Tak ada yang menyangka Cantika memiliki usia 2/3 dari rata-rata kebanyakan manusia hidup di dunia. Ia bak bidadari tersesat di bumi. Postur tubuh, kerutan kulit, pun tekstur muka, tak berubah signifikan sejak usia dua puluhan.
Wajah mantan finalis Putri Indonesia ini tergolong imut. Sepasang manik beriris coklat. Hidung mancung nan runcing. Bibir merah merekah meski tanpa dipulas, sempurna dilengkapi deretan gigi putih rapi dengan dua gigi kelinci alami dari lahir.
Orang-orang masih sangat takjub bagaimana Cantika merawat tubuh, hingga seolah tak lekang oleh waktu.
Satu hal juga yang tak berhasil orang-orang tebak tentang si Ahli Kamuflase ini. Ia akan berubah rajin saat sedang patah hati.
"Lo bisa bersih-bersih rumah lo sendiri kali, Tik."
Cantika menoleh. Tangan lentiknya sibuk mengusap spon berbusa ke piring gelas kotor. Beberapa pulau busa tercipta di apron anti air merah jambu yang ia pakai.
"Nggak. Ntar Mama Papa tahu, gue punya banyak pikiran."
"Atau lo masukin surat lamaran pegawai nggak tetap restoran aja. Jadi bagian bersih-bersih, cuci piring, mereka pasti senang."
"Ide bagus. Tapi makasih. Takutnya ntar gue teriak di tengah-tengah." Cantika mengukir senyum tulus ketika ia berpindah pekerjaan. Mulai mengelap piring basahnya tadi, dan menempatkannya ke kabinet bawah tempat alat makan disimpan. "Harusnya lo senang juga, rumah lo rapi gara-gara gue."
"Tapi gue lihatnya ngenes. Mendingan eksplor make up kayak dulu, daripada beberes begini." Sahabat satu-satunya bertinggi badan 175 cm-nya mulai menjentikkan jarinya. "Atau shopping? Gue sama Alin mau deh nemenin."
"Anggap aja gue bantu Bi Ratna. Ya kan Bi?"
Bi Ratna sumringah. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada tugas hariannya selesai lebih cepat dan bisa segera merebahkan tulang-tulang rentanya.
"Iya Non. Makasih, Non."
Prita mendengkus tak percaya. Bukan sekali dua kali, ia kedapatan cleaning service dadakan. Ini sudah berjalan lima tahun terakhir. Sebelumnya, perempuan cantik yang gemar patah sambung hati itu mengalihkan kesedihan ke perawatan kecantikan seharian di salon, rumah tempatnya tinggal, juga hunian sang sahabat. Cantika juga sempat menghabiskan suatu waktu di pagi hingga sore, mencoba 10 tema make up berbeda. Pun beberapa kali, melampiaskan emosinya dengan mengekor para pemburu berita. Mengajak debat narasumber-narasumber 'berbahaya'.
Prita tak lagi kaget. Hanya, segelintir was-was masih mengancam.
Kedua sahabat yang jarang berseteru itu berkenalan sejak sama-sama masih gadis, hingga sekarang sudah tak gadis lagi. Sayangnya, yang satu belum berhasil menemukan tambatan hati. Prita tahu betul isi luar dalam seorang Cantika. Sepagian, ia telah menghabiskan stok air mata di depan Prita. Mengakui keputusan gegabahnya bersama Rais. Konglomerat bisnis perhotelan yang hanya maju mundur mempermainkan hatinya. Sayangnya, meski sedekat kerabat, Prita tak punya andil dalam menentukan keputusan Cantika. Ia hanya berani menyediakan bahu dan nasehat jika sekali-kali sahabatnya melebihi batas. Dan kini, apa yang Cantika lakukan, benar-benar terlampau amat jauh. Terpaksa, Prita memuntahkan ribuan wejangan berikut daftar dosa-dosa yang telah si Cantik lakukan.
Keberuntungan lain bagi si korban patah hati, suami Prita yang seorang driller di pengeboran lepas pantai daerah Jawa Timur, belum mendapat jatah cuti pulang. Pria itu bisa pulang hingga berbulan lamanya, dan pergi bekerja berbulan-bulan lamanya pula.
