Pilih Aku Atau Bisnis
Suamiku Bule

Part 2

Para keluargaku kembali berkumpul di rumah saat aku datang dari Bandara Kualanamu, mereka semua sudah ada di rumah. Kakak iparku masih melongo, abangku juga seperti tak percaya. Adik bungsuku justru langsung salaman sama Ricard. 

Satu persatu semua disalamin Ricard seraya memperkenalkan diri. 

"Udah disunat, Kau?" celutuk Tante Mirna, adik dari ibuku itu langsung main tanya saja. 

Ricard tampak bingung, yang lain justru tertawa, aku juga ikut bingung bagaimana menjelaskan ini pada Ricard. Kami sudah sepakat, jika akan menikah, dia akan masuk agama Islam. 

"Belum, Etek, nanti dia akan masuk islam kalau sudah sepakat semua," aku yang menjawab. Etek adalah panggilan untuk adik perempuan Ibu. 

"Wah, kalau sebesar ini baru disunat, bisa patah itu guntingnya," celutuk Tante Mirna lagi, Tanteku ini memang suka ceplas-ceplos. 

Semua orang kembali tertawa, Ricard terlihat ikut tersenyum, aku yakin dia tak tahu apa yang lucu. Rumah kami justru jadi ramai, para tetangga berdatangan ingin melihat bule dan foto bersama bule. Ricard tampak senang saja, senyumnya terus mengembang. 

"Gak takut punya pacar bule kau, Sarah?" tanya tetangga depan rumah. 

"Kenapa harus takut, Wak?"

"Ish, macam gak tau aja, ukuran bule itu xxxxl, tiga x-nya," kata Tetangga itu lagi. 

Aku hanya tersenyum menanggapi. 

Malam harinya Ricard mengajakku makan malam, katanya ada teman bisnis mengundang makan. Aku terkejut, ternyata yang undang adalah mantan suamiku serta istri barunya. Aku merasa dunia ini sempit, kenapa calonku harus teman bisnis mantan suami? Padahal aku sudah bertekad tak ingin bertemu lagi dengan mantanku itu, perbuatannya terlalu menyakitkan. Dia selingkuh dengan sekretarisnya selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya dia menikah dengan sekretarisnya tersebut, tentu saja aku minta cerai. 

Restoran tempat makan malam itu berada di tengah kota, ketika kami sampai mantan suami dan istri barunya sudah menunggu. Ada juga satu teman mantan suami, aku kenal pria itu, dia juga rekan bisnis Ayah dari anakku tersebut. 

"Maaf ya, Sarah, saya bicara bisnis dulu, tak mungkin dibatalkan saja begitu," kata Ricard dalam bahasa Inggris. Aku tahu maksudnya, dia menyuruh aku menjauh dulu, aku akhirnya cari tempat duduk lain.

Memang Ricard datang ke kota kami mau mengembangkan usaha, dia sudah bilang kedatangannya kali ini mau perkenalan sekaligus bicara bisnis, apa bisnisnya aku kurang tahu, akan tetapi mantan suamiku punya perusahaan di bidang properti. Mungkin mereka mau buka perumahan baru. 

Cindy-istri dari mantan suamiku itu justru datang ke arahku, aku benci wanita pelakor ini, dia telah merebut suamiku dengan cara licik. 

"Dia hanya cari temen pelampiasan di sini, dia datang mau urusan kerja," kata Cindy seraya duduk di depanku. 

"Siapa juga yang tanya?" kataku acuh. 

"Hanya sekedar memberitahu, nanti kau kegeeran, gak mungkin bos besar begitu mau sama janda indo," kata Cindy lagi. 

"Oh, begitu," 

"Iya, ngomongmu kok ketus gitu terus, masih sakit hati ya, Mas Fariz pilih aku?" 

