'Aku akan menemanimu sampai sembuh dan pulih seperti sedia kala.'
'Sora, hiduplah dengan baik. Ingat, akulah ayah dari anakmu. Jangan banyak pikiran. Jaga kandunganmu baik-baik.'
'Akulah ayah dari anakmu.'
Barangkali itu adalah sebuah pernyataan lazim tanpa makna berlebihan, yang biasa dilontarkan oleh semua orang di muka bumi ini. Ya, mungkin memang begitu. Keyakinan Sora mulai goyah, ia lelah menunggu Nugrah yang tak lagi mengunjunginya beberapa bulan belakangan.
Sebenarnya kata-kata Nugrah masih terpatri kuat dalam ingatan. Namun, suara-suara sumbang entah dari mana asalnya itu sungguh mengganggu gendang telinganya, menjalar hingga meresahkan hatinya.
"Kasihan sekali, padahal dulu dia jadi idaman, semua laki-laki berebut mendapatkan perhatiannya. Para perempuan yang ngidam pengen anaknya secantik dia. Duh, sekarang kok jadi kasian sekali nasibnya."
"Iya. Cantik, sih, tapi kalau udah hamil dan kayak gitu, siapa yang mau. Bahkan, lelaki yang biasa mengunjungi ke sini, udah gak pernah kelihatan lagi."
"Semoga ada laki-laki baik yang mau menerimanya."
"Dia tuh gak gila, cuma stres aja."
"Dia terlalu stres mikirin nasibnya."
"Tuh, liat matanya melotot terus, kan jadi takut."
Dan masih banyak lagi kata-kata serupa yang menusuk jantungnya, membuat pertahanannya runtuh. Entah itu semacam kata-kata penghibur atau kata-kata hinaan, yang pasti saat mendengarnya membuat pikirannya berkecamuk. Seolah banyak bisikan-bisikan yang berebut masuk ke kepalanya.
Sora jadi tak napsu makan, tak ada semangat hidup. Kembali ia bercita-cita ingin mati saja. Ibu dan kakak-kakaknya masih setia merawat dan menemani, tetapi satu orang yang telah berhasil mencuri hatinya sudah pergi dan tak kembali. Itulah yang diratapinya.
"Sora, makan dulu, ya, Nduk." Ibu Sora menyodorkan sendok ke dekat bibirnya.
Sora menggeleng. Biarkan ia mati saja, toh anaknya nanti lahir tak ada ayahnya. Buat apa ia hidup. Hanya jadi beban ibunya yang telah tua.
"Sora Sayang, sedikiiit saja, ya."
Lagi-lagi Sora menggeleng.
Lama ibunya membujuk, tetapi Sora masih kukuh mempertahankan mulutnya yang terkunci rapat.
Akhirnya ibu Sora menyerah, memilih menjauh dengan netra berkaca-kaca yang akhirnya luruh menjadi buliran air mata. Kesedihan wanita tua itu seperti tak kunjung sirna semenjak putri bungsunya mengalami pelecehan.
Sora masih sering memandang ke ujung jalan sana melalui jendela. Entah pagi, siang, sore, bahkan malam, ia tak peduli. Berharap Nugrah muncul dari sana dan datang mengunjunginya. Suara Nugrah saat menghiburnya itu serupa obat yang sangat mujarab.
Tiba-tiba perutnya terasa keram, ia juga seperti akan pipis. Berjalanlah ia ke dapur dengan pelan. Namun, saat langkahnya mendekati pintu dapur, telinganya mendengar suara kakak pertamanya sedang berbicara dengan kakak nomor dua.
"Gimana lagi, masa kita harus memaksa Sora membuka mulutnya." Itu suara kakak perempuan tertuanya.
"Coba masih ada Nugrah. Sora gak mungkin begini. Sayangnya, dia terpaksa harus pindah kuliah karena ibunya."
"Dia bilang, nanti akan pulang dan berkunjung ke sini. Tapi, entah itu kapan."
"Kemarin, ada teman Nugrah yang ngasih uang untuk biaya berobat Sora, katanya kiriman Nugrah. Dia emang laki-laki baik, Sora juga menyukainya. Mereka cocok. Tapi, gimana lagi, ibunya Nugrah gak merestui. Rumit."
"Iya. Pasrah aja, nanti anak Sora kita rawat bareng-bareng."
Sora yang mendengar itu hanya terpaku. Memikirkan beribu tanya yang bergumpal di benaknya, ternyata itu sebabnya.
Nugrah kuliah di luar kota tanpa pamit padanya.
Nugrah disuruh ibunya pindah.
Nugrah tak mungkin menikahinya.
Nugrah ternyata ....
Ternyata ....
Kepala Sora pening sekali seiring informasi yang datang berjejalan. Kenyataan yang baru saja didengarnya telak memukul jiwanya yang telah rapuh. Nugrah sebagai tumpuannya telah pindah nun jauh entah ke mana.
Bruk!
Sora ambruk dan semuanya terasa gelap.
