Bab 5 - Deva CEO Kaya

 “Oke, kamu boleh bawa aku pulang ke rumahmu dengan beberapa syarat,” aku harus tetap waspada. Orang jahat bisa saja berwajah tampan bukan?


Deva menatapku dengan ragu, ia seperti berat untuk bernegosiasi tapi akhirnya mengangguk juga dengan tegas. 


“Rekam, mbak,” aku menowel perawat yang berdiri dekat denganku. Dia kaget karena tak siap dilibatkan dalam masalah aneh ini. “Rekam pinjam HP mbaknya, nanti kirim ke nomor WA aku.”


“O… oke oke.” Dengan gugup perawat itu menoleh ke Deva seolah meminta persetujuan. Setelah mengangguk ia baru mengambil ponselnya.


Cih, seberkuasa apa sih lelaki itu sampai semua staff medis di sini takut sama dia? Perawat itu mulai mengarahkan ponsel ke depanku. Aku mengibaskan rambut, pasti sekarang wajahku pucat tanpa lipstick tapi tak apalah yang penting aku keluar dari kegilaan ini.


“Deva Mahendra harus berjanji kepada saya, Bella Safira bahwa Deva tidak akan menyekap saya di rumahnya. Tidak melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun. Seperti mengikat dengan tali, mengurung di kamar tertutup atau….”


“Pfff…” Deva menertawakanku. “Aku ngga pernah tahu kalau kamu punya pikiran sekonyol ini. Bella yang kukenal itu penuh pikiran positif, you are so negative.”


“Bodo amat!”


“Bella yang kukenal ngga bicara kasar begitu, astagfirullah.”


“Ya karena elo sebenarnya ngga pernah kenal sama Bella, kan  dan gue ngga pernah kenal sama elo. Stop ngaku-ngaku jadi suami gue.”


“Kok pakai elo-gue, sih? Jadi kasar begitu?” 


“Gue emang begini orangnya dan Rio menerima gue apa adanya!” Sepertinya aku merasa sama sangat sehat sekarang, jadi aku berdiri. “Sudah cukup semua sopan santunnya, Anda menertawakan saya, bilang saya negative, sakit tahu.”


“Bella yang kukenal ngga baperan kayak gini, deh.”
“Gue bukan Bella yang elo kenal! Elo salah orang!”
Dengan satu erangan aku menarik jarum infus lagi hingga muncul darah dari punggung tanganku. 

Perawat menjerit dan spontan menarik tanganku, hendak mengobati tapi aku menepis tangannya. Persetan dengan semua sandiwara ini. Aku mendorong Deva hingga ia melangkah mundur, wajahnya terlihat syok sekali. 


“Kamu mau kemana?” dia terdengar menahan marah.


“Pulang!”
“Pakai jilbabmu, dari tadi kamu berkeliaran di sana sini, aku bawakan kamu jilbab di tas.”


“Gue ngga pakai jilbab, ngga usah ngatur-ngatur!”
Tiba-tiba jemarinya mencengkram lenganku dengan keras.


“Sabar, Pak Deva. Ingatannya bermasalah dan dia mengalami kebingungan karena ingatan yang hilang hanya sekitar tiga sampai empat tahun terakhir. Kita akan obati perlahan-lahan, bersabarlah Pak Deva.”


Aku menoleh ke belakang, kudapati Deva mengangguk mendengarkan nasehat dokter lelaki itu. Deva melihatku dengan garang. Sekali ayun, kedua tangannya sudah kembali menggendong tubuhku yang terasa ringan. Kali ini aku memberontak keras tapi dia diam saja. 


“Saya akan membawanya pulang, semua obat, alat medis, dan tim mengikuti di belakang.” Perintahnya pada entah siapa.


“Baik, pak…” para perawat dan dokter di belakang menjawab. 


Dengan langkah tegas, Deva membopongku keluar kamar. Aku memukul-mukuli dadanya yang bidang kemudian menarik satu janggutnya yang menyembul di dagu mulus itu tapi dia bergeming, matanya lurus ke depan.


“Istri harus nurut sama suami,” katanya tegas.
“Gue bukan istri elooo!” peduli banget orang-orang melihatku bagaimana.


