Bab 7


         Cichi memasuki kamar. Lalu menutup pintunya. Sejenak aku masih berdiri menatap penampakan Cichi sekarang, tanpa sadar bikin keinget obrolan ama Bang Wawan siang tadi. Saat aku datang ke studionya buat ngoper pemotretan.

"Bang, lu ada pemotretan? Dicariin Mbak Rina tadi!" Rendy yang lagi duduk nyantai di depan counter langsung nanya saat melihat aku barusan turun dari motor. Dia adalah salah satu asisten baru Bang Wawan.

"Kok nyari gua. Kan kemaren gua dah bilang mau oper ke kalian." Aku menarik kursi yang paling dekat dengan laki-laki itu. "Bang Wawan mana?"

Bang Wawan, salah satu fotografer senior beberapa majalah dewasa. Seringkali kami saling oper gawe kalo salah satu ada yang nggak bisa megang pemotretan.

"Emang kenapa gak lu ambil?" Bang Wawan yang ternyata ada di dalam menoleh sebentar, lalu kembali fokus mengelap lensa kamera miliknya.

"Pemotretan malem. Gua nggak bisa keluar malem seminggu ini." Bang Wawan menoleh. Bertanya lewat tatapan mata.

"Lagi tempat Pak Ardi, jagain Cichi." Aku meraih salah satu kamera.

Tawa tersembur dari mulut Bang Wawan. Sialan memang. "Kok bisa ya ada orang nyuruh kucing jaga ikan? Heran gua."

"Teak." Aku mengumpat.

"Cichi anak gadis Pak Ardi itu, kan? Gua inget masih kecil aja dah cantik banget, apalagi gedenya." Dia mengingat-ingat. 

"Gua sih percaya lu bisa jaga dia dari dunia luar, secara lu mental sekuriti. Lah kalo jaga Cichi dari diri lu sendiri? Apa sanggup?"

"Yaelah." Aku berdecak sambil menggelengkan kepala. "Nggak percaya amat."

"Kek mana gua gak mikir begitu. Secara gua dah paham bener gimana track record lu."

"Anjirrr."

Bang Wawan ketawa ngakak. Beberapa saat kubiarkan tawanya berderai, sementara aku menggeser mouse melihat-lihat hasil pemotretannya.

"Tapi ... kadang memang sering kejadian begini." Bang Wawan mulai bicara serius.

"Apaan?"

"Saat ada orangtua yang kelewat naif, mempercayakan anaknya ke seseorang yang dianggap keluarga, atau sekadar karib. Berpikir dengan begitu semua bakal aman. Karena orang dekat berarti bakal jaga dari orang lain plus nggak mungkin macam-macam. Eh, taunya malah dimakan sendiri."

Aku menoleh menatap wajah pria dewasa itu. Ada sisi logika yang mengiyakan, tapi ada juga sisi yang merasa tersinggung karena itu artinya saat ini sedang diragukan.

"Lu pikir gua bakal sebangsat itu makan anak kecil, Bang?"

Bang Wawan mengangkat bahu. "Ya bagus kalo enggak," sahutnya cuek.

"Vangke."

Tawa kembali berderai dari bibirnya yang kehitaman.

Di layar komputer di hadapanku, terlihat jajaran foto gadis-gadis berpose menantang. Memamerkan segala lekuk yang cukup membuat otak terangsang.

Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Dengan berbagai alasan. Bullshit kalau alasannya hanya sekadar ingin membantu keluarga dari kemiskinan. Karena yang kutangkap selama beberapa kali dekat, alasan sebenarnya adalah karena mereka kurang perhatian.

Keluarga yang memberi cukup perhatian, tak akan membiarkan putri mereka menjual daging sendiri. Dengan alasan apapun. Begitupun dengan wanita yang mendapat cukup perhatian dalam keluarga, tak akan berniat mempermalukan keluarga sendiri. Demi alasan apapun.

Putri yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang, biasanya merasa lebih punya harga diri dibanding yang kurang perhatian.

***

Kami makan malam bersama. Cichi memakai kaos dan hotpants, sementara rambut hitam panjangnya diikat ekor kuda. 

Sikapnya memang udah nggak senorak dulu. Nggak terlalu cerewet dan nggak banyak tanya. Cukup sopan dan lumayan pendiam malah. Tapi masih beberapa kali kepergok curi-curi pandang.

"Mmm ... Tante Mel, gimana kabarnya sekarang?" Akhirnya dia bertanya.

Pertanyaan yang hampir membuat tenggorokan terasa kering seketika, aku buru-buru mengambil air minum. Sementara dia hanya mengamati.

