkan’ diri sendiri untuk membacanya hingga selesai, lalu menuliskan resensinya. Itu sebuah kebahagiaan dan kepuasan yang tiada tara. Apa lagi kalau bisa beli rak buku, lalu menata berjajar buku-buku itu dengan rapi dalam susunan kotak itu. Luar biasa, bisa jadi pemandangan yang amat menghibur. Buku kan jendela dunia. Nikmatnya belum tergantikan oleh layar gawai: handphone, tab ataupun laptop.

Nah, karena malas baca buku, akhirnya kalau menulis tugas, berupa artikel, makalah, esai, review buku dan bahkan mengerjakan UAS pun tak jarang mahasiswa yang terindikasi copas dan plagiat dari internet. Bukannya copas itu gak boleh. Boleh saja, tapi syaratnya, kalau itu berupa kutipan langsung. Itu pun harus dengan menyebutkan penulisnya. Lebih bagus lagi, bila mengutip suatu tulisan, kita gunakan kutipan tidak langsung dengan menggunakan teknik parafrasa. Apa itu? Sederhananya, parafrasa itu mengungkapkan kembali yang kita baca (atau dengar) dengan bahasa kita sendiri, tanpa keluar dari makna bacaan aslinya. Namun tentunya tetap menyebutkan nama penulis yang kita kutip. Inilah yang disebut amanah ilmiah.

Selain malas membaca, banyak sekali mahasiswa yang tidak terlatih menulis, menuangkan isi pikiran dan hati, berupa ide dan gagasan. Karena memang belum dibiasakan menulis esai atau semacam catatan perkuliahan.

Emang waktu kuliah dulu, aku gak pernah copas? Harus diakui, aku sendiri juga pernah, tentunya. Karena aku sendiri, khususnya saat itu, belum terlatih menulis. Nah, jangan sampai ini terulang dan terjadi pada mahasiswaku. Karena itu, aku pun cari jurus atau solusi untuk mengurangi ini.

Solusi ini aku ATM dari pembiasaan yang dilakukan salah seorang dosenku di Program Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Beliau adalah Dr. H. Affandi Mochtar –Allahu yarhamhu-. Pria yang akrab disapa Kang Fandi -atau Kang Pandi, dalam lisan kebanyakan orang yang aku dengar, ini pada akhir setiap pertemuan kuliah di kelas selalu meminta kami para mahasiswa untuk menulis catatan perkuliahan atau dalam bahasa Kang Pandi disebut ‘jurnal’ kuliah harian. Durasi yang Kang Pandi berikan sekitar 10-15 menit. Bila belum selesai, Kang Pandi akan menutup kuliah dan meminta kami untuk melanjutkan tulisan.

Ya, pada akhirnya semua kelas yang aku masuki, apa pun mata kuliahnya, di kampus dan fakultas mana pun, 10-15 menit jelang keluar kelas, aku minta para mahasiswa menyiapkan pulpen dan kertas, lalu menulis apa yang mereka dengar dan diskusikan di kelas pada hari itu. Tulisan bisa juga berisi pendapat, saran, masukan, kesan, argumentasi, atau perspektif lainnya, yang terpenting terkait dengan materi perkuliahan.

Bahkan, kegiatan menulis pada akhir perkuliahan ini pernah aku praktikkan (uji-cobakan) sekali di 2 kelas bahasa Arab yang kuampu di UPT Pusat Pengambangan Bahasa IAIN Syekh Nurjati. Tulisan sekedar berupa catatan deskriptif apa saja materi yang dipelajari, kesan, saran dan kritik dalam metode atau media pembelajaran yang aku pakai. Kegiatan ini memang tidak secara langsung berimbas pada nilai bahasa Arab. Namun, manfaatnya banyak, selain sebagai bahan latihan menulis, juga sebagai dokumentasi dan evaluasi bagiku selaku dosennya. Dan, outputnya, pada pertemuan jelang pertemuan terakhir perkuliahan, aku buat event menulis buku bersama. Responnya cukup bagus. Sekitar 30-an tulisan esai masuk. Hasilnya, pada bulan Januari 2018 terbit satu buku berjudul Seberkas Sinar Mentari: Untaian Kisah Mahasiswa Baru IAIN Syekh Nurjati Cirebon, berisi esai atau cerita kesan dan pesan para mahasiswa selama satu semester kuliah, baik di kelas intensif bahasa Arab secara khusus maupun di kampus IAIN secara umum.

