Hati Eva remuk melihat bekas lipstik di baju Ferdi. Emosinya meluap naik, hingga tangannya gemetar. Bergegas dia masuk kamar, menutup pintu perlahan, dan bersandar lemas di daun pintu.
Tangis Eva pecah tanpa suara. Hanya air mata yang mengalir deras membasahi pipinya. Kekuatan kakinya menghilang hingga dia tidak mampu lagi menyangga tubuhnya. Eva jatuh menggelosor hingga terduduk di lantai. Untuk meredam emosi dia memeluk lututnya. Eva menyandarkan dahinya di lutut agar isaknya tidak terdengar anak-anaknya.
‘Kenapa, Fer? Kenapa? Kenapa?’
‘Salah apa, aku?’
‘Kurang apa, aku?”
Bertubi-tubi pertanyaan itu muncul dalam benak Eva. Susah-payah dia mencari-cari alasan yang menyebabkan Ferdi berselingkuh dengan wanita lain.
Nyeri di hati Eva begitu nyata, hingga dadanya sesak. Setelah semua yang dia lakukan untuk Ferdi. Sekian lama Eva menahan sabar karena hidup serba kekurangan. Ferdi berhenti memberikan uang belanja sejak kehilangan pekerjaan.
Eva juga selalu mencoba tenang menghadapi semua kelakuan Ferdi. Mabuk, berjudi, mengambil uang, semua Eva hadapi dengan sabar. Eva selalu berharap satu hari nanti Ferdi akan sadar dan berubah.
Cuma satu yang Eva minta pada Ferdi, yaitu setia menjaga pernikahan mereka. Eva tidak akan menerima bila Ferdi bermain hati. Dua wanita dalam satu pernikahan terlalu menyakitkan untuk Eva. Semua itu pernah dikatakannya dulu pada Ferdi, saat mereka baru saja menikah.
Eva ingat sekali, saat itu mereka berdua sedang berbincang di taman belakang rumah keluarga Eva. Senja mulai turun. Lampu taman membiaskan cahaya temaram. Bulan sudah terlihat menghias langit yang cerah. Bunga-bunga di taman menguarkan keharuman lembut.
Mereka duduk bersisian. Rapat, tanpa celah tersisa di antara mereka. Lengan Ferdi merangkul pundak Eva.
“Kamu enggak menyesal ‘kan menikah denganku, Va?” tanya Ferdi sambil membelai rambut Eva yang menyandarkan kepalanya di bahu Ferdi.
Eva tertawa kecil. “Pertanyaan kamu lucu deh, Fer. Kenapa aku mesti menyesal?”
“Yah, karena aku lelaki biasa-biasa saja. Tidak seperti cowok-cowok yang mengejarmu.”
Rasa kurang percaya diri memang kerap menyergap hati Ferdi walau dia berhasil menyingkirkan saingan-saingannya. Ferdi tahu mantan pacar Eva bukanlah cowok-cowok sembarangan. Putra konglomerat, pengacara sukses dan seorang atlet kelas internasiona sama sekali tidak bisa mendapatkan hati Eva. Justru dia, Ferdi yang mampu meyakinkan Eva untk melangkah ke pelaminan. Ferdi yang hanya pegawai biasa dengan jabatan tidak terlalu tinggi. Ferdi yang bukan anak orang kaya, nyatanya berhasil memenangkan hati Eva. Sayang, kenyataan itu tidak juga mampu memompa rasa percaya diri Ferdi.
Eva menegakkan punggungnya. Dia sudah terbiasa dengan sikap Ferdi yang kurang percaya diri. Eva merasa tugasnyalah untuk membuat Ferdi yakin dengan cintanya. Bahwa perasaan Eva memang tulus untuk Ferdi. Tidak terpengaruh iming-iming harta kekayaan.
Telapak tangan Eva menangkup pipi Ferdi. Ditatapnya mata Ferdi dengan lembut. “Suamiku sayang…. Tentu saja aku sama sekali enggak menyesal menikah denganmu. Aku malah bahagia sekali bisa selalu berada di sisimu.”