***
Sora mengerjap. Matanya terasa berat sekali untuk dibuka. Tubuhnya terasa sakit semua, terutama di bagian perut. Samar, wajah seseorang yang sangat dirindu muncul di depannya.
Mimpi.
Begitu pikir Sora. Namun, saat ia benar-benar berhasil membuka mata. Wajah Nugrah benar-benar ada dan nyata. Sora sampai mengerjap beberapa kali guna meyakinkan penglihatannya.
"Sora? Kamu sudah sadar? Alhamdulillah."
Suara itu, benar suara Nugrah. Sora tersenyum meskipun bibirnya terasa kering sekali. Hatinya mengucap syukur berulang kali.
Ketika itu ibu dan kakak Sora mengucap hamdalah saat mengetahui Sora bangun dari tidur panjanganya. Gembira menyambut kesadarannya.
Sayangnya, setelah itu kembali sunyi. Seperti tengah kehilangan. Sora tak ingin mendengar apa pun, ia sudah bisa menebak apa yang terjadi. Dinding rumah sakit yang ia pandang seolah mengoloknya.
Benar dugaannya, bayi yang ia kandung tak bisa diselamatkan. Ada sedih bercampur senang. Sedih karena ia kehilangan anak, senang pula karena anaknya telah bahagia di pangkuan Tuhan dan tak perlu merasakan kepedihan seperti ibunya.
Tiga hari berlalu di rumah sakit, Sora akhirnya diperbolehkan pulang. Nugrah masih sering mengunjunginya dan menghiburnya. Berhari-hari Nugrah setia menemani masa-masa pemulihan Sora. Meskipun Sora hanya diam membeku.
"Aku akan menikahimu. Tunggu aku mendapatkan restu. Mungkin setahun atau dua tahun lagi, ibuku pasti suatu saat akan berubah pikiran," bujuk Nugrah sembari mengelus jemarinya. Sora memandang lekat pada wajah Nugrah untuk mencari kebenaran pada kata-kata itu.
"Kita akan menikah, Sora. Bagaimana pun kamu. Kamu tetap Sorayaku, permataku yang berharga," imbuh Nugrah.
Tidak. Soraya menepis rasa yang membuncah. Ia tak boleh terlalu berharap lagi. Nugrah tak boleh menikahinya. Memangnya siapa laki-laki yang mau dengan perempuan sepertinya?
Tidak ada.
Nugrah pasti hanya kasihan saja.
Dan kebimbangannya semakin kuat. Saat Nugrah kembali kuliah ke luar kota, ibu Nugrah datang berkunjung ke rumah Sora, wanita itu sangat baik. Ramah. Mengelus kepala Sora ketika berbaring, mengajaknya berbincang, bercerita apa saja. Begitu akrab dengan Ibu Sora. Tetapi kalimat terakhir yang diucapkan olehnya sebelum pulang, mampu menusuk relung hati Sora hingga menembus jantungnya.
"Mohon maaf, Bu, jika saya dianggap lancang. Dimohon kemurahan hatinya. Agar jangan memberi harapan lagi pada Nugrah. Dia, akan saya jodohkan dengan anak sahabat saya. Saya yakin, Ibu sebagai orang tua juga tentu menginginkan yang terbaik untuk pendamping anak kita. Iya, kan, Bu? Begitupun dengan saya."
Ibu Sora mengulas senyum sambil mengiakan meskipun dalam dada terasa perih sekali.
Apalagi Sora saat mendengar kalimat tersebut, tentu sakit sekali. Meskipun kata-kata itu bukan ditujukan langsung padanya, ia tahu dan paham maksudnya.
Setelah itu, Sora meminta pindah agar tak bisa bertemu lagi dengan Nugrah. Ia harus menjauh. Ibu dan para kakak Sora berembuk mencari jalan keluar.
Pindah ke rumah pakdenya Sora--kakak lelaki dari ibu Sora--di Bandung adalah keputusan bersama dan disetujui oleh Sora. Mereka semua sepakat menyembunyikan kepindahan Sora dari Nugrah.
Berangkatlah Sora ke sana diantar kakak tertuanya. Orang-orang melihatnya seperti mayat hidup yang berjalan. Kaku dan datar.
.
Sementara Nugrah, sebulan kemudian ia pulang dari luar kota dan berkunjung ke rumah Sora. Kaget bukan main, ia kalang-kabut mencari keberadaan Sora. Tak lelah ia mendatangi dan membujuk keluarga Sora agar memberi tahu. Sungguh, apa yang dikatakannya pada Sora selama ini adalah datang dari lubuk hatinya terdalam. Namun, bagaimana lagi, seolah takdir kembali ingin mempermainkan kekuatan cintanya.
Bersambung 🌹🌹🌹
.
.
Bab selanjutnya, sudah masa kini, ya. Terima kasih yang mengikuti kisah ini 🤗🤗
Kenapa flashback-nya kok ampe berbab-bab? Karena suatu cerita harus kuat lanjarannya.
Jangan lupa tinggalkan jejak komentarnya ❤️❤️
Semoga kita sehat afiyat semua..aamiinn