“Udah dong nangisnya, aku tuh ngga kenal sama kamu. Ngga usah maksain aku buat kasihan sama kamu,” ujarku sambil mendorong bahunya agar menjauh dari pahaku.
“Tidak mencoba untuk mengingatnya? Cobalah….”
Aku mengerang, bagian belakang kepalaku terasa seperti dipukul balok. Aku menunduk, kesakitan lalu menangis. Mendadak disorientasi dan bingung dengan kondisi yang ada. Lelaki di depanku ini mendesak sekali ingin diakui.
“Pergi! Pergi!” teriakku.
Tapi lagi-lagi dia melakukan hal sebaliknya, dia merengkuh aku kembali dalam pelukannya. Membuatku menangis untuk sesuatu yang tidak aku pahami. Tangannya yang lebar mengelus-elus punggungku, ada sisi hatiku yang merasa nyaman dengan perlakuannya tapi sebagian lainnya ingin memberontak. Karena tubuhku masih terlalu lemah, aku tak bisa melakukan perlawanan apa pun.
“Maaf ya Bella, kamu pasti bingung. Maaf… dokter bilang aku jangan terburu-buru. Aku akan menunggu kamu ingat aku lagi. Oke?”
“Aku tahu kamu orang baik, tolong kembalikan aku kepada suamiku.”
Deva tidak menjawab, ia hanya mengelus-elus rambutku dengan lembut.
“Kamu kenal dengan Rio Dewanto? Dia suamiku.”
“Dia bukan lagi suamimu. Kamu telah menikah denganku.”
Kenapa ini jadi dialog yang terus bermutar-putar. Deva melepaskan pelukannya kemudian mengambil ponsel dari sakunya. Ia menggeser-geser layar ponsel android yang terlihat canggih kemudian memperlihatkan layarnya kepadaku. Retinaku terasa membesar menatap foto-foto yang dia paparkan.
“Ini waktu pesta pernikahan kita di Jepang.”
Deva memperlihatkan foto aku dan dia di depan pohon sakura yang bunga bermekaran indah dengan memakai gaun pengantin putih dan jilbab senada lengkap dengan banyak bunga yang menghiasi penampilanku. Deva menatapku mesra, aku mendongak menatapnya penuh cinta. Mengapa aku mual melihatnya ya?
“Ini mirip denganku. Tapi, pertama aku tidak selansing ini, kedua aku tidak sekaya itu buat ke Jepang, ketiga aku tidak secantik itu, keempat sejak kapan aku memakai jilbab? Aku bukan perempuan seshalehah itu.”
“Tapi ini kamu. Pertama aku yang kaya raya, meminangmu yang hanya pelayan restoran. Aku yang membawamu keluar dari kos-kosan sempit dan kumuh, untuk tinggal bersamaku di rumah yang mewah. Aku yang membantumu mengenal agama islam dengan lebih baik sehingga kamu mau memakai jilbab dengan kesadaranmu sendiri. Kamu cantik karena aku memberikan perawatan wajah terbaik untukmu.”
Tawaku meledak, aku bertepuk tangan. Ini gila tapi segera kusentuh wajahku yang terasa mulus. Hei, saat bercermin tadi aku tak terlalu menyadarinya kalau flek dan bekas jerawatku sudah hilang. Kulitku juga lebih putih dan glowing, aku menyentuh lenganku yang putih. Aku bergidik. Ini seperti aku tapi bukan aku.
“Barang-barang lamamu ada di rumahku, kalau kamu mau melihatnya. Semua foto-foto lain juga ada di komputerku. Waktu kita bulan madu, jalan-jalan ke Eropa, Umroh berdua dan tahun depan kita mau berencana naik haji berdua.”
“Apa kita punya anak?” tanyaku ngeri.
“Belum, tapi kita sedang program.”
“Tidak usah dilanjutkan,” aku kembali tertawa geli. “Kamera mana kamera? Bikin konten kok segininya… aku ini istri Rio. Aku ngga kenal kamu oke? Terserah kamu mau halu pura-pura jadi kaya atau apa pun.”
Deva tak menjawab, ia berbalik badan kemudian pergi keluar. Baguslah aku tak perlu menghadapi drama yang menyebalkan. Jadi aku gunakan waktu untuk istirahat, memejamkan mata. Aku harus memulihkan diri sepenuhnya agar aku bisa pergi dari sini. Ah iya, aku lupa meminta ponselku dari Deva. Nanti saja kalau dia sudah kembali.
Entah dua atau tiga jam setelah dia pergi, tiba-tiba saja dia kembali dengan rombongan dokter dan perawat. Aku yang baru terbangun dari tidur langsung terkaget-kaget karena tim medis segera memeriksa semua kesehatanku.
“Secara medis dia sudah boleh pulang, Pak Deva. Saya akan menyiapkan ambulance dan meminta staff untuk menyediakan perawatan di rumah.”
“Sediakan satu perawat untuk merawat istri saya di rumah, ya, Dok. Masalah biaya tidak perlu khawatir.”
“Tenang saja, Pak.” Dokter berwajah ramah itu kemudian menoleh kepadaku. “Kamu beruntung Bu Bella memiliki suami seperti Pak Deva. Satu dibanding sejuta.”
“Dok, dia itu cowok halu, yang ngaku-ngaku kaya.” Ketusku.
Salah satu perawat perempuan tertawa. “Pak Deva ini anak tunggal dari Pak Atmabraja, pemilik PT Avicenna, perusahaan yang bekerja di bidang alat medis dan memiliki 3 rumah sakit syariah, masa dibilang halu. Mbak Bella beruntung, lho.”
Aku melirik Deva yang tersenyum penuh kemenangan.
“Ngga percaya,” aku memalingkan wajah.
“Kita lihat saja saat di rumah,” Deva hendak meraih pucuk kepalaku lagi.
Buru-buru aku menepisnya. “Hei kita bukan mahram ya, sembarangan aja pegang istri orang!” teriakku meradang. Panas dingin juga dipeluk cowok ganteng tapi kan hiiiy… bukan suami gue! Tetep aja geli. Biarkan jarang shalat tapi aku masih tahu dosalah.
Dokter dan perawat terkekeh. Deva menatapku dengan lembut.
“Di rumah nanti, aku akan membuatmu ingat denganku.”
Aku menelan ludah berat. Ini terasa seperti pernyataan perang. Rio! Please datang dong, aku bisa gila terus-terusan begini.