Bab 4
Aku tidak menyangka bahwa ibu dan Maya tega menelantarkan papa, rasanya ingin sekali meraup wajahnya lalu aku lempar ke tempat sampah. 



Dalam hening aku memejamkan mata sejenak, menghela napas, dan mengembuskannya kembali. Agar tampak tenang di hadapan papa.



"Nak, kamu ada apa? Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" tanya papa sudah mulai curiga. Aku bimbang, antara cerita atau simpan goresan luka yang telah ditorehkan oleh Maya.



"Nggak kok, Pah!" sahutku meyakinkan papa bahwa aku sedang baik-baik saja. Namun, naluri seorang ayah tidak dapat membohonginya.



"Sudahlah, Sulis, jika kamu tidak ingin cerita, tidak apa-apa!" ucap papa kecewa.



"Pah, setiap bulan, aku kirim uang untuk papa. Namun tidak disampaikan oleh Maya!" ucapku cerita sedikit demi sedikit.



"Papa sudah duga itu, kamu tidak akan tega menelantarkan papa. Papa juga sedih setahun lamanya mereka tidak mengunjungi papa di sel ini!" ujarnya membuat mataku mulai mengembun.



Ternyata mereka benar-benar tega. Tidak ada belas kasih terhadap papa. Aku benar-benar geram terhadap tingkah mereka.



"Pah, tidak hanya itu! Maya telah berkhianat!" ucapku masih ragu menceritakannya pada papa.



"Khianat apa?" tanya papa kembali, matanya kini menyipit, ia penasaran dengan ucapanku.



"Bang Ridwan dan Maya hampir menikah!" ucapku kini mengeluarkan butiran-butiran air mata. Sedari tadi menahan untuk tidak jatuh di hadapan papa. Namun, kini air mata ini tak sanggup menahannya lagi.



"Kamu tidak becanda?" tanya papa.



"Pah, aku pulang lebih awal karena hal ini! Bermula saat Bang Ridwan membatalkan pernikahan kami, aku mulai mencari tahu dan ternyata memang sudah ada tenda dan wedding organizer kemarin, Pah!"



"Astaga, Maya kenapa tega? Ridwan kan sudah bertunangan dengan kakaknya!" sahut papa penuh kekecewaan.



"Tidak hanya itu, Pah. Bang Ridwan telah meludeskan tabunganku untuk menikah dengannya! Uangku mereka habiskan, Pah!" Aku kesal, sampa tangan ini mengepal. Lalu papa menggenggam erat tangan ini.



"Nak, kamu yang sabar. Sekarang mereka masih di rumah?" tanya papa masih belum mengetahui bahwa aku telah mengusir anak dan istrinya.



"Mereka sudah aku usir, Pah. Aku kan beli rumah dan membangunnya hasil dari kerja kerasku sendiri!" ucapku padanya. Ia ikut merasa kesal terhadap anak dan istrinya.



Lalu papa mengambil sebuah pulpen. Dan menulis sebuah alamat di kertas. Setelah itu, ia berikan padaku.



"Nak, pergilah kamu ke alamat ini. Bilang saja kamu anak dari Pak Ari Sudono! Nama orang ini adalah Ilham Wibowo. Ia akan membantumu untuk membebaskan papa dari tuduhan yang tidak pernah papa lakukan!" perintah papa. 



Aku membacanya, alamat yang papa berikan,itu dekat sekali dari rumah ku. Namun masih ada yang mengganjal di hatiku. Apa maksud papa menemui orang itu? 



"Pah, apa maksud dan tujuan papa memberikan nomer ponsel ini? Ada tujuan lainnya kah?" tanyaku dengan penuh curiga.



"Papa ingin segera bebas, karena ingin membantu kamu menyelesaikan masalah-masalah mu! Termasuk masalah dengan adik dan ibu tirimu!" ucapnya membuatku terkejut. Kupikir, ia akan percaya pada ibu dan Maya. Ternyata, rasa cinta papa kepadaku sangatlah besar!"



Aku terharu mendengar ucapan papa. Seandainya aku memiliki anak nanti, aku ingin ia juga menyayangi anakku seperti papa yang menyayangiku tanpa ada embel-embel.



*****



Setelah mencari keberadaan alamat tempat Pak Yutaka, laki-laki yang diberi tahu papa akan menolongku. Akhirnya aku menemukan rumah dan kantornya.



"Mbak, aku ingin bertemu dengan Pak Ilham!" ucapku. Lalu belum sempat Mbak yang bertugas membukakan pintu itu bicara, Pak Ilham datang menghampiri.



"Saya yang Anda maksud!" ucapnya. Laki-laki bertubuh kekar dan agak tinggi putih itu ternyata memiliki wajah yang amat mempesona.



"I-iya, Pak!" sahutku terbata-bata.



"Ada apa mencari saya?" tanyanya lagi.



"Saya adalah anak dari Pak Ari Sudono, beliau yang meminta saya ke sini!" 



"Astaga, kenapa tidak bilang dari tadi? Mari masuk!" sahutnya lalu mempersilahkan aku masuk. Lalu aku duduk, dan memintanya agar tidak basa basi dalam menjelaskan apa yang telah papa minta tadi.



"Saya ingin menyampaikan amanah yang papa berikan!" sahutku.



"Tidak perlu, saya sudah tahu maksud kedatangan Anda!" Aku terheran-heran, karena aneh rasanya ia tahu maksud kedatanganku.



"Kok bisa tahu?"



"Kemarin ada dua orang wanita juga  datang ke sini!" sahutnya membuatku terperangah.

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!