MOBIL SUAMIKU DI GARASI BU LURAH
Part : 5
Jngan lupa subscribe dan follow akun sebelum membaca yaaa.
Gelas kaca berisi air meluncur begitu saja. Tanganku serasa lemas tak bertulang mendengar ucapan Mas Ramlan. Apa kah dugaanku benar bahwa Lurah Marni itu … hamil? Dan akibat perbuatan suamiku?
Suara derap sandal terdengar mendekat. Buru-buru kututup ponsel dan berpura-pura menata rambut yang belum selesai dikeringkan.
Mas Ramlan berdiri tertegun melihat pecahan gelas kaca di dekat meja, yang biasa kugunakan untuk bekerja men-desain arsitektur bangunan.
"Kamu kenapa, Sayang?" teriaknya di antara deru suara mesin pengering rambut.
Aku yang berpura-pura sibuk dengan hair dryer tadi, menjawab seadanya. "Kenapa apa?"
"Itu, gelas kenapa bisa pecah?"
Kulirik sekilas ke arah pecahan gelas kaca yang kujatuhkan tadi. "Oh, tidak sengaja tersenggol tadi."
"Oh," sahutnya singkat. Dari cermin kulihat kegelisahan terpancar di wajah klimis lelaki yang belum genap empat puluh tahun itu.
Dihempaskan tubuhnya ke ranjang. Pandangannya lurus menatap plafon. Lagi-lagi Mas Ramlan berkali-kali mengusap kasar wajahnya.
Aku tersenyum getir. Ada konsekuensi yang mesti ditanggung, jika berani bermain api.
Drrrttt drrrttt.
Mas Ramlan langsung melompat dari ranjang, begitu mendengar suara gawainya berdering. Secepat kilat lelaki itu menyambar benda berlayar pipih tersebut.
Ketika hendak melesat ke luar, cepat kutahan lengan berisinya.
"Siapa sih yang nelpon, Mas? Kok sepertinya mengkhawatirkan banget?" ujarku dengan tatapan tajam.
Sontak Mas Ramlan menjadi salah tingkah melihat mataku yang tersorot tepat ke netranya. Ponsel pun hanya tergantung mengudara di tangannya.
"Halo … Halo … Ramlan," Terdengar suara di seberang telepon.
Kurampas ponsel tersebut. Meski sempat mendapat sedikit perlawanan dari Mas Ramlan, akhirnya pria bercambang itu melepaskan ponselnya.
"Halo … Halo …."
"Ya, halo."
"Eng, eng, i-ini siapa?"
"Masa Bu Marni tidak kenal dengan suara saya? Lagi pula mana ada wanita yang bersama laki-laki di tengah malam begini, selain pasangan suami istri. Kecuali, laki-laki dengan selingkuhannya," cetusku tanpa basa basi.
"Eh, iya ya, Bu Elma. Hahaha … Lama tidak bertemu, sampai lupa dengan suara Bu Elma," jawabnya. Tawa yang terdengar sangat garing di telinga. Kelihatan, hanya untuk menutupi rasa gugup saja.
"Oh ya, ada keperluan apa Ibu Lurah Marni menelepon suami saya makan-makan begini?"
Sejenak hening. Kulirik Mas Ramlan yang terduduk di sofa single di sisi ranjang, sembari mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi janggut tipis.
"Eng, anu, eheem," Marni berdehem. "Ada urusan pekerjaan penting, Bu Elma."
"Pekerjaan? Malam-malam begini, Bu?"
"I-iya, Bu Elma, khawatir besok Ramlan, eh, Pak Ramlan lupa," jawabnya tergagap.
"Oh begitu, Bu. Jadi, sekarang ini mau bicara dengan suami saya?"
"Eng, eh, tidak usah, Bu. Tadi sudah kok. Pesan kan ke beliau, besok datang lebih awal, karena ada beberapa yang mesti diurus."
"Baik, Bu. Akan saya sampaikan ke suami saya."
"Terima kasih, Bu Elma. Selamat malam."
Belum sempat aku membalas ucapan Marni, wanita tersebut sudah terlebih dahulu memutuskan sambungan telepon.
"Pesan Bu Lurah, besok Mas harus datang lebih pagi. Karena ada beberapa hal yang mesti diurus," ucapku sembari memberikam ponsel pada Mas Ramlan yang masih menunduk.
Ia menoleh sebentar dan melemparkan senyum tipis saat menerima ponsel yang kuberikan.
"Mas," Mas Ramlan tak jadi berdiri karena panggilanku.
"Ya, Sayang."
"Ada hubungan apa kamu dengan Bu Lurah, Mas?"
Mas Ramlan tergelak. "Hubungan apa sih, Sayang. Ya tentu saja hubungan pekerjaan lah. Mas kan sekretaris Lurah."
"Aku perhatikan, sedari tadi ponsel kamu tidak berhenti berbunyi. Memangnya Seklur itu mesti siap siaga 24 jam ya? Perasaan, sekretaris Bang Rizal tidak sampai seperti itu," selidikku.
"Ya beda, dong, Sayang. Bu Marni itu 'kan perempuan. Urusan sana perempuan itu agak sedikit lebih ribet dibandingkan berurusan dengan laki-laki," jawabnya beralasan.
Aku terus meyorot tajam mata lelaki yang menikahiku sejak lima tahun silam. Mas Ramlan segera memalingkan wajahnya begitu netra kami bertemu. Sama sekali ia tidak berani menatap.
"Oh, begitu. Aku juga perempuan. Berarti berurusan denganku ribet juga dong?"
"Yaaa … Gitu deh. Apa lagi kalau kamu sudah ngambek. Pusing mas dibuatnya," Mas Ramlan mencolek daguku.
"Sudah, ah. Mas ngantuk. Kita tidur yuk."
"Mas duluan saja. Aku ada pekerjaan sedikit lagi yang belum selesai."
"Oke. Tapi, kamu jangan bekerja sampai terlalu larut ya," pesannya sambil menarik bed cover berwarna merah maroon hingga batas dada.
Aku beranjak menuju meja kerja yang terletak di sudut kamar dekat meja rias.
Bukan pekerjaan yang kulakukan seperti kataku tadi, melainkan membuka laptop dan memeriksa whatsapp Mas Ramlan yang sudah terhubung ke laptop-ku.
Satu persatu pesan kutelusuri. Tak ada yang berarti dan mencurigakan. Apa kah Mas Ramlan sudah mengetahui bahwa whatsapp-nya telah kusadap?
Tring.
Aku terhenyak ketika sebuah pesan tiba-tiba masuk. Dan itu pesan dari Lurah Marni!
Tanpa membuang waktu, segera kubuka pesan tersebut. Seketika mata membelalak membaca pesan disertai foto dari wanita yang sebenarnya lebih tua usianya dari suamiku itu.
Ada foto tespack bergaris dua dan lembar hasil USG.
[Ini bukti kehamilanku, Ramlan. Ini anak kamu. Anak kita]
Tanganku bergetar hebat di atas mouse. Ternyata benar dugaanku, Lurah Marni hamil dan akibat perbuatan Mas Ramlan--suamiku.
Tring.
Pesan kedua masuk lagi. Dengan tangan yang masih bergetar hebat, kembali kubuka pesan dari Lurah Marni.
[Aku tidak mau tahu, Ramlan. Kamu harus bertanggung jawab atas kehamilan ini.]
[Kita menikah siri saja. Tak kutuntut kamu untuk menceraikan Elma. Cukup bagi saja waktu antara aku dan dia. Dengan begitu, Elma tidak akan tahu. Dan posisi kita juga aman di kelurahan.]
****