"Baru pulang, Vin?" Papa nanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV yang lagi siaran acara berita politik kesukaannya.
"Ayaay!" sahutku sambil lalu.
Jarum jam dinding udah lewat dari angka tujuh malam, padahal toko tutup jam 5 sore. Nongkrong sebentar tadi, sambil nyari kaset PS.
Terdengar Papa menggerutu mendengar jawabanku, tapi ya cuek ajalah.
Buka tudung saji di meja makan, cuma ngeliat ayam goreng. Aku menggaruk kepala. Hampir tiap hari Papa masak ayam goreng. Kadang bosen juga, tapi okelah, mungkin karena Papa nggak terlalu bisa masak jadi cari jenis masakan yang nggak ribet dan cepet masaknya.
"Pake nasi makannya!" Papa berseru dari depan TV.
Ayam goreng yang sudah terlanjur kegigit dibalikin ke piring lagi.
"Dasar jorok!" omel Papa.
"Cerewet." Aku menggaruk kepala.
Lalu mulai bingung harus mulai ngomong dari mana. Akhirnya cuma jalan mondar-mandir dari ruang makan ke kamar, terus balik lagi ke dapur. Sambil ngelirik ke arah Papa yang terlihat santai di depan TV. Setelah beberapa kali bolak-balik dilewatin akhirnya dia sadar juga.
"Ada apa? Mau ngomong sama Papa?"
Aku berhenti di dekat Papa, garuk kepala. Terus ngeluarin dompet yang ada amplop putih terselip di dalamnya.
Sedikit merasa canggung, lalu ....
"Nih, Pa. Gajian tadi!" Aku mengulurkan amplop putih itu padanya.
Entah kenapa malah berasa kayak mau nembak cewek. Deg-degan. Mereka bilang, beri gaji pertama pada ibumu sebagai langkah awal membahagiakan orangtua. Karena saat melihat senyum haru yang terpancar dari wajah ibu, itu akan menghapus semua lelah kerjamu. Tapi ....
Aku nggak punya ibu.
Papa sejenak terdiam menatap amplop putih itu. Kemudian mengulurkan tangan dengan gerakan mirip slow motion. Entah karena dingin, atau ... haru.
Ah, sialan. Mau mewek jadinya!
Lagi, aku menggaruk kepala. "Mandi dululah! Gerah!" ucapku sambil berlalu. Menyambar handuk, kemudian melangkah ke kamar mandi.
Kalo Mama masih ada, mungkin rasanya akan beda.
Setelah menutup pintu, baru kubiarkan mata sejenak dipenuhi kaca-kaca.
.
Keluar kamar sambil mengacak rambut yang basah, kulihat Papa berdiri menghadap jendela. Pandangannya jauh ke luar. Kayaknya lagi mikir sesuatu.
Mungkin terharu karena anak yang biasanya ngabisin duit, hari ini udah bisa kasih gaji pertama?
Canggung, aku berdiri di sebelahnya.
Muka Papa keliatan sedih. Wah, bakal ada acara tangis-tangisan nih.
"Pa, kenapa?" tanyaku hati-hati. Berasa lagi akting drama korea. Elah.
Papa menghela napas, lalu menggeleng.
"Kata temen-temen, gaji pertama itu memang bisa bikin orangtua nangis. Wajarlah kalo Papa jadi terharu."
Mata papa mulai memerah. Lalu ....
"Papa bukan mikir itu, Vin! Ini gaji kamu kenapa banyak banget potongannya?"
Jiyaaaaaa! Gubrak!
***
Akhirnya makan malam kali ini disertai omelan Papa.
"Papa baca kertas peringatan di dalam amplop, kamu udah delapan kali telat masuk kerja! Alasannya apa?" gerutu Papa sambil menyuapkan nasi ke mulut.
"Yah, masa nggak inget? Kan Papa sendiri yang nyuruh nganterin si Onet!"
"Onet siapa?"
"Halah!"
"Oh, si Kenzi? seenaknya aja manggil nama keponakan!"
Kenzi itu keponakan dari sodara sepupu yang tinggal di sebelah rumah. Seringkali ayahnya minta tolong nganterin Kenzi yang masih SD itu karena dia sibuk mijitin bininya yang lagi hamil gede.
"Ya siapa lagi yang sekolah harus dianter sih?" sungutku dengan mulut penuh nasi. "Arah sekolah dia sama tempat kerja aja beda. Gimana nggak telat kalo suruh nganterin dia."
"Kan nggak tiap hari, Vin! Kasian!"
"Ya berarti jangan ngomel. Kan udah tau alesan telatnya apa."
"Yang ngomel siapa? Papa kan nanya."
"Halah."
Sesaat kami terdiam. Cuma terdengar klontang-klonteng suara sendok dan piring beradu.
"Kalo nggak salah, anaknya si Ardi udah segede Kenzi ya?" Papa tiba-tiba nanya.
Aku langsung terbatuk sampai makanan di mulutku hampir tersembur.
"Iya," jawabku singkat.
"Siapa namanya?"
"Cichi."
"Iya, Cichi. Kelas berapa?"
"Kelas 5."
"Udah bisa apa dia sekarang. Dulu terakhir liat pas dia udah mulai belajar jalan."
"Udah bisa godain om-om."
"Levine!" Papa melotot.
Nah kan, orang normal pasti nggak percaya kalo ada yang bilang anak segitu udah bisa godain om-om. Entah karena dunia anak sekarang udah mulai tergeser mentalnya, atau karena mereka yang dewasa kurang begitu mengawasi perkembangan sesatnya?
Yang jelas, anak kecil yang punya pemikiran dewasa sebelum waktunya, yang udah mulai berani bilang sayang-sayangan di tempat umum, yang berani nunjukkin perhatian sama lawan jenis dengan usia jauh lebih dewasa, yang ingin tahu banyak hal belum sepantasnya ...
... itu memang ada.
***
Jam sepuluh aku masuk kamar. Sementara Papa masih asyik ngeliat layar TV di mana para politikus sibuk membela diri. Udah kayak nonton sinetron. Akting paling bagus memang akting para politikus.
Jaman sekarang tekhnologi sedang merusak dua sisi.
Satu sisi anak-anak yang membuat mereka lebih cepat berpikir dewasa sebelum waktunya. Sedang yang satu sisi orang-orang dewasa yang membuat mereka berpikir kekanakan akibat mengamati politik didramatisir dari hari ke hari.
Mending main game!
Tiba-tiba hape bergetar. Sebuah nama muncul di layar. Ternyata Melisha.
"Oii." Aku menyelipkan hape di antara pipi dan bahu. Sementara kedua tangan masih sibuk memainkan stik PS.
"Ngapain?"
"Tidur!" Aku mengulum senyum.
"Tidur bisa angkat telpon ya?" sindirnya sambil tertawa. Riang suaranya. Saat itulah aku mengerti bahwa Melisha cuma pengen ngobrol.
Ah, lampu ijo nih!
"Malem minggu besok ke mana, Vin?" Dia bertanya, "cuma nanya loh! Bukan mau ngajakin jalan!" ralatnya. Malu mungkin.
"Nggak ke mana-mana. Kenapa emang?"
"Nggak ke mana-mana? Oh iya, lupa. Lu kan jomblo!" Tawanya berderai. Sialan!
"Kan sama," sahutku dengan mata fokus ke game yang kumainkan.
Sesaat hanya tawanya terdengar, lalu perlahan menghilang.
"Mel," panggilku.
"Ya?"
"Jalan yuk!"
"Ih, masa gue jalan ama brondong?" Dia mengejek.
"Kaga ada yang tau juga mudaan gua. Secara lu lebih pendek!"
"Sialan lu, ngatain gue pendek!"
"Kan yang pendek imut."
"Iya juga!"
Kami tertawa.
"Jalan, ya?" desakku.
"Hmm, nggak tau deh. Besok!"
Dasar cewek. Tadi dia yang mancing, giliran dibales pura-pura mikir. Haks!
"Yaudah, tidur sana, udah malem!" Aku berkata sok perhatian, padahal karena lagi sibuk main game.
"Ya udah, met tidur."
Eaaaaa, ada yang kata-katanya mulai manis!
"Oh ya, besok pake baju kemeja biru yang waktu itu lu pake ya. Biar keliatan rapihan dikit, jadi kesannya dewasa!" pesan Mel.
Jah, mulai ngatur!
"Iya," jawabku cuek.
"Ya udah, met tidur!"
"Ciumnya mana, Mel?"
"Genit!" Dia mengumpat.
Aku menahan tawa. Lalu terdengar suara sambungan telepon diputus dari seberang.
Senyum tersungging di bibir. Akhirnya, jalan juga sama Melisha!
***
"Ciee si Bule abis gajian dandanannya dewasa bener!" Bang Leo nyeletuk reseh saat aku baru melangkah masuk ke toko, "kalo kaya gitu lu jadi gantengan dikit, Vin! Asli!"
"Ganteng mah udah dari dulu kali, Bang!" sahutku sambil nyengir.
"Topi bayinya mana? Kok kaga dipake?" Bang Aji ikut menimpali.
Jah, topi rajut dibilang topi bayi. Payah manusia era jadul mah!
Aku masuk ke barisan meja komputer. Tumben-tumbenan hari ini berangkat agak pagian, sementara Mel ... belum nongol sampe sekarang.
Kemana tuh cewek? Jangan-jangan lupa kalo malem minggu ini kita ada janji?
Kudengar detak langkah sepatu dari lantai atas. Tadinya kirain Bu Juju yang selesai ngepel di sana, nggak taunya saat aku menoleh ....
Melisha!
Pake celana jeans ketat, atasannya baju warna item. Walau bajunya cuma kaos ketat biasa, tapi sumpah seksinya nyata! Wow 10x lah.
Melisha langsung senyum, mungkin sadar ada yang lagi terpesona ama penampilannya.
"Kedip ngapa, Vin!" godanya sambil mengibaskan tangan di depan mata.
Aku mengalihkan pandangan ke layar komputer. Deg-degan! Tanpa sadar kembali mengulum senyum.
Nggak sabar langsung ketemu malem.
"Pagi!" Terdengar sapa riang khas bocah mengiringi kedatangan Pak Ardi dan istrinya.
Tanpa menoleh pun aku udah tau siapa yang dateng.
"Pagi, Cichi!" Bang Leo dan yang lain langsung menjawab.
"Ih, Cichi cantik banget hari ini," puji Karen dari balik meja counter.
"Kayanya janjian malam mingguan ama pacarnya ya?" Nisha menimpali.
"Cieee, mau jalan ama Kakak Levine kayaknya!" Bang Aji ikut menimpali.
"Pantesan hari ini si Bule dandanannya beda! Ternyata janjian ama Cichi!" Bang Leo ikutan nimbrung.
Lalu terdengar tawa mereka.
Vangke!
Aku memiringkan kepala dari layar komputer. Melongok ke arah Cichi yang masih berdiri di depan meja counter.
Astaga!
Kali ini dia memakai baju yang terlihat ... jauh lebih dewasa dari usianya. Celana jeans ketat dengan atasan warna merah polos tanpa gambar Frozen, Hello kitty, atau Barbie kaya biasanya!
Kaosnya bertuliskan 'I am yours, Baby.' WTF!
Saat tau dipandangi olehku pipinya langsung bersemu semerah tomat, kemudian menunduk sambil sedikit menjulurkan lidah.
Aku menyandarkan siku di meja komputer, dengan telapak tangan menutup sebagian muka.
Hadeeeh, dasar bocah!
***
Jam setengah lima sore komputer udah mulai dimatikan satu persatu. Cuma tinggal komputerku yang menyala karena masih ada satu pelanggan yang meminta edit lumayan ribet.
Sementara kulihat anak counter mulai bersiap pulang. Termasuk Mel. Dia sempat menyisir rambut lalu merapikan kembali riasan wajah, sambil mengobrol dan tertawa dengan yang lain.
Cantik.
Anak-anak mulai pamitan satu persatu. Pamit ke Pak Ardi dan istrinya, juga melambaikan tangan padaku. Dadah-dadah norak karena ngeledekin. Sialanlah, kerjaan masih belum selesai.
"Vin, gue nunggu di luar ya!" Mel melambaikan tangan padaku.
"Ayaay!" jawabku sambil lalu. Menahan resah karena pelanggan reseh yang masih keukeuh meminta edit ini itu.
Setelah beberapa saat melihat keadaan toko yang mulai sepi, akhirnya tuh pelanggan tahu diri.
"Terusin besok aja, Dek! Kayanya udah waktunya pulang." Dia memutuskan.
Elah, bukannya dari tadi, vangke.
"Okelah," sahutku lega. Tanpa basa-basi lagi langsung mematikan komputer.
Setelah si pelanggan pergi, aku berniat ikutan keluar jadi pamitan ke Pak Ardi dulu, tapi ....
"Levine!" Pak Ardi memanggil.
Aku mendekat ke meja kasir. Mereka berdua udah kelar ngitung nota dan uang. Sementara Cichi berdiri tak jauh dari kami.
"Ya, Pak?"
"Malam ini Bapak dan Ibu mau menghadiri acara salah satu relasi. Nah si Cichi minta diantar ke toko buku karena lagi ada bazar di sana. Tolong kamu antar dia, ya?" Pak Ardi minta tolong.
Aku melirik Cichi. Menyadari apa yang menjadi alasannya dandan sedewasa itu hari ini. Ternyata itu anak cerdas juga. Memanfaatkan kedudukan orangtua biar bisa diajak keluar malam minggu ini!
Di luar sana, Mel mulai resah berdiri di tempatnya.
Matii ....
.
Next