Bab 1. Suami Pemabuk
Munah merasa lelah sekali hari ini, dia baru selesai menampi beras di sebuah toko sembako. Perutnya terasa melilit, ususnya serasa diremas remas. 

    Namun dia mencoba untuk meneruskan puasanya. Setelah menerima upah dari menampi. Dia meraih anaknya yang baru berumur tiga bulan. Bayi itu di letakkan di antara karung karung beras. Munah membungkusnya dengan kain sarung.

   Kini dengan pelan dia menggendong bayinya. Bayi itu selama sang Ibu menampi, terus saja tidur. Ada yang mengatakan bahwa bayi itu diberi obat tidur oleh Munah agar dia dengan leluasa bekerja. 

    Dengan upah menampi, Munah membeli satu liter beras. Itu akan cukup buat mereka buka puasa dan sahur nanti. 

    Suaminya meski pun tidak pernah puasa tapi selalu ikut makan sahur dan buka puasa ketika adzan maghrib. Padahal dia juga makan siang. 

    Lelaki itu terlihat semakin berisi saja badannya, ketika bulan Ramadhan. 

    "Nah, Munah...!" 

    Seseorang berteriak memanggilnya. Munah menoleh, wanita penjual telur melambai padanya. 

    Munah segera membayar harga beras, kemudian berjalan ke penjual telur. Sesekali dia membetulkan gendongan. Punggungnya sudah penat karena menampi, tambah lagi harus menggendong bayi, walaupun sang bayi tidak begitu berat bobotnya, tetap saja bahunya serasa ditarik tarik. 

    Wanita itu tidak mengeluh, meskipun gurat lelah nyata terlihat di wajah tirusnya. 

    "Ini, ada telur yang retak dan pecah. Bawalah pulang, ya." Penjual telur itu menyodorkan kantong plastik berisi beberapa telur pecah. 

    Munah menerimanya dengan gembira. Diapun berterima kasih dengan orang itu. 

   Matahari sudah mulai terik, Munah berjalan kaki sejauh dua kilometer ke rumah sewanya. 

    Bangunan itu kecil, tanpa ada kamar, dan sebagai penyekat, suami Munah membentangkan kain di tengah tengah ruangan itu.

   Untuk memasak ada bilik kecil menjorok keluar. Sedang WC jauh berpuluh meter ke belakang. 

   Sangat tidak nyaman memang, namun itulah hidup. Pada suatu waktu manusia akan di uji dengan berbagai kesusahan, untuk menakar seberapa teguh kesabarannya, dan suatu ketika manusia akan di uji dengan kenyamanan untuk mengukur seberapa hebat rasa syukurnya. 

   ***

    Ruman memejamkan mata, dia masih dalam kendali alkohol yang tadi dia minum. Pikirannya melantur ke sana kemari, membayangkan hal yang indah dan melupakan realita.

    Munah masuk. Pintu itu tidak di kunci. Seperti biasa botol alkohol yang entah bercampur dengan apa, berserak di ruang sempit itu. 

    Wanita itu menghela nafas panjang, disingkapnya kain penyekat ruangan. Suaminya masih tidur. 

   Munah meletakkan bayinya. Dia masih tertidur nyenyak saja. 

   Sesaat kemudian ketika Munah akan beranjak keluar untuk membereskan pekerjaan rumah, tiba tiba tangan suaminya sudah menariknya ke pelukan. 

   Munah menolak, ini bulan puasa, agama melarang hubungan suami istri di siang hari. Berkali kali dia meronta. Namun tentu saja lelaki itu lebih kuat darinya. 

   Akhirnya Munah hanya bisa terisak setelah semua terjadi. Lelaki itu tak peduli. Dia meneruskan tidurnya. Bahkan terlihat lebih nyenyak. 

    Munah keluar dari tempat tidur. Dia terduduk. Tubuhnya serasa dicabik cabik, demikian juga hatinya. Dia meraih sebotol air mineral, kemudian menenggaknya. Untuk membatalkan puasanya. 

Komentar

Login untuk melihat komentar!