Bab 7. Dijual
Munah segera memasang kerudung, kemudian menggendong Akbar keluar, bergegas ke rumah tetangga, Akbar segera diantar ke Puskesmas, sesampainya disana, mereka di beri surat rujukan ke Rumah Sakit. Alhamdulillah selama dalam perjalanan, kejangnya telah hilang. 

   Dengan sentuhan paramedis, dan obat obatan, bayi itu tampak lebih tenang, panasnya pun sudah turun. Setelah beberapa jam istirahat di UGD, Akbar dan Munah diantar pulang oleh tetangganya. Walaupun seharusnya bayi itu harus dirawat inap, tapi Munah memaksa untuk pulang saja. 

   "Nak, kalau terjadi sesuatu jangan sungkan datang ke rumahku, ya!" Wanita paruh baya itu menyelipkan selembar uang limapuluh ribu ke gendongan Akbar. 

   Munah mengucapkan terimakasih, dengan bahasanya sendiri. 

***
   Ruman uring-uringan di tempat tidur. Matanya terpejam, berbaring menghadap dinding. Pikirannya kalut karena uang lima juta itu belum siap. 

     Akhirnya Ruman mengirim foto istrinya pada seorang lelaki hidung belang. 

   "Gila kamu Man, istri sendiri ditawarin, aku juga bukan orang baik. Tapi aku rela mati demi harga diri istriku, sialan kau Man," Lelaki itu marah dan menutup telpon. 

   Muka Ruman memerah, dia tau ini salah, tapi apa pedulinya. Benar dan salah hanya teori. Tidak selamanya kebenaran harus di ikuti. Tak selamanya juga yang salah mesti dihindari. Kalau yang salah itu jadi duit, kenapa tidak? 

   Dia mulai mengklik no kontak yang lain. Akhirnya dia menemukan seorang pelanggan. 

   "OK, deal...?" tanya Ruman. 

   "Deal, siapkan dia nanti malam, jam sepuluh aku jemput dia ke rumahmu," jawab lelaki itu. 

    "Gak usah kau jemput, nanti aku yang antar. Kami tunggu di losmen Melati," Ruman tersenyum. 

***

   Bu Zora merasa khawatir dengan keadaan Munah, apalagi saat ini dia dengar dari Darman bahwa bayinya sedang sakit. Besok kalau suaminya tidak sibuk dia akan ke rumah Munah. 

    Sebenarnya wanita mana yang tak ingin punya anak? Pasangan mana yang tak merindukan momongan? 
Namun Zora selalu menyembunyikan semua kegundahan itu dari suaminya. Dia selalu berusaha agar sang suami tidak di cengkeram rasa bersalah.

   "Pak, urusan anak itu mutlak dari Allah, kita sudah mengupayakan semampu kita, namun untuk hasilnya sama sekali bukan kuasa kita," ujar Bu Zora suatu ketika sambil membelai punggung tangan suaminya. 

   Pak Ihsan menarik napas panjang. Dia tau istrinya sedih dan kesepian. Apalagi dia sering terlalu sibuk dengan pekerjaan. Karena itu saat berada di rumah dia akan menghabiskan waktu dengan menemani Zora, dan memenuhi apapun keinginan wanita itu agar bahagia. 
    
***

     Malam ini Akbar terlihat lebih sehat, demamnya sudah reda. Munah pun gembira. Apalagi ketika suaminya mengatakan akan mengajak Munah jalan jalan. Berdua saja. Akbar akan dititipkan di rumah tetangga. 

    "Munah, pakai baju yang bagus dan berdandan. Jangan membuat aku malu jalan bersamamu," Ruman berjalan keluar. 

   "Aku tunggu diluar, Munah!

  Munah berkaca, wajahnya cantik. Kecantikan yang membuat orang merasa teduh bila memandang, bukan kecantikan yang membuat lelaki merasa terpanggang. 

    Dia memoles lipstik paling murah, dengan sangat tipis, dan mengusap bedak bayi ke wajahnya. Hanya dengan dandanan sesederhana itu saja, dia sudah terlihat cantik. Munah tersenyum. 

    "Jika Ruman mau meninggalkan minuman haram itu, pasti lambat laun sikapnya akan berubah, dan aku tidak akan meninggalkannya. Minuman itu membuatnya tak bisa berpikir sebelum bertindak, emosinya tak terkontrol dan membuatnya cepat marah," ujar Munah dalam hati. 

    "Munah,... ayo cepat!" terdengar teriakan Ruman. 

    Dengan meminjam motor tetangga, Ruman mengantar Munah ke sebuah Losmen. Dia memesan kamar. Sedikitpun Munah tidak curiga. Dia ikut saja berjalan di belakang suaminya menuju sebuah kamar. 

    " Kamu tunggu di sini ya, aku keluar sebentar nanti aku kembali." Ruman berjalan keluar dan mengunci pintu. 

    Di luar Ruman bertemu seseorang, orang itu menyerahkan segepok uang yang membuat mata Ruman berbinar. 
Kemudian Ruman berlalu setelah menyerahkan kunci kamar yang di tempati istrinya. 

***

    Munah memutar pandangan ke sekeliling kamar. Kamar ini sederhana saja. Bukan seperti kamar Bu Zora yang lengkap dengan semua fasilitas. Kamar ini bahkan tanpa AC, hanya ada kipas angin. 

    Kenapa Ruman mengajaknya kesini?  Mungkin dia ingin mengulang keindahan awal awal pernikahan, ketika mereka tinggal di rumah yang di siapkan Bu Zora. 

    Kenangan manis itu kini beriak di ingatannya. Menari nari dengan indahnya. Semua kelembutan dan sentuhan mesra suaminya membuatnya yakin bahwa kebahagiaan akhirnya berpihak kepadanya. 

   Tiba tiba pintu terbuka, mata Munah terbelalak melihat lelaki itu masuk dan mengunci pintu. 

   Dia menatap Munah dan menyeringai. Munah ketakutan, refleks dia berjalan mundur ke belakang. Kini dia tau apa yang terjadi. Ruman telah menjualnya. Hatinya sangat sakit, lebih sakit dari sekedar dipukul atau ditampar. 

     "Ya Allah, selama ini aku menjaga diriku, jangankan dari sentuhan lelaki, dari pandangan merekapun aku menutup diri. Jangan biarkan dia menyentuhku ya Allah, sungguh aku percaya Engkau ada, dan Engkau Kuasa menolong hamba yang lemah ini," air mata Munah merembes. 

   Kemudian dia teringat sesuatu. Dia memberi isyarat kepada lelaki itu untuk menunggu. Kemudian Munah masuk ke kamar kecil. 

   Munah berupaya agar bisa BAB, dan dengan gemetar seluruh tubuh dan pakaiannya dia balur dengan kotoran. 

    Dia pernah mendengar cerita tentang seorang pemuda shaleh yang digoda oleh seorang wanita. Namun ketaqwaannya membuat dia menjaga diri dari hal hal yang haram. Pemuda itu membalur tubuhnya dengan kotoran. Hingga wanita itu mengusirnya. 

    Kini sejarah itu berulang. Munah melakukan hal yang sama. Bau busuk kotoran tidak berarti dibanding daging yang membusuk di neraka. 

   Bismillah. Munah keluar dari kamar mandi. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!