Lelaki Tak Tahu Diri

Jangan lupa subscribe cerita dan follow akun sebelum membaca yaa😘

Part : 2

Tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera mencari tahu soal ini. Jika memang benar mereka ada affair di belakangku, mereka harus siap menerima konsekuensinya.

***

Aku menunggu kepulangan Bang Ramlan, hingga waktu menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit. Kata-kata “Sayang” yang diucapkan Bu Lurah tadi masih tern swgiang-ngiang di telinga. Alasan salah sambung rasanya sangat janggal.

Yang lebih lucunya lagi, ia keceplosan mengatakan, hendak menelepon suaminya. Suami yang mana? Seantero kelurahan juga tahu, kalau Bu Lurah yang bernama Marni itu, sudah tidak memiliki suami, alias janda. Lalu, dia nyasar mau menelepon ke suaminya yang mana? Suami ghaib?

Kueratkan pelukan pada Shafa, putri kecilku yang masih berusia dua tahun. Dengan perasaan yang berkecamuk, kutatap wajahnya.

“Yang sehat ya, Nak. Karena cuma kamulah satu-satunya, yang menjadi sumber kekuatan bagi ibu,” bisikku di telinganya, lalu mendaratkan sebuah kecupan lembut di dahinya. Ia menggeliat ketika rambutku jatuh mengenai wajahnya.

Lama kelamaan, aku ikut terlelap dalam penantian malam itu, dengan tangan masih melingkar di tubuh mungil Shafa.

..

Saat terbangun, hari sudah pagi. Ternyata Shafa sudah bangun lebih dulu. Ketika aku membuka mata, Shafa tengah asyik bermain dengan bonekanya. Aku tersenyum dan langsung menciumi pipi gempilnya dengan gemas.

“Anak ibu sudah bangun?” Shafa menggeliat karena merasa geli, saat kuciumi gemas tengkuknya.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh tepat dan Bang Ramlan masih belum pulang. Rapat apaan dari malam sampai pagi begini?

Kuraih gawai di nakas. Tidak ada balasan atas pesan whatsapp yang kukirimkan malam tadi. Ah ya, ternyata ponselnya tidak aktif. Pesan yang kukirimkan hanya berlambang centang satu.

Kuhempaskan lagi tubuh di kasur, sambil mengusap kasar rambutku sambil memejamkan mata. Entah kenapa, bayangan pergumulan panas dan liar, berlalu dalam bayangan gelap saat mata terpejam. Cepat-cepat kubuka mata dan menggeleng pelan untuk menghalau pikiran buruk tadi.

Aku mendengkus kesal. Jika memang benar Bang Ramlan ada main dengan Bu Lurah atau wanita mana pun, itu artinya dia sedang melemparkan bola panas ke dirinya sendiri. Dia lupa, berkat jasa siapa ia bisa mendapatkan kedudukannya saat ini. Itu sama saja, ia menggali kuburan untuk karirnya sendiri.

Sesaat aku sedang tenggelam dalam lamunanku, tak berapa lama pintu kamar membuka. Dengan ekor mata, kulihat Bang Ramlan melangkah masuk dan langsung menuju kamar mandi. Bajunya masih sama seperti yang ia kenakan tadi malam. Hanya saja terlihat lebih kusut.

Kutunggu saja sampai ia keluar dari kamar mandi. Apakah ada niatnya untuk menjelaskan padaku atau tidak.

Pintu membuka dan Bang Ramlan keluar dengan rambut dalam keadaan basah. Dengan handuk yang melingkar di pinggang, lelaki bertubuh atletis itu berjalan menuju lemari. Bibirnya hanya diam seribu bahasa. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar.

Setelah menggunakan kaos dan celana boxer pendek, ia naik ke atas ranjang. Astaga, Bang Ramlan langsung memunggungiku, tanpa sedikit pun basa basi atau sekedar menyapa Shafa-anaknya.

“Bang …!”

“Hum,” jawabnya tanpa berbalik.

“Kok tidur? Memangnya kamu tidak kerja hari ini?”

“Aku izin tadi. Soalnya aku capek banget,” Lagi-lagi ia menjawab dengan posisi memunggungiku. Aku berusaha sabar dengan terus menarik napas dalam.

“Bang! Bisa tidak sih, kamu sedikit saja menghargaiku? Aku capek ngomong, cuma kamu belakangi terus,” sentakku mulai emosi.

Terlihat ia menarik napas panjang, lalu akhirnya berbalik menghadap ke arahku yang duduk di sisi ranjang.

“Apa sih, Dik? Abang capek sekali, ngantuk. Bisa nanti tidak sih, bicaranya,” sungutnya. Wajahnya begitu memelas. Terpancar kelelahan di raut muka Bang Ramlan. Aneh, seperti habis bekerja berat.

“Tidak bisa! Aku mau bicara sekarang,” desakku ngotot.

Ia mendengkus berat. “Ya sudah, bicaralah!”

“Kamu kemana tadi malam?”

“Ya rapatlah. Kan aku sudah bilang sama kamu.”

