Bab 3 - Air Mata Lelaki Tampan
      Rencana kaburku gagal total. Selain karena Deva, cowok menyebalkan yang mengaku-ngaku suamiku itu- membawaku kembali ke ruang rawat VVIP. Mata para perawat itu seperti ini memakanku, mereka melihatku dengan buasa. Ya, maaf, deh aku ngga ada niat mau mengerjai kalian.

 Aku hanya ingin ketemu dengan suamiku, Rio. Salahkah aku? Hufh… Ya Allah apa yang sebenarnya terjadi? Tubuhku terlalu lemas untuk melawan. Wajar saja, seminggu aku koma dan sudah nekat mau menghabiskan energi dengan kabur. Para perawat kembali memposisikan aku di tempat tidur, memasang infus dan beberapa alat bantu medis lainnya yang entah apalah. Yang pasti aku ngantuk dan ingin tertidur. 
           Sungguh aku merindukan Rio. Seingatku, selama lima tahun pernikahan yang indah, kami tidak pernah bertengkar. Rio adalah lelaki yang baik dan perhatian. Dia tak pernah menuntutku untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah. Rio membantuku untuk mencuci baju, menjemur, melipat pakaian, memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, hmm… nyaris semua pekerjaan rumah tangga dia lakukan ya? Jarang, kan, lelaki seperti itu? Makanya aku mencintainya setengah mati. Meski begitu aku tidak mau terlalu manja, aku juga mengambil bagian-bagian pekerjaan rumah yang ringan seperti membuang sampah contohnya.
           Rio juga humoris. Meski kami tinggal di kontrakan petak tapi tak membuat hati kami merasa sempit. Justru Rio sering menghidupkan suasana dengan cerita-cerita lucunya di tempat kerja. Misal menceritakan Ujang, teman satu kantornya yang kalau masuk kerja selalu minta sarapan sama teman-teman lainnya karena dia mengirit uang sebab mau menikah. Sudah pasang muka malu begitu, eh, ternyata ceweknya nikah sama cowok lain. Sedih banget, kan? Tapi lucu karena Ujang akhirnya menghabiskan semua uang yang dia kumpulkan untuk mentraktir teman-temannya sarapan dan makan siang, nangis terus setiap hari. 
           Suamiku itu juga suka bermain gitar, dia menyanyikan lagu-lagu romantis untuk kami. Meski ketika masuk pertengahan bulan, kami harus hemat makan. Biasa beli martabak atau sate saat gajian, ketika tanggal tua kami makan sehari dua kali saja. Sekali pakai lauk ikan dibagi dua, sekali lagi makan nasi sama indomie. Akhir bulan? Puasa dong, ah. 
           Ya sesusah itulah kehidupan rumah tangga kami tapi aku tak peduli selama dia masih ada di sisiku, kan? Iya, kan? Cinta itu lebih kuat daripada uang. 
           “Kamu sudah sadar sayang?” samar-samar kudengar suara berat seorang pria.
           Otakku berusaha memindai memori, suara siapakah itu? Aku tak bisa mengetahuinya, tak ada informasi sama sekali. Tunggu… eerrghh… kupikir aku sedang berada di kasurku ternyata aku masih di rumah sakit ini. Itu suara Deva, tukang ngakun-ngaku. Perlahan aku membuka mata, pasti tadi aku mengigau. 
           “Sayang jangan banyak bergerak,” ujar Deva ketika aku mulai mencoba duduk. 
           “Bisa ngga panggil nama aja?” aku menatapnya dengan tajam. 
Ampun, deh, apakah muka dia terbuat dari bohlam? Kenapa bercahaya dan menyilaukan mataku. Akhirnya aku memalingkan wajah, menatap jendela yang tirainya terbuka. Kulihat rintik hujan menempel di sana. Gerimis. Entah kenapa hatiku pun menangis. Rindu. Apakah selama seminggu aku koma, Rio sama sekali tak menghampiriku?
“Ehm… kamu… benar-benar tidak ingat aku?” suara Deva terdengar menyedihkan sekali. Seperti anak kecil yang kecewa tidak dibelikan mainan. 
“Ngga ingat,” jawabku sambil menghela napas. 
Aku ngga bisa jahat sama orang lain apalagi kalau dia ganteng baik kepadaku. Kalau perawat itu bilang aku kecelakaan, bisa jadi orang ini yang menolongku atau dia….
“Kamu yang nabrak aku, ya?” tanyaku ketus.
Deva tersentak kaget, ia langsung menggeleng. “Bukan… ini kecelakaan tunggal. Sepertinya kamu emosional karena kamu bertemu dengan Rio sehingga menabrak pohon.”
Kepalaku berdenyut, terasa sakit sekali. “Kenapa aku harus emosional karena bertemu dengan suamiku sendiri?” suaraku agak meninggi. 
“Mana aku tahu, kamu tidak pernah mau menceritakan soal Rio. Kamu bilang Rio adalah masa lalu dan kita adalah masa depan. Aku menerima itu semua.”
“Sebelum aku tak sadarkan diri, aku masih ingat, aku sedang makan bakso berdua dengan Rio, dia memboncengku naik motor… oh… berarti ini kecelakaan motor, kan? Aku ingat… motor kami jatuh. Tapi aku ngga sadar sakitku separah ini lalu di mana Rio?”
Deva tidak langsung menjawab, ia menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan kemudian berdiri memungungiku. Kulihat dia menatap langit-langit kamar seraya berkacak pinggang lalu segera berbalik menatapku, membuatku sedikit kaget. Air mukanya kini terlihat sedih.
“Dokter benar… ingatanmu hilang sebagian akibat kecelakaan itu. Entah kenapa harus ingatan tentang kita yang hilang?”
“Kita tak pernah punya kenangan kenapa harus diingat?” kali ini aku berhasil duduk, mengatur napasku. Kepalaku terasa penuh seperti ada busa-busa yang melesak mau keluar kemudian aku merasa mual, ini pasti pengaruh obat-obatan. 
“Dua tahun yang kita lalui apa tidak kamu ingat sedikit pun? Sedikit pun…” Deva menempelkan telunjuk dengan jempolnya, “Meski hal-hal yang bikin kamu benci ke aku seperti… seperti melempar handuk sembarangan di atas kasur?”
Aku memutar kedua bola mata. “Rio juga melakukan hal itu. Sudahi main-mainnya, di mana suamiku?”
“Aku suamimu, Bella!” teriak Deva kesal.
“Suamiku bernama Rio! Bukan kamu!” aku tak suka dibentak. 
Kami saling bertatap dengan marah. Tapi aku yang lebih marah karena sorot mata Deva langsung berubah menjadi sorot bingung. Ia kembali mengerang.
“Ya Allah… ada apa dengan istriku…” lalu kulihat Deva menangis.
Oh… ini pasti sandiwara! Ada kamera di mana? Pasti aku sedang di prank oleh Rio. Bukankah dia bilang mau buat konten youtube?
“Aku mencintaimu, Bella… tolong jangan lupakan aku.” Deva duduk kembali ke sebelahku, ia mengguncang pahaku lalu menangis di atas tempat tidur. 
Jago banget aktingnya. Kok aku ikut sedih juga, sih?