Bab 6 - Jangan Urusi Hidupku!
Aku dibesarkan dalam keluarga yang bisa dibilang sederhana. Atau mungkin keluarga pas-pas-an. Pas ada butuhnya, pas ada uangnya. Ayahku hanya guru PNS yang sangat jujur dan enggan korupsi, ibu hanya penjahit yang sesekali menerima orderan. Adikku berjumlah 2 orang, semuanya sudah menikah. Kami kakak beradik perempuan. Setelah menikah, mereka berdua meninggalkan kota kelahiran ikut suami mereka. 

Adik pertamaku ikut suaminya ke pedalaman Kalimantan, yang kadang sinyal internetnya naik turun tak pasti sehingga susah sekali kami komunikasi. Adik keduaku lebih jauh, dibawa ke Belanda karena dia dapat suami bule. Sayang suami bulenya bukan orang kaya raya ternyata tapi orang kere juga. Alhasil adik keduaku harus kerja serabutan untuk bisa membantu ekonomi keluarga. Aku sendiri? Tetap di Jakarta dan menikah dengan Rio. Cinta pertamaku sejak SMA. 
Rio itu anak yang bebas. Dia tidak suka terikat dengan satu ekskul, jadi dia mengikuti hampir semua ekskul kecuali Paskibra dan Pramuka yang butuh kedisiplinan latihan ketat. Rio senang bergaul sehingga suatu hari kami beririsan dalam kegiatan teater. Aku adalah anggota teater aktif sementara Rio anggota cabutan karena club kami kekurangan orang. Aku dan dia dipasangkan menjadi suami istri yang bikin kekacauan di desa. Cerita ini ditampilkan saat ulang tahun sekolah, mendapat sambutan meriah dari penonton. Spontan ketika kami membungkuk memberikan ucapan terima kasih, Rio mengenggam tanganku. Saat itulah sengatan cintanya datang. 
Kami menjadi semakin dekat, bersahabat dan dia menyatakan cintanya… tunggu dulu, ralat oke aku yang menyatakan cinta lebih dulu. Aku yang tergila-gila terlebih dahulu. Tapi dia juga menjawab cintaku, menjagaku, dan tentu saja melamarku. 
“Kamu nanti mau punya anak berapa?” tanya Rio setelah menyatakan ketersediaanku untuk menjadi istrinya, kami sedang mendaki kaki gunung dalam perjalanan melihat air terjun.
“Dua saja, satu mirip aku, satu mirip kamu.” Jawabku dengan genit. 
“Aku mau dua belas, biar bisa bikin sepakbola,” Rio tertawa. Aku mencubit perutnya yang saat itu masih sixpack. 
Dia si hitam manis yang menurutku tampan, baik hati, peduli dan lembut. Sangat lembut. Seperti ehm… jemari yang menyentuh pipiku ini. Aku meraih jemari itu kemudian mengecupnya pelan. Tapi jemari ini terlalu wangi, tak seperti milik Rio yang kadang bau matahari. Spontan aku membuka mata dan melihat Deva di hadapanku. Jaraknya terlalu dekat. 
Buk! Sontak aku mengambil bantal di dekatku lalu melempar ke wajahnya. Ia mengerang dan menjauh dari tempat tidur.
“Astagfirullah mesum! Heh… ngapain lo di sini!” aku tersengal lalu memegang dahiku yang kembali pusing. 
“Ini rumahku, ini kamar kita,” Deva membentangkan kedua tangannya seraya melangkah mundur. 
Barulah kusadari di mana aku berbaring. Di atas kasur mewah yang empuk, kalau tak salah aku pernah melihat kasur merk ini dalam pameran di mall. Harganya bisa di atas 50 juta belum dipannya. Aku menelan ludah berat. Selimut yang kupakai juga lembut sekali. Aku yakin kuman dan virus juga malas nempel di sana karena takut kepeleset. Apalagi aku. Dengan hati-hati kubuka selimut yang menutupi kakiku. Ngeri kalau sampai sobek nanti aku disuruh ganti. 
“Kenapa aku bisa di sini?” tanyaku pada Deva dengan hati-hati sambil kembali memindai seisi ruangan. Kamar bergaya skandinavia dengan sedikit perabotan. “Gak ada lemari?” tanyaku sebelum Deva menjawab. 
“A… ada,” Deva berbalik badan, melangkah lebar-lebar hingga ke ujung kamar kemudian membuka pintu kecil di sana. Ia memberiku isyarat agar masuk ke dalam.
Aku berdiri, kakiku menyentuh bulu-bulu halus karpet. Ya ampun mau nangis, aku belum pernah menyentuh karpet selembut ini. Dan lihatlah seluruh lantai dilapisi karpet tebal tanpa noda. Oh my god! Gimana bersihinnya? Aku terbelalak, Deva masuk ke dalam ruangan kecil yang tadi ia buka. Alih-alih menuntut jawab atas pertanyaanku, aku malah mengikuti dia masuk ke ruangan… ow aku meralatnya. Ini ruangan yang besar, nyaris sebesar kamar tidurnya sendiri. Rasanya mau menabrakkan kepalaku ke dinding dan meminta malaikat membangunkanku dari tidur. Ada sebuah lemari paling besar yang memenuhi ruangan, di atas lemari itu tertera sebuah ukiran nama yang indah. Bella Safira. 
“Itu,” aku menunjuk ukiran itu.
“Namamu… lemari ini special dibuat untukmu.” Bak seorang pemandu wisata, Deva membuka lemari yang sebagian pintunya terbuat dari cermin. 
Jejeran baju-baju dengan berbagai model terpampang di hadapanku. Membuatku tercekat dan menggeleng. 
