“Cuma lima juta? Yang bener aja, Mas!”
Tari menatap nanar, uang yang baru saja selesai dihitungnya. Hilang binar mata yang baru saja memancar, saat baru menerima amplop cokelat dari sang suami.
Seketika Jamal tertunduk. Ia menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal, sebenarnya bukan kepala yang gatal, tapi isi di dalamnya. Dirinya baru saja menjadi bulan-bulanan sang kakak ketika datang menagih, sekarang ia harus menghadapi kegarangan sang istri di rumah.
Kilasan kata-kata sang kakak terngiang kembali di telinga.
“Mal, uangnya Mbak Yun kasih separuh dulu, ya! Separuhnya nanti mbak cicil, soalnya kemarin udah kepake buat bayar dp motor. Kasihan Wulan, semua teman-temannya punya motor sendiri, setiap ke sekolah dia tiap hari harus nebeng dan mbak harus bantu uang bensin. Lama-lama nggak enak juga, ‘kan lebih baik punya sendiri, bisa hemat uang bensin juga.”
Yuyun menyerahkan amplop cokelat yang sudah dipersiapkan sebelum Jamal atau Tari menagih. Ia sengaja menggunakan uang sang adik untuk memenuhi gaya hidup sang anak yang merengek karena malu pada teman-teman sebayanya.
“Waduh, Mbak! Gimana urusannya jadi sulit gini?”
“Maksud kamu ngomong gitu, apa? Mau bilang kalau mbak ruwet. Udah sukur uangnya aku balikin separuh, nggak aku pake semua lagi!”
“Tapi Mbak! Itu uang mau dipake buat bayar tagihan arisan. Bukan uang tabungan yang nganggur. Bisa habis diomelin Tari aku, kalau gini.”
“Makanya jadi suami jangan lembek! Yang tegas dong! Selama ini kamu juga banting tulang nafkahin dia, harusnya dia hormati kamu sebagai kepala rumah tangga.”
“Tapi Mbak! Ini kerjaan Tari! uang Tari! Aku udah bersyukur banget dia mau bantu kerja. Gimana nanti aku jelasinnya coba? Kemarin aku minjemin Mbak tanpa sepengetahuan dia.”
“Halah! Mbak yakin Tari pasti punya tabungan banyak di bank. Uang cuma segitu pasti gampang buat dia.”
“Kenapa Mbak mempersulit hidupku?”
“Heh Mal, sejak kecil sampek nikah, siapa yang bantu urus kamu? Mbak, ‘kan? Minjemin uang segitu aja digede-gedein.”
“Mbak.” Wajah Jamal memelas di hadapan sang kakak.
“Dibilang udah untuk dp motor! Itu motornya.” Yuyun menunjuk sebuah motor matic keluaran terbaru berwarna putih.
Jamal hanya bisa pasrah dan diam, percuma saja beradu argumen dengan kakaknya. Ia akan selalu saja kalah, walaupun merasa tak bersalah. Saat ini, kalau Jamal bisa memilih, dia akan memilih dilahirkan lebih dulu sebelum Yuyun. Agar senjata tentang pengasuhan tak selalu digunakