SOSOK MISTERIUS ITU
Part 1
SOSOK MISTERIUS ITU

Angin berembus kencang, berputar, berliuk, dan mengempas seakan mengajakku untuk menari. Entah tarian apa yang sesuai dalam badai ini. Angin menderu dingin memaksaku memeluk tubuhku sendiri. Bahkan, ujung rambutku sendiri mulai terasa berkhianat karena turut menyakiti kulitku yang mulai membeku.

Aku rasanya tidak percaya angin bulan April bisa bertiup sekencang ini. Sepertinya air hujan juga akan segera ditumpahkan dari langit. Sudahlah! Aku sebentar lagi akan pulang dan melewati semua ini!

Pulang? Pulang ke mana? Aku sadar tidak punya tempat untuk pulang. Rasanya menyakitkan karena tidak memiliki tempat untuk pulang. Bukankah aku baru saja meninggalkan tempat yang memuakkan itu? Keluarga yang kacau balau dan hanya ingin memanfaatkanku untuk kepentingan mereka bukanlah suatu tempat yang layak untuk disebut tempat pulang. Masa-masa tidak punya teman yang benar-benar teman juga bukan masa yang layak untuk dikenang dan dirindukan, bukan?

Ah, benar saja! Hujan sudah turun. Aku berlari kecil menuju tempat yang tidak kuketahui. Apakah ini benar-benar kota Medan yang baru saja kudatangi? Bukankah tadi aku sedang mencari tempat kos yang diberikan oleh Noel? Menuju ke mana aku dengan memakai gaun merah dan sepatu hitam berhak tinggi seperti ini? Di mana koperku?

Aku harus pulang! Ah, aku melakukan kesalahan lagi. Aku harus pergi. Hei! Hentikan! Mengapa langkahku tidak berhenti? Halaman siapa ini? Taman? Bukan? Mengapa lantainya tiba-tiba berubah menjadi sebuah ruangan?

"Tidak! Hentikan! Aku tidak membunuh mereka. Aku bukan pembunuh. Kalian tidak akan tahu kepedihan yang kurasakan."

Suara pria? Siapa? Apakah di ruangan ini ada seseorang? Ini ka...mar? Kamar siapa? Mengapa aku berada di kamar orang lain?

"Untunglah, bukan kamar!" kataku lega. Namun, aku tersentak melihat sumber suara itu. Seorang pria sedang tengkurap dan luka-luka seakan seseorang sedang memukulinya. Itu! Bayangan hitam itu yang menekannya ke tanah dan mencakarnya.

"Maafkan aku. Aku pembunuh! Iya. Aku pembunuh. Aku tidak sengaja. Aku juga tidak ingin kehilangan. Maafkan aku!"

Apakah aku harus mendekatinya atau tidak? Sejujurnya, aku sangat takut. Namun, aku tidak sanggup melihat keadaan pria ini. Bagaimana ini?

Lihatlah, bayangan itu mencekik lehernya! Aku...aku tidak akan tinggal diam sebelum dia mati. Tapi, dia tadi katanya seor pembunuh? Nyaliku menjadi ciut.

"Akh!"

Sudahlah. Yang penting aku harus menyelamatkan dia dulu! Aku membuka pintu yang setengah terbuka dan segera memasuki ruangan.

Deg.

Ada yang menahan bahuku. Cengkeraman  tangannya semakin lama semakin kuat. Kini, kurasakan ada yang terasa dingin di lenganku bagaikan siap menyayat kulitku.

***

"Hana!"

"Ah. Lepaskan aku," teriakku sambil memberontak melepaskan diri. Aku langsung berdiri begitu terlepas.

"Lho! Kamu mimpi buruk, ya?"

Aku memandang serius ke wajah yang ada di hadapanku dan meneliti ruangan ini sejenak. Wajahku mulai terasa panas karena menahan malu. Pasti wajah ini sekarang merah seperti kepiting rebus.

"Maaf, Kak. Aku...mimpi buruk," kataku salah tingkah.

"Hmm... sepertinya begitu," kata Rea sambil tersenyum. "Coba minum dulu tehnya. Sepertinya, kamu terlalu capek karena baru saja perjalanan panjang dari kampung."

"Terima kasih, Kak Reza," kataku sambil duduk kembali di sofa. Aku celingak-celinguk mencari koperku. 

"Mencari apa? Koper?" tanya Rea. "Tadi sudah dimasukkan Kiki ke kamar. Minumlah dulu. Setelah itu, nanti Kiki tunjukkan kamarnya. Istirahat saja dulu, mandi, lalu kita nanti makan malam bersama," kata Tes lagi. 

"Kiki? Kiki di rumah, ya, Kak?" tanyaku. Aku ingat anak itu. Aku pernah melihatnya saat masih kecil. "Sekarang berarti sudah kelas 5 atau 6 SD?"

"Iya, di rumah. Kan sedang libur pembukaan puasa? Dia sudah SMP, lho, Hana! Kelas 1."

"Iyakah? Tidak terasa, ya? Dulu masih balita waktu kakak datang terakhir kali ke kampung," kataku dengan suara tercekat. Aku mendadak merasa sedih.

"Iya. Sudah! Kita tidak usah ingat hal-hal sedih," kata Kak Tae menyemangati. "Sebentar aku jawab telepon abangmu dulu. Siapa tahu ada hal penting. Ki! Tolong tunjukkan kamar sama tante!"

Aku menatap punggung Rae yang menghilang ke balik pintu. Seorang gadis remaja berambut panjang datang menghampiriku. 

Tiba-tiba aku teringat lagi dengan mimpi anehku tadi. Mengapa pula aku mimpi buruk di hari pertama menginjakkan kaki di kota ini? Semoga bukan pertanda buruk! Tapi, benarkah itu mimpi buruk? Entahlah!

(Bersambung)

Komentar

Login untuk melihat komentar!