Setelah menuruni lift dan melewati lobi, menjadi tontonan pasien dan petugas rumah sakit, Deva membawaku ke tempat parkir. Di sana seorang sopir yang berdiri di depan mobil Alphard putih dengan sigap membukakan pintu. 

Deva mendudukkan aku di kursi yang empuk dan memakaikan sabuk pengaman. Aku panas bukan main. Bukan karena berdebar diperlakukan seperti ini tapi aku khawatir Rio melihatnya. Nanti dia kira aku selingkuh gimana? Sumpah… aku ngga pernah mau main hati. Cintaku sama Rio itu tulus. Cowok kayak begini ngga akan menggoyahkanku. 


“Mobil ini milikku.” Kata Deva setelah dia duduk di sebelahku dan memasang seat belt juga. “Jalan, Pak.” Katanya pada sopir yang sudah duduk di depan. “Dia sopirku.”


“So what,” aku melipat kedua lengan di dada. Takut dia macam-macam.


“Kamu bilang aku halu waktu aku bilang sekaya apa aku. Ini aku buktikan.”


“Gue ngga akan silau. Syarat selanjutnya, elo harus mempertemukan gue dengan Rio. Cinta sejati gue. Paham?”


Deva melongo, wajah tampannya terlihat lucu, tapi kau tidak akan silau Bella. “Gimana bisa aku nyari Rio, aku aja ngga pernah ketemu dia.”


“Bohong!”
“Demi Allah Bella, kamu menganggap Rio sudah mati… sudah mati.”


“Astagfirullah al-azim, ngga mungkin… di mana makam Rio?”


“Aku ngga tahu sayaaang…” Deva mengacak rambutnya. “Kamu bilang dia masih hidup tapi bagimu dia sudah mati. Paham sayang? Artinya dia entah ada di mana dan you don’t care about him again. Selama dua tahun pernikahan kita kamu ngga pernah bahas nama Rio.”


“Bohong! Gue ngga pernah nikah sama elo.”


“Terserah!” Deva mengerang. Ia terlihat sangat kesal. “Astagfirullah al-azim, sabar Deva… sabar.”


Kulirik spion tengah, sopir melirikku dan tersenyum maklum. Ia terlihat tak mau mencampuri urusan rumah tangga tapi aku tak memedulikan dia juga. Kubuka jendela mobil dan berteriak.


“Tolooong! Aku mau diculiik! Toloong!”
Bhmpp!
Deva langsung membekapku, dia menutup jendela dengan satu tangan lainnya. Kenapa, sih, dia senang banget bikin aku jantungan?


“Kamu mau aku ditangkap polisi?”
“Kan elo emang menculik gue.”
“Kamu itu istri sah aku, surat nikah, kartu keluarga, KTP, semua dokumen membuktikannya, mana mungkin ada polisi mau percaya sama kamu!”


Aku melongo. Sejurus kemudian membuka kaca jendela dan mengeluarkan sebagian tubuhku. Deva dan sopir berteriak, mobil bahkan sempat kehilangan kendali.


“Kalau ngga bantu gue cari Rio sampai ketemu mending gue bunuh diri! Gak ada artinya hidup tanpa Rio!”


“Allahu akbar!” Deva menarik tubuhku ke pangkuannya.


Ya Allah kenapa jadi tambah dekat begini, sih, posisinya. Aku memukulinya lagi. Sopir menaikkan jendela dan menguncinya, wajahnya terlihat panik. Aku menjauhkan dudukku dari Deva, bisa-bisa aku sakit jantung alih-alih gangguan ingatan.


“Oke sayang… aku akan bantu kamu. Kita cari Rio, ya. Aku janji.”


Kupandangi Deva dengan hati riang. Air mataku tiba-tiba menggenang. “Makasih.”


Aku tak sabar melihat Rio dan ingin memeluknya. Aku rindu sama dia. Rindu sekali. Tapi kulihat wajah Deva menjadi sedih, ia memalingkan wajah dan menatap keluar jendela. Ah aku tak peduli. Dia bukan siapa-siapa aku, bukan. Aku tak percaya dengan omong kosongnya soal dokumen. Tapi bagaimana jika itu benar? Kecemasan mulai merambatiku.