"Baik," jawabku, "mungkin."

"Kok mungkin? Memang ... kalian nggak sama-sama lagi?" Tatapan mata lentiknya menyelidik.

"Hmmm."

"Iya?"

"Tante Mel udah nikah tiga tahun lalu."

"Ooh." Dia mengangguk-angguk. Sempat kulihat senyuman tertahan di bibir kemerahan itu.

Setelah itu, kami saling diam.

Sedikit nggak nyangka juga suasananya jadi secanggung ini. Karena kupikir dia hanya sesosok anak kecil, kayak beberapa tahun kemarin.Tapi setelah liat tingkah dan bentuk tubuhnya saat ini, aku mulai sadar dia memang sudah tumbuh menjadi seorang gadis belia.

Hape yang ia letakkan tepat di samping piring tiba-tiba bergetar. Cepat, dia melongok ke layar. Setelah membaca nama yang tertera buru-buru diangkat dengan senyum lebar menghiasi wajah.

"Gue lagi makan, entar setengah jam lagi deh." Dia menyahut setelah berjalan menjauhi meja makan. 

"Nggak, nggak usah dijemput."

Aku menyipit.

"Iya. Pasti gue ke sana. Oke, dadah."

Lalu nggak balik ke meja makan malah melangkah menuju kamar.

***

Baru pertama kali ini menginap di rumah Pak Ardi. Biasanya dia cuma minta tolong jagain toko atau ngawasin karyawan selama lagi pergi.

Pak Ardi memang punya beberapa kerabat dekat, tapi entah kenapa lebih suka mempercayakan semuanya padaku. 

Mungkin karena dia berpikir anak sahabat karibnya nggak mungkin macam-macam, terutama karena dia tau sifat dan sikap Papa kayak apa.

Aku mengacak rambut yang masih basah, keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamar. Baru saja akan membuka handuk yang melilit pinggang, saat kudengar suara pintu terbuka.

Ceklek!

Nongol muka Cichi, ngeliat yang di depannya cuma pakai handuk mata lentiknya membelalak kaget. Refleks ia menutup mulut dengan telapak tangan, lalu menutup pintu lagi.

Aku memutar bola mata. Mau ngapain tuh anak, masuk kamar nggak ketuk pintu dulu. Ada-ada aja!

Setelah selesai memakai baju lengkap, aku keluar.Terlihat Cichi duduk di sofa depan tv. Sekilas dia menoleh, lalu cepat-cepat membuang muka. Gugup atau merasa salah mungkin!

"Mau ngapain tadi?" Aku bertanya setelah dekat.

"Mmmm ...." Dia menunjukkan ekspresi berpikir. Nggak yakin antara mau ngomong atau enggak.

"Kenapa?"

"Kak, ada temen ngajak keluar," jawabnya ragu.

"Siapa?"

"Temen."

"Berdua?"

"Ramean."

"Cewek semua?"

"Iya."

"Keluar ke mana?"

Dia nggak jawab. Bikin curiga!

"Biasanya papi ngasih izin kok. Asal pulangnya nggak kemaleman." Dia berusaha berargumentasi.

Aku terdiam sebentar. Merasa ada tanggung jawab yang diberikan oleh Pak Ardi harus dijaga dengan baik. Sedangkan sama Kenzi, yang keponakan sendiri aja aku lebih galak dari ini. 

Padahal dia cowok. Gimana pun ... mereka masih anak-anak yang belum mengerti banyak pergaulan sesat di luar sana.Walaupun aku memang sudah menjadi bagian dari itu.

"Ya udah," sahutku akhirnya.

Matanya berbinar kegirangan menatapku. Langsung bangkit berdiri dan melangkah cepat ke kamar, lalu menutup pintu rapat-rapat. Ganti baju kayaknya. Sementara aku mengempaskan diri gantian duduk di sofa.

***

Beberapa saat kemudian, pintu kamar Cichi terbuka.

Aku menyipit.

Terusan warna merah dengan bagian bawah setengah paha. Bentuknya yang lebar bikin pahanya tersingkap kemana-mana saat melangkah. Sementara bagian leher kelewat rendah sampai keliatan garis tengahnya.

Tau aku duduk bersantai di depan TV, dia segera mendekat. Lalu tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.

"Aku janji nggak pulang terlalu malam," ucapnya berusaha meyakinkan.

"Malam juga nggak apa-apa." Aku membalas senyumnya, lalu bangkit berdiri.

Matanya membulat menatapku, antara senang dan nggak percaya bisa dikasih kebebasan begitu aja.

Tapi ....