"Terserah lo deh. Yang penting bulan depan lo nggak bisa lari ke sini. Suami gue pulang. Lo telepon gue, dan gue yang bakal datang ke tempat lo. Ingat? Bisa?"
"Yes, Mami."
Cengiran cantik terbit dari gadis berlesung di kedua pipi. Seolah hatinya telah tersambung utuh kembali. Siapa yang tahu?
Si Dermatovenereologist mengambil jas dokter dan tas jinjing mahalnya. Derap ujung stiletto lancip membahana ke seisi rumah.
"Gue cuma 1 jam. Gue balik, lo harus udah selesai ya, Tik!"
"Siap, Mami. Boleh ya gue beresin mainan Alin abis ini?"
"Suka-suka lo!"
----------
----------
Kepala Pak Bejo menyembul dari celah pintu yang hanya selebar jarak telinga satu ke satunya.
"Maaf, Mbak Tika. Ada tamu."
"Siapa, Pak Jo?" sahut Cantika. Gaya elegan dan senyum menampilkan lesung pipi, tak pernah absen menyapa seluruh staf ATV. Dari pegawai yang hanya bergaji di bawah UMR hingga atasan yang dalam sebulan saja bisa membeli 1 unit mobil dari gajinya.
"Mas Rais, Mbak."
"Suruh masuk aja. Sekalian Pak, bisa minta tolong? Chacha kayaknya tadi izin ke pantry, saya mau juga ya satu mie gorengnya."
"Siap, Mbak. Nggak usah Mbak Chacha. Saya aja yang masakin," hormat pria berkulit hitam karena terbakar matahari. Lelaki paruh baya yang Cantika bawa dari pelosok Brebes, sedang menangis karena tanaman bawangnya 4 tahun terakhir gagal panen dan terus merugi. "Mari, Mbak."
-------
Maharaja Rais masuk tanpa mengetuk pintu. Air mukanya jelas tak baik-baik saja. Kemeja berdasi asal-asalan. Rambut lebatnya jatuh tanpa tertata gel lagi. Padahal jarum jam masih menunjukkan pukul 10 pagi.
Ia menghilang selama tiga minggu setelah peristiwa malam sesat itu terjadi. Tanpa kabar, tanpa jejak, dan tanpa penyesalan.
"Tik?"
"Hmm?"
"Cantik. Lihat aku!"
Rais duduk tepat di kursi tamu, berhadapan pacar berstatus abu-abunya. Ia hampir saja menggebrak kaca pelapis meja kayu di depannya. Emosi mulai merambat ke ubun-ubun ketika Cantika mengacuhkan si wakil direktur hotel tempat maksiat itu terjadi. Apalagi, selama tiga minggu ini, perempuan itu tak meminta pertanggungjawaban apa-apa layaknya partner-partner setan sebelumnya.
Cantika menghembuskan nafas berat. Ia meletakkan kasar iPad di tangannya. Melepas kacamata. Menghentikan kegiatan membaca berita tentang naiknya harga gas elpiji 3 kilogram yang mencekik masyarakat menengah ke bawah.
"Kenapa?"
"Kamu baik-baik aja, kan?"
Cantika mengedikkan bahu. Ia menarik segaris senyum tipis.
"Harusnya sih iya. Tapi, nggak. Harusnya kita kena cambuk rotan 100 kali dan diasingkan. Saya merasa bersalah. Harusnya saya nangis berhari-hari, minta tanggung jawab. Ngejar-ngejar Anda. Tapi, nggak. Setelah saya pikirkan, Anda nggak pantas," jawabnya tegas namun bertahan dalam suara lembut. Seolah sedang mengobrol dengan pejabat-pejabat memuakkan karena daftar hitamnya, yang harus ia jaga wibawa di depan mata pemirsa.
"Aku mau tanggung ... jawab."
Cantika melengos. Bahakan sarat pilu itu lepas mendengar kalimat terpatah Rais.