“Walau gajiku kecil?” rajuk Ferdi lagi.
Eva mengangguk. Bibirnya tersenyum lebar.
“Biarpun jabatanku rendah?” Ferdi masih belum yakin.
“Apapun yang jabatan kamu, berapapun gaji kamu, aku akan tetap sayang, Fer. Cuma ada satu permintaanku…”
“Apa itu, Va?” ada cemas terlukis di wajah Ferdi. Takut Eva akan meminta sesuatu yang sulit dia kabulkan. “Katakan saja. Kalau aku sanggup pasti akan kuusahakan.”
Senyum Eva terkembang. “Permintaanku enggak sulit. Malah mudah sekali. Asalkan kamu punya niat kuat, pasti mampu.” Eva masih berteka-teki. Dia senang melihat wajah Ferdi yang sedang harap-harap cemas. Matanya Ferdi yang besar makin membola.
“Apa itu?”
“Aku cuma minta kamu se-ti-a. Jangan pernah berpaling dariku dan jangan pernah menduakan aku.”
“Ya ampun…” Ferdi merengkuh pundak Eva dengan perasaan lega. Tidak pernah menyangka permintaan isterinya sangat sederhana. “Kalau cuma itu yang kamu minta pasti aku kabulkan, Va. Aku berjanji cuma kamu yang ada di hatiku. Sekarang. Selamanya.”
Pelukan hangat menutup pembicaraan mereka. Berdua kembali mereka tenggelam dalam keindahan kisah cinta yang baru mereka rajut.
‘Mana janjimu, Fer. Mana….’ Jerit Eva dalam hati mengingat momen istimewa itu. Semudah itu Ferdi mengingkari kata-katanya sendiri. Tanpa sadar, Eva menarik-narik rambutnya.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan pelan di pintu menarik Eva dari kubangan kesedihan. Dia kembali ke dunia nyata. Terlebih lagi saat mendengar suara imut dari balik pintu.
“Bun… aku haus…”
Mendengar suara Lisa, buru-buru Eva menelan kesedihannya. Memaksa menenangkan diri segera. Telapak tangannya mengusap mata dan pipinya berkali-kali. Berharap jejak air mata tidak tersisa di sana. Sebelum membuka pintu dia memejamkan mata. Menghimpun semua kekuatannya agar Lisa tidak melihat kesedihannya.
“Haus ya, nak?” tanya Eva sambil berlutut lalu memeluk bocah kecil di depannya. Kesedihannya terbit melihat wajah Lisa yang begitu polos. Rasa bencinya terbit mengingat kelakuan Ferdi. Ayah yang sama sekali tidak bertanggung jawab.
“Bunda, kenapa?” tanya Lisa saat melihat wajah Eva. Tangannya yang mungil mengusap-usap rambut Eva, juga kening dan pipinya.
“Bunda enggak pa-pa sayang…”
“Kok, rambut bunda berantakan. Ini pipinya basah. Bunda nangis ya… Jangan nangis Bunda. Lisa sayang Bunda.”
Kata-kata Lisa malah membuat Eva tidak mampu menahan isaknya lagi. Segera dipeluknya Lisa erat. “Enggak sayang, Bunda enggak nangis.”
***
“Kamu yakin itu bekas lipstik?” tanya Della sambil memandang Eva dengan sorot mata prihatin. Curhat Eva menyentuh hatinya.
Pagi itu mereka sedang sibuk di dapur Della membuat aneka kue pesanan PT Rilova. Della sedang menggunakan mixer untuk mengocok telur dan gula, sementara Eva menyiapkan loyang-loyang untuk memanggang. Lisa Dan Alya anteng bermain dengan boneka-boneka mereka di atas karpet di ruang tamu.
“Yakinlah,” jawab Eva lesu. “Aku kan cewek, Del. Tahulah noda lipstik seperti apa. Lagipua setelah Ferdi menaruh baju itu di tempat cucian aku cek lagi. Jelas itu bekas lipstik.”