“Rapat apaan kamu malam-malam, bahkan sampai pagi-pagi begini baru pulang? Kelihatannya capek sekali lagi. Habis kerja rodi kamu?’

“Aduh, Dik, kalau hanya untuk menginterogasi abang saja, bisa nanti siang saja, tidak?” Bang Ramlan mengalihkan pembicaraan.

“Oh ya, tadi malam Pak Jaya menelepon ke hp-ku. Dia mencarimu. Pas aku bilang kamu pergi untuk rapat, dia malah bingung,” ujarku sembari menggantikan diapers Shafa yang sudah penuh.

“Terus kamu kemana tadi malam, Mas? Jangan-jangan kamu seling- ,” Ucapanku menggantung. Suara dengkuran halus memaksaku untuk menoleh. Bang Ramlan sudah tertidur pulas dengan mulut yang sedikit terbuka. Benar-benar kelelahan sekali dia.

Drrrttt … Drrrttt ….

Aku tersentak. Seperti suara getaran ponsel. Waktu aku melirik ke arah nakas yang ada di sisi Bang Ramlan, sepertinya ponsel yang ada di sana, tidak menunjukkan sedang ada panggilan.

Saat aku berusaha menajamkan pendengaran, suara tersebut tidak lagi berbunyi. Aku beranjak kembali membereskan beberapa pakaian kotor milikku, Shafa dan Bang Ramlan.

Ketika aku menunduk untuk mengambil kaos kaki milik Bang Ramlan yang berada tepat di bawah rak gantung pakaian, suara getaran ponsel itu berbunyi lagi.

Drrrttt … Drrrttt ….

Suara getaran itu berasal dari celana jeans yang digunakan Bang Ramlan tadi malam. Aku bangkit dan******celana jeans tersebut. Benar saja, ternyata ada ponsel di dalam saku celananya.

Panggilan di ponsel tersebut berhenti. Ada sembilan panggilan tak terjawab, yang tercantum di layar. Ponsel siapa ini ya? Atau jangan-jangan ia membeli gawai baru di luar sepengetahuanku.

Aku kesulitan untuk membuka ponsel misterius itu, karena menggunakan kunci sandi layar. Kubolak balik gawai itu. Dan mataku tertuju pada lubang sidik jari di punggung gawai tersebut.

Bergegas aku menghampiri Bang Ramlan yang tertidur pulas. Kucoba******tangannya, terbangun atau tidak. Sesekali kuangkat tangan yang ditumbuhi sedikit bulu-bulu halus, lalu menjatuhkannya. Bang Ramlan tetap bergeming. Justru dengkurannya semakin keras.

Kesempatan bagiku, untuk menggunakan jemarinya. Siapa tahu terbuka.

Satu persatu ujung jemarinya kumasukkan ke dalam lubang fingerprint di punggung gawai tersebut. Hingga jarinya yang ke delapan, tetap saja gagal. 

Aku mendengkus sebal, hampir menyerah. Ah, masih ada dua jari lagi. Mudah-mudahan saja kali ini bisa.

Kuraih jari manis di tangan kiri Bang Ramlan. Dengan perasaan harap-harap cemas, pelan-pelan kumasukkan jari manisnya ke dalam lubang sidik jari di gawai itu. Dan … yeeesss, berhasil! Kuhela napas lega. Bergegas kujelajahi ponsel misterius itu.

Kutepis rasa penasaran atas apa tujuan Bang Ramlan membeli ponsel lagi. Yang penting tujuan utamaku saat ini adalah aplikasi whatsapp di ponsel tersebut. Setelah itu, baru ke galeri fotonya.

Alangkah terkejutnya diriku, ketika menemukan chat-chat******di aplikasi berwarna hijau tersebut, antara Bang Ramlan dengan lurah janda yang bernama Marni itu. Meski dengan perasaan yang sangat terpukul, kupindai kode scan whatsapp Bang Ramlan ke whatsapp web di laptopku. Dengan begitu, akan lebih memudahkanku untuk melacak aktivitas percakapan mereka. Dengan tangan bergetar, kemudian aku bergegas berpindah ke galeri foto. Mungkin saja ada bukti lagi di sana.

Dan benar saja. Bermacam gaya mereka dalam berfoto dan begitu sangat mesra. Tidak seperti layaknya kedekatan antara lurah dengan sekretarisnya.

Namun yang lebih mengejutkanku lagi, ada beberapa video panas Marni dengan suamiku. Sudut mata terasa memanas. Pertahananku bobol sudah. Air mata mulai menganak sungai, ketika melihat video pergumulan liar dan panas di atas ranjang yang sepertinya dilakukan di hotel. Lengkap dengan desahan-desahan yang menjijikkan dan membuat ulu hatiku semakin mengerang sakit.

Tanganku mengepal kuat. Kuseka air mata yang membanjiri pipi dengan sedikit sisa sesegukan. Lihat saja nanti, kau akan kubuat mengemis dan berlutut, karena sudah bermain-main dengan Elma Saraswati, adik dari camat yang sudah membantumu mendapatkan jabatan ini, Bang.

***

Jangan lupa like dan berikan review bintang 5 nya😘