"Dianterin!" Aku memutuskan.

Seketika binar di matanya lenyap. Bibir gadis itu mengerucut, kemudian menggigit bibir sambil memilin ujung roknya yang kependekan. Sementara aku kembali menatap layar TV.

"Mmm ... nggak usah deh. Aku nggak jadi pergi." Akhirnya gadis itu memutuskan.

"Ya udah, belajar sana!"

Terdengar suara decak bibirnya pelan. Kayaknya kesal setengah mati, aku tau. Lagian ngapain juga anak cewek malem-malem kelayapan?

Baru saja dia akan berbalik ke kamar saat hape yang digenggamnya berdering.

Aku menoleh. Terlihat Cichi buru-buru mengangkat telepon sambil mempercepat langkah ke kamar.

"Ahm ... Vit, gue gak jadi pergi deh." Lalu entah suaranya tak terdengar lagi.

***

Aku membuka pintu, lalu melangkah keluar rumah. Berjalan ke teras samping, di mana terdapat banyak pot-pot bunga aneka warna. Lalu bersandar di dinding sambil menghisap rokok di sela jari.

Satu 

Hening.

Dua 

Masih hening.

Ti ....

Terdengar suara jendela terbuka pelan. Sepelan saat daunnya mulai terdorong lebih lebar.

Pertama sepasang heels di lempar keluar, mendarat hampir tanpa suara di atas tanah berumput di sekitar jendela kamar.

Selanjutnya, satu kaki mulai terjulur disusul kaki berikutnya. Terlihat sedikit kepayahan karena rok yang menutupi paha langsing itu sempat tersangkut di jendela hingga short pants-nya ke mana-mana. Tapi si pemilik paha gigih berusaha keluar dengan satu tangan menahan daun jendela yang lumayan berat untuk lengan sekurus yang ia punya.

Setelah beberapa saat melakukan adegan yang hanya bisa dilakukan oleh profesional, akhirnya tubuh itu berhasil mendarat mulus di atas rerumputan dengan kaki telanjang. Baru saja menarik napas lega saat akhirnya aku berkata.

"Keren!"

Dia menoleh cepat, kaget, sampai hampir terhuyung karena memang berdirinya belum seimbang benar.

"Kak Levine?" Mata bulatnya melebar. Di bawah cahaya lampu teras yang sedikit redup, terlihat bagaimana wajah itu sudah memakai make up lumayan berani hingga terlihat lebih dewasa dari usia sebenarnya.

"Ngapain?"

"Nggak ngapa-ngapain."

"Kok lompat jendela?"

Dia menunduk.

Aku menjatuhkan rokok dari sela jari, lalu menginjak sampai nyalanya mati. Kemudian kembali beralih menatap wajah gadis itu, tajam.

"Biasa ngelakuin yang kayak gini?"

"Ng ... nggak!"

"Tapi kayanya udah biasa."

Cichi menggigit bibir bawah sambil menunduk dalam-dalam.

"Biasanya enggak. Karena biasanya papi sama mami langsung kasih izin."

"Kan kakak tadi ngasih izin?"

"Tapi mau nganter, kan sama aja nggak ngasih izin."

"Mau pergi ke mana emang?"

Cichi terdiam lagi.

"Ke mana?"

Baru saja dia akan menjawab saat hapenya berdering lagi. Dia sempat menatapku ragu, lalu mengerti bahwa aku menyuruhnya mengangkat telepon itu dengan menekan tombol loud speaker-nya.

"Chi, udah bisa keluar belum? Kita udah ada di De Angel nih!"

Aku menatapnya tajam. De Angel adalah tempat karaoke yang cukup dikenal akhir-akhir ini. Biasa jadi tempat janjian pasangan kencan, tapi lebih sering jadi tempat kenalan para abege labil dengan om-om hidung belang. Lalu disewa semalam.

Meskipun tak sedikit juga yang hanya ke situ untuk kumpul bareng teman dan keluarga. Tapi ngeliat Cichi dan teman-teman sekolahnya, aku nggak yakin mereka cuma mau menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa.

Aku memberi kode agar ia kembali masuk ke rumah lewat pintu depan.

"Ayo masuk."

Langkahnya terlihat malas-malasan memasuki pintu rumah. Berjalan lurus tanpa menoleh lagi.

Setelah mengunci pintu depan, aku menyusul langkahnya masuk ke dalam kamar. Mata itu membulat melihatku membuka pintu dan memasuki kamarnya.

"Kak Levine pengen tidur di sini juga?"

Aku menoleh. Lah, kok dia nantang?

.

Next



Komentar

Login untuk melihat komentar!