"Nggak perlu. Saya nggak mau mengambil langkah yang salah lagi. Cukup, itu terakhir. Selamat. Anda pria terakhir yang berhasil menutup pintu hati saya loh ... "
Hampir saja, Rais tersenyum bahagia, sebelum Cantika melanjutkan kalimatnya. "Saya muak sama semua laki-laki. Silakan Anda menerima calon istri pilihan Bapak Satya saja. Dia pasti udah siap jadi pajangan selamat datang untuk partner-partner bisnis Anda. Apalagi, pilihan orang tua biasanya tak akan salah."
Si pembawa acara berita nasional itu bangkit dari duduk setelah menyambar iPadnya. "Duh, lapar ... ! Kalau udah nggak ada urusan lagi, saya mau makan. Mie goreng saya mungkin udah jadi. Nggak enak kalau dingin."
Keturunan ke tiga kerajaan hotel Maharaja, mengepalkan tangannya kuat-kuat kala Cantika seenak saja berlalu melalui dirinya. Seelegan model catwalk memamerkan rancangan terbaru desainer ternama dalam ruangan kerja bercorak wallpaper garis vertikal abu itu.
Perempuan itu tampak segar. Eyeliner bergaya mata kucing terpulas sempurna. Bibir tebal dengan lipstik peach bertekstur matte. Kantung mata yang seharusnya tampak sayu, tertutupi total oleh concealer.
Rais berkelakar ketika sang Host Cantik telah memegang handle pintu.
"Sok suci lo! Dasar perawan tua! Apa gunanya pakai kerudung? Sok tobat lo? Gue bisa aja gembor-gemborin hubungan kita ke media. Mau lo?! Sekalian aja lo kejebak sama gue!!" murka Rais.
Cantika berbalik. Ia tak tahan lagi untuk melepas sepatu merah berhak 15 sentimeternya. Berbekal pengalaman pelajaran lempar lembing semasa SMA, perempuan itu tepat sasaran mendaratkan ujung stiletto ke dahi si pria tampan tak berakhlak.
"Kalau lo mau hotel berjaya turun temurun lo hancur, silakan. Gue sih udah ancur-ancuran, jadi udah nggak takut apa-apa lagi. Sayangnya ... lo? Enggak kan Bapak Maharaja? Jangan bikin jantungan Pak Satya ah. Kasihan."
Pintu kaca terbanting sempurna.
Orang-orang di luar ruangan berubah memasang ekspresi sok tak tahu-menahu. Bergelagat sibuk dengan pekerjaan yang seharusnya tak pernah ada. Padahal sejak tadi berusaha mengintip dari celah-celah kaca bening yang jelas memperlihatkan aksi sejoli sedang mengakhiri hubungan. Hot news yang siapa tahu, bisa mengisi segmen gosip acara sebelah.
Cantika menarik senyum selebar tiga jari pada setiap sosok yang ia lalui. Mereka hafal betul sifat si Penebar Senyum ini. Senyum berlesung mematikan. Senyum yang bisa berarti keramahtamahan, pun juga bisa bermakna kebencian tanpa ampun.
Ia berlalu menjauh dengan kaki telanjang, sembari menggenggam sebelah sepatu merah bak Cinderella kesiangan. Kabur menuju arah pantry.
Satu lagi yang orang tak pernah ketahui dari seorang Ratu Tipu-tipu, adalah ia jarang ke pantry. Pasang kaki jenjangnya melangkah lurus hingga ujung gedung. Tepat di balik satu pintu sliding berbahan alumunium di sana, tembus helipad lawas yang tak pernah sekalipun digunakan lagi.
Ia meluruhkan tubuh sintalnya di dinding gedung. Mencari penopang untuk menyandarkan kemelut hati yang tak kunjung usai.
Cantika melepas semuanya.
Tawa keras, teriakan gila, dan tangis kesakitan.
Menertawakan takdir hidupnya yang sepertinya akan seorang diri saja ... hingga tua. Masa bodoh! Ia wanita mandiri. Ia bisa sendirian saja. Ia tak butuh orang lain. Apalagi, laki-laki.
--------
π±π±π₯Ίπ₯Ί
Cucok nggak ceritanya? Kalau ada salah2, ga sinkron bisa inbox japri Mak yes. Maklum lah Mak ini udah emak-emak berfaktor U. π
Geng Pollo, halo apakabar?