“Sayang, kok kamu belum datang juga, sih?” Suara wanita yang mendayu manja mengejutkanku. Sekali lagi kulihat ke layar ponsel. Benar, nama “Bu Lurah” yang tertera di sana. Tapi, kenapa ada panggilan sayang?
Kebetulan Bang Ramlan sedang mandi. Ketika terdengar ponsel berbunyi dan melihat nama Bu Lurah di layar gawainya, membuatku berinisiatif mengangkat.
“Maaf, Bu Lurah, kenapa memanggil sayang kepada suami saya?” tanyaku. Perasaan lain mulai menjalari hati.
“Eng, maaf, maaf, astaga, ternyata saya salah menekan nomer telepon, Bu Elma. Padahal tadinya saya mau menelepon suami saya. Kok malah nyasar ke nomor Mas Ramlan, eh, Pak Ramlan maksudnya,” jawab Bu Lurah tergelak.
“Sudah dulu ya, Bu Elma, saya mau menelepon suami saya dulu.” Tanpa basa basi lurah berstatus janda yang masih berusia muda itu, langsung menutup telepon.
Tinggallah aku yang terjebak dalam teka teki. Firasatku mengatakan lain. Tidak mungkin ia salah sambung. Masa iya Bu Lurah seceroboh itu, sampai salah sambung ke nomor bawahannya.
Lagipula, suami yang mana? Bu Lurah kan janda. Hmmm ... ada yang tidak beres.
“Kenapa kamu, Dek?” tanya Bang Ramlan, sambil menggosokan handuk ke kepalanya.
“Bu Lurah tadi menelepon ke handphone Abang. Tapi, anehnya, dia memanggil sayang sama kamu.”
Sontak raut wajah Bang Ramlan berubah pias. “Ah, mu-mungkin Bu Lurah salah sambung saja, Dek. Jangan berprasangka buruk begitu.”
“Gak bermaksud begitu sih, Mas. Cuma aneh aja. Jangan-jangan kamu ada main lagi sama lurah janda itu,” pancingku. “Secara dia masih muda dan cantik.”
“Ah, ngomong apa kamu? Udah, ah, aku mau siap-siap dulu. Ada rapat dadakan soal warga di kantor kecamatan,” tukasnya sambil mengenakan kaos dan celana berwarna hitam.
“Malam-malam begini?”
“Hu’um. Mas gak lama, kok.”
*
Rasanya baru saja mata ini terpejam, tiba-tiba gawaiku berdering. Kulirik jam di nakas, masih pukul setengah sepuluh. Ternyata aku ketiduran. Kupaksakan tubuh bangkit, kendati rasanya malas sekali. Lalu berjalan menuju meja rias. Karena ternyata gawai itu berada di sana.
“Pak Jaya?” gumamku, ketika membaca nama salah satu pegawai, yang juga bekerja di kantor kelurahan.
Segera kugeser tombol berwarna hijau. “Assalamu’alaikum, Bu Elma. Maaf mengganggu malam-malam begini.”
“Wa’alaikumsalam, Pak Jaya, tidak apa-apa. Ada apa nih, nelpon malam-malam begini. Pasti ada sesuatu yang penting ya, Pak?”
“Iya nih, Bu. Saya ada perlu dengan Pak Ramlan. Dari tadi saya hubungi, hpnya gak aktif. Ada yang mau dibicarakan soal rapat besok.”
Aku terkesiap. Rapat besok? Tapi, tadi kata Bang Ramlan …?
“Bu Elma … halo ….”
“Ah, iya, Pak. Bang Ramlan tidak ada di rumah. Katanya ada rapat soal di kantor camat malam ini.”
“Rapat malam ini? Tidak ada rapat kok, Bu, malam ini. Justru saya mencari beliau untuk membahas keperluan rapat. Tapi, baru besok rapatnya diadakan.”
Berarti Bang Ramlan berbohong padaku. Lalu kemana ia malam ini? Apa jangan-jangan ada hubungannya dengan telepon mesra Bu Lurah tadi?
Tidak bisa dibiarkan. Aku harus segera mencari tahu soal ini. Jika benar mereka ada affair di belakangku, mereka harus siap menerima konsekuensinya. Bikin malu instansi pemerintahan saja.