Ah, wanita sialan ini mau buka luka lama lagi, padahal aku sudah bersusah payah untuk melupakan penghiatannya. Dulu dia datang memohon padaku supaya diberikan pekerjaan, kurekomensaaikan kerja di perusahaan suami, karena kasihan melihat dia, akan tetapi dia malah menusuk dari belakang, dia ambil suamiku. 

"Gak sangka kau begini ya, jika dilihat dari penampilanmu kau alim, ternyata begini," Cindy terus saja ngoceh. 

"Begini bagaimana?"

"Alah, kita sama-sama tau ajalah, bagaimana punya pacar bule, bagi mereka sex diluar nikah itu wajar lo."

"Hei, hati-hati mulutmu bicara, kau pikir kek kau orang semua," aku kesal juga akhirnya.

Kesal juga, sementara Ricard terus bicara serius dengan mantan suami. Padahal aku sudah muak melihat Cindy, ingin cepat pembicaraan bisnis ini berakhir. 

"Bule itu kalau pergi ke luar negeri, yang dicarinya duluan itu perempuan, karena mereka tak bisa hidup tanpa wanita, dia ajak kau karena mau bicarakan bisnis di sini," kata Cindy lagi. 

"Dari mana kau tau, sok tau kau?" kataku ketus. 

"Suamiku yang bilang, si bos itu bilang sama suamiku," kata Cindy. 

Aku berdiri, ini saatnya ingin kubuktikan keseriusan Ricard, sekaligus ingin membalas sakit hatiku pada mantan suami. Kudekati meja Ricard. 

"Ricard, you come here to meet me or on business?" kataku seraya berdiri berkacak pinggang. Yang artinya kira-kira begini kau datang kemari mau bertemu aku atau urusan bisnis? 

Ricard melihat ke arahku, lalu minta maaf pada teman bicaranya yang juga mantan suamiku. 

"Both," jawab Ricard singkat. Maksudnya dia bilang dua-duanya. 

"I ask you to choose me or business, I don't want you to do business with him," kataku lagi, artinya aku bilang aku tak ingin dia bicara bisnis dengan pria itu. 

"Why?"

"He's my ex-husband!" (Dia mantan suamiku) 

Ricard tampak terkejut, dia memang belum tahu rekan bisnisnya itu mantan suamiku. Dia tatap aku dan mantan suamiku secara bergantian. 

"Hei, Sarah, urusan bisnis ya, bisnis, gak ada urusan sama masalah pribadi, dia itu profesional," kata mantan suamiku. 

"Maaf, pembicaraan ditunda," kata Ricard akhirnya dalam bahasa Inggris, tadi setelah dia tiba pun aku sudah mencegah dia untuk bicara bisnis, kali ini berhasil juga, aku makin yakin, dia memang cinta padaku, urusan bisnis pun dia batalkan demi aku. 

"Kau lihat itu, Cindy, makan tu sisaku," kataku seraya menggandeng tangan Ricard dan pergi dari tempat itu. 

Sampai di rumah, orang ternyata makin ramai, sudah ada semua saudara dan keluarga. 

"Kalau dia mau lamar kau dia harus masuk islam, dan disunat, bilang sama dia," kata kakak iparku. 

Duh, bagaimana caraku bilangnya sama Ricard? Padahal ini baru perkenalan, masih jauh ke pembicaraan pernikahan. Belum sempat aku bicara, Ricard sudah bicara duluan, dia ajak aku pergi ke negaranya, dan permisi pada seluruh keluarga. 

Lola-adik bungsuku yang mengerti bahasa Inggris langsung mengartikan ke bahasa Indonesia. Semua orang terkejut, tante Marni yang punya mulut pedas langsung bicara. 

"Hei, enak kali kau bawa-bawa anak orang, itumu saja belum dipotong, mentang-mentang si Sarah Janda, kau pikir bisa seenak perutmu gitu," kata Tante Mirna, "artikan itu" sambung tanteku ini lagi seraya menunjukku. 

Duh!

Komentar

Login untuk melihat komentar!