“Pasti susah mencucinya,” gumamku.
“Kan bukan kamu yang nyuci sayang, kita punya laundry pribadi,” jawab Deva yang rupanya mendengar gumamanku.
Aku semakin ragu melangkah, jiwa dan ragaku terkunci di depan pintu ruangan ini. Disebut apakah ini? Ruangan lemari? Entahlah. 
“Pasti itu Bella Safira yang lain.”
“Ini kamu, sayang… ngga ada yang lain. Ah tunggu.” 
Deva beralih pada lemari satu lagi. Ia menarik sebuah pintu yang ternyata membentangkan lemari panjang berisi deretan tas-tas branded yang dipajang seperti di toko. Tas yang hanya sanggup aku idam-idamkan saat di Senayan City. Aku melongo saat Dave memperlihatkan sebuah papan berisi foto pigura-pigura aku sedang berfoto membawa tas-tas itu ke berbagai bangunan iconic Negara Asia dan Eropa. Aku mau pingsan rasanya. Setidaknya itu memang foto penampilanku sekarang yang langsing. 
“Tapi itu bukan aku…” ingatan saat di rumah sakit kembali berputar. “Berapa lama aku tertidur?”
“Sejak pulang dari rumah sakit. Tubuh kamu masih lemah, suster kasih beberapa suntikan vitamin dan kamu beristirahat.”
“Sekarang jam berapa?”
“Jam dua malam… jangan berpikir kabur jam segini, sayang.” Seolah Deva membaca pikiranku. Ia menatapku penuh selidik. “Kamu masih tak percaya itu kamu?”
“Seingatku badanku gemuk.” Aku menggeleng pelan. “Dan miskin.”
Aku kembali mencubit-cubit lenganku. Ayolah bangun dari ke-halu-an ini Bella. Bangun dan bayangkan ikan yang kamu goreng menjadi gosong karena kamu kelamaan tidur!
Mungkin karena melihatku diam saja, Deva menghampiriku. Ia ingin meraih lenganku tapi kemudian batal ketika aku mendelik kepadanya. Deva mengangkat kedua tangan tanda menyerah. 
“Kalau barang-barang ini tak mengingatkanmu pada apa pun, aku menyerah.”
“Apa yang harus aku ingat?” tanyaku ketus.
“Bahwa kamu adalah istri sahku, Bella. Bahwa kita saling mencintai,” Deva bertolak pinggang. “Ya sudahlah aku harus menuruti kata dokter, ingatanmu hilang sebagian dan aku harus perlahan-lahan mengembalikannya tidak boleh terburu-buru.”
“Aku ngga amnesia,” ujarku dengan tegas. 
“Kamu kehilangan ingatan mungkin tiga atau empat tahun terakhir. Karena kamu ngga ingat aku sama sekali tapi kamu ingat Rio.”
“Karena dia suamiku.”
Deva menghentakkan kaki dengan gemas. “Oke apa ingatan terakhir yang kamu tahu?”
“Aku dan Rio pulang dari MiniMart kemudian keserempet mobil. Tapi masa karena itu aku sampai koma. Ngga mungkin, kan?”
“Aku sudah cerita sebab kamu koma dan aku ngga akan ulangi lagi. Berapa umurmu sekarang?”
“Dua puluh enam tahun.” Jawabku lugas.
“Bella sayang, kamu sudah tiga puluh tahun.”
“Sembarangan! Aku ngga setua itu!” jeritku kesal. 
“Itu hanya umur sayang, secara fisik kamu jauh lebih muda.” Dengan cepat Deva menggeser posisiku agar menghadap ke cermin yang ternyata terletak di sebelahku. 
Aku benci melihatnya tapi aku yang di cermin mirip dengan foto-fotoku bersama tas tas brended itu. 
“Cantik, kan?” Deva membelai rambutku, dengan kasar kutepis tangannya. 
“Cukup! Jangan terus menyentuhku! Sopan sedikitlah. Menjauh dariku, ngga usah urusi hidupku!” 
“Arrrghh… aku ngga tahan lagi. Terserah kamu saja, Bella. Aku akan sabar.” Deva menjauhiku dengan wajah terluka. “Aku tidur di kamar sebelah. Kalau kamu butuh apa pun pencet bel yang ada di nakas. Nanti kepala pembantu akan datang membantumu. Apa apun yang kamu butuhkan.”
“Aku butuh waktu untuk mencari Rio.”
Deva mengarahkan pandangan ke deretan tas Channel, rahangnya bergerak. “Oke… pakai semua fasilitasku. Semua kartu ATMmu, kartu kredit, uang cash, ponsel semuanya ada di nakas kamu ting….”
Belum sempat Deva selesai bicara, aku langsung berlari ke nakas. Kulihat salah satu tas Hermes yang tak pernah kuingat pernah kupunya tapi hanya ada tas itu. Aku membuka isinya, ada make up, dompet LV (entah asli atau palsu), sebuah ponsel iphone. Iphone? Astanaga… apapula ini. Aku mencari ponsel androidku tapi tak ada sama sekali. Kucari di sekitar nakas, bersih tak ada barang apa pun. Kamar ini terlalu bersih sampai aku takut bernapas dan mengotori udaranya. Kutimang iphone di tanganku. 
“Deva aku ngga bisa pakai ini!” 
“Aku ngga akan urusi hidupmu.” Jawab Deva sebelum dia membuka pintu dan membantingnya sehingga menimbulkan suara berdebam.
Ya Allah ini gimana makenya! Aku mengotak-atiknya dengan gemas. 
“Riooo!” teriakku kalut. 
***