Kalau saja Eva tidak ingat tanggungjawabnya mau rasanya dia berbaring saja di kasur. Seluruh badannya masih lemas karena kaget. Perasannya sedang tidak karuan gara-gara kasus lipstik ini.
Tapi Eva tidak mau mengecewakan perusahaan Ricky. Dia harus membuat kue-kue yang dipesan PT Rilova. Kalau sampai gagal membuat pesanan itu, jangan-jangan nanti kontrak yang sudah didapatnya bisa dibatalkan. Gawat.
Pesanan catering ini satu-satunya sumber penghasilan Eva untuk memberi nafkah anak-anaknya. Jadi dia memaksa dirinya sendiri untuk bangun, menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya dan berangkat ke rumah Dela.
“Kamu sudah tanya ke Ferdi bagaimana kejadian sebenarnya?”
Eva menggeleng. “Untuk apa, Del. Semuanya sudah jelas ‘kan?”
“Yah, namanya masalah penting seperti ini sebaiknya konfirmasi. Tanyakan dulu. Hindari berburuk sangka. Siapa tahu ada alasan kuat sampai ada bekas lipstik nyangkut di baju Ferdi.”
“Aku enggak melihat alasan yang bisa membuat kejadian itu bisa diterima dengan akal sehat. Ada cewek enggak sengaja nubruk Ferdi gitu? Kejadian seperti itu Cuma ada di sinetron sekali, Del. Lagipula aku enggak yakin Ferdi akan menjawab jujur kalau ditanya.”
“Atau… mungkin dia cuma khilaf?” Della berusaha mengajukan kemungkinan alasan lain/
Eva mengangkat wajahnya. “Maksudnya?”
“Yah, kamu tahu sendiri kan. Laki-laki seperti kucing. Kalau disodori ikan asin pasti langsung lupa diri.
“Tapi dia kan bukan kucing, Del. Ferdi itu manusia yang punya logika dan pikiran untuk membedakan mana yang baik dan buruk.”
“Iya, sih. Itu cuma kalimat penghibur diri kalau kamu ingin mengambil jalan memaafkan.”
“Haruskah aku memaafkan dia, Del?” Ada embun di mata Eva.
“Tidak ada yang mengharuskan, Va. Kamu bebas mengambil keputusan terbaik untuk kamu dan anak-anak.”
“Tapi… aku takut…”
“Takut apa?” Mendadak dapur Della teras lebih hening karena mesin mixer berhenti berputar. Della memandang Eva dengan serius.
“Aku takut dia kdrt.”
“Memangnya dia pernah memukul kamu?” Mata Della membelalak lebar. Mulutnya ternganga. Dia tidak bisa membayangkan Ferdi yang bertubuh tinggi besar melakukan kekerasan pada Eva yang mungil. Sekali dorong saja, bisa-bisa Eva melayang sampai menubruk tembok.
“Kadang-kadang,” jawab Eva pelan sambil menahan malu. Padahal jelas dia adalah korban. Sepatutnya Ferdi yang merasa malu, karena berani melakukan kekerasan pada isterinya.
Belum pernah dia menceritakan kejadian-kejadian buruk dalam rumah tangganya pada siapapun. Sekarang terpaksa. Dia sudah tidak tahan lagi menanggung beban ini. Dia harus curhat agar hati dan pikirannya sedikit lega.
“Aduh, jadi gimana dong?” Della ikut resah. "Kamu akan diam saja?”
“Aku belum tahu, Del. Aku bingung. Otak dan perasaanku masih kacau.”
“Ya sudah, tengangin diri saja dulu.” Della berjalan memutari meja makan, lalu duduk di samping Eva. Della mengusap-usap punggung Eva untuk menenangkan hatinya. “Jangan mengambil tindakan atau keputusan apa-apa selama kamu masih kacau seperti ini. Kata orang, keputusan yang diambil saat emosi sedang tidak stabil, kemungkinan besar akan kita sesali.”
Eva mengangguk dengan hati hancur.
Login untuk melihat komentar!