Pada awalnya, aku minta para mahasiswa menulis catatan cukup 2-5 paragraf saja. Belakangan, khususnya ketika kuliah sudah daring (online) aku anjurkan jadi 10-15 paragraf. Kegiatan menulis catatan harian tersebut aku alihkan ke Google Classroom. Aku buatkan kolom tugas harian (setiap pertemuan) sebagai tugas mandiri mahasiswa. Soal durasi waktu pengerjaannya tentunya lebih longgar, beberapa hari atau bahkan sepekan. Namun, ada saja yang belum mengerjakan hingga jelang UAS. Akhirnya merasa berat sendiri, karena akhirnya tugasnya menumpuk.

Ya, responnya memang tak selalu positif. Ada saja mahasiswa yang merasa keberatan, banyak tugas lah, dan lain sebagainya. Padahal, aku tidak menilai kualitasnya. Yang penting menulis dulu. Karena memang tujuannya untuk melatih dengan pembiasaan, untuk memperbanyak jam terbang menulis. Tapi banyak juga mahasiswa yang merespon positif dan menyadari manfaat menulis catatan harian itu. Karena menulisnya secara online, ada saja mahasiswa yang terindikasi copas dari artikel, makalah atau internet. Padahal yang diharapkan itu menulis secara bebas (freewriting) dengan bahasa santai, terkait perkuliahan. Bagiku tulisan yang bagus adalah yang selesai ditulis dengan tangan sendiri.

Terlepas berhasil atau tidak upaya itu, membekas atau tidak, minimal aku sudah berusaha membiasakan mahasiswa untuk menulis, menuangkan ide dan gagasan melalui tugas harian itu. Memang, targetku saat itu masih sebatas pembiasan, belum pada kualitas tulisan. Selain itu, aku kurang bisa memantau perkembangan kualitas tulisan mahasiswa. Mungkin karena terbatas oleh waktu dan menulis itu hanya sebatas tugas mata kuliah di kelas. Karena itu, impianku saat itu adalah mengadakan sebuah UKM atau komunitas literasi mahasiswa di kampus. Inilah cikal bakal atau embrio awal UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon (SLI). Hanya saja, karena statusku sebagai dosen baru, ya belum bisa berbuat apa-apa selain sebatas di dalam ruang kelas saja.

Ok. Kita lanjutkan tips berikutnya, agar kita tidak bingung mau nulis apa, aku kasih teori aplikatifnya.

Pertama, tentukan tema atau paling tidak topik pembahasan. Intinya, kamu mau nulis tentang apa, tentukan! Topik itu semacam ruang atau kamar. Agar tulisanmu fokus dan tidak ambyar, kamu tidak seharusnya keluar dari kamar yang telah kamu buat itu. Kalau keluar, pembaca bisa jadi gagal paham dan ambyar.

Yang kedua, buatlah pertanyaan atau kalau dalam bahasa karya ilmiah disebut dengan rumusan masalah. Jumlah pertanyaan tergantung kebutuhan. Daftar pertanyaan akan sangat membantu dan memudahkan kamu merangkai kata demi kata. Tugas kamu nanti cukup menjawab semua deretan pertanyaan yang telah kamu buat tadi. Maka, bikin pertanyaan sesederhana mungkin, pertanyaan yang kamu tahu jawabannya. Kalau tidak, kamu harus buka-buka referensi, tentunya.

Yang paling penting, jawablah pertanyaan itu dengan uraian deskriptif yang jelas. Jangan hanya sekedar iya, setuju atau tidak. Karena itu, buatlah pertanyaan yang bentuk jawabannya butuh penjelasan atau gambaran yang cukup panjang, semisal: “apa”, “siapa”, “bagaimana” dan “mengapa”. Kalau dalam bahasa mantiqnya, buatlah pertanyaan dengan jawaban tashawwur (penggambaran deskriptif), bukan sekedar tashdiq (pembenaran) dengan ya atau tidak.

Komentar

Login untuk melihat komentar!