Bayi itu akhirnya tertidur, setelah lelah menangis. Munah menidurkannya dalam dekapan lantas membaringkan di tempat tidur.
Tubuhnya serasa begitu lemah, setelah apa yang terjadi hari ini. Sejenak dia berbaring di sisi sang bayi.
Kemudian ikut terlelap.
Tak terasa hari makin sore. Munah teringat bahwa dia belum shalat dari zuhur. Diapun bergegas mengumpulkan dua shalat itu dalam satu waktu.
Wanita itu bersyukur saat di rumah Pak Ihsan, dia selalu ikut mendengarkan pengajian yang diadakan setiap minggu. Sehingga sedikit banyak dia mengerti kewajibannya sebagai seorang muslim .
Baru saja dia selesai salam, terdengar ketukan pintu. Munah segera bangkit dan membuka pintu.
"Nak ini ada nasi dan lauk buat buka puasa ya," Rupanya tetangga Munah.
"Sabar ya Nak." ujar Ibu itu, menatap bekas tangan yang tertinggal di wajah Munah.
"Lain kali kalau dia memukul, berteriak saja, biar kami melaporkannya ke Polisi." Ibu itu sangat geram.
"euh euh," Munah mengangguk.
Ibu itu pun pulang. Munah gembira sekali. Rupanya Tuhan tak melupakannya.
***
Ruman nongkrong di tempat biasa mangkal. Dia asik melempar kartu, ketika tiga orang berbadan besar dan berambut cepak datang.
"Bang...!" Ruman menyembunyikan kegugupannya.
"Hutangmu sudah jatuh tempo," Seorang dari mereka menggeser kursi dan duduk menghadap Ruman.
"Iya Bang, maaf, beri waktu dua hari lagi, ya Bang," mohon Ruman.
Lelaki itu menarik rambut Ruman dan membenturkan kepalanya ke meja. Ruman kesakitan.
"Ampun, Bang, ampun," pekik lelaki pengecut itu.
"Begini saja, aku beri waktu satu minggu, karena aku tidak yakin kau bisa cari uang lima juta dalam dua hari,"
Kemudian lelaki cepak itu melanjutkan dengan nada mengancam.
"Jika minggu depan kau tak bawa uangnya, maka nyawamu dalam bahaya, kami akan mengejarmu meski kau lari ke ujung dunia." Dia menghantam meja.
Kemudian ketiga orang itu pergi. Meninggalkan Ruman yang terpacak di tempatnya. Lelaki itu terpaku. Berpikir bagaimana cara membayar hutangnya.
Waktu itu di arena sabung ayam, Ruman yakin ayam yang di jagokannya akan menang. Dengan keyakinan itu diapun meminjam uang pada bandar, untuk ikut taruhan.
Namun naas. Ayam yang dijagokan Ruman kalah dan mati mengenaskan.
Ruman berjalan pulang dengan nelangsa. Sungguh apes nasibnya. Punya istri tak bisa diandalkan. Saat suami susah tak bisa ikut membantu.
"Munah sialan, kerja kok jadi penampi beras, upahnya cuma sedikit, buat makan saja tidak cukup," Ruman mulai berpikir untuk menyalahkan istrinya.
***
Jam sepuluh malam. Munah yang kelelahan tertidur lelap di samping Akbar. Bayi mungil itu kelak akan jadi orang besar. Bukan hanya besar badannya, tapi besar manfaatnya untuk orang lain, itulah harapan Munah ketika memberi nama putranya.
Namun kadang harapan itu surut lantaran keadaan tak seperti impian. Sanggupkah aku membesarkan anak dengan keterbatasan ini? Tidak sudah pasti aku tidak sanggup, namun bukankah jika Allah berkehendak dengan mudah keadaan akan berbalik? Aku hanya perlu taat pada Nya, berdoa dan berusaha. Maka jalan keluar itu akan terbuka.
Apakah orang akan selamanya dalam kesusahan? Tidak. Roda itu berputar. Jadilah wanita tangguh, Munah. Dan lihatlah bahwa janji Allah itu benar. Begitulah Munah sering kali menguatkan hati.
***
Ruman mendorong pintu yang tak di kunci, dan segera merebahkan tubuhnya di samping Munah.
Di tatapnya wanita yang terlelap bersama bayi mungil itu. Wanita itu sangat manis, semuanya sempurna. Orang akan selalu melihat Munah dengan rasa kasihan. Apalagi dia menggendong bayi. Jika dia turun mengemis di jalan atau di pasar. Pasti dia akan dapat banyak uang.
"Ah... Kenapa baru sekarang aku terpikir? Harusnya ide cemerlang ini sudah berjalan. Baiklah... Semua belum terlambat." Ruman tersenyum gembira.
"Tidurlah Munah, besok kau harus cari uang yang banyak. Aku tak akan mengganggumu malam ini." Rumanpun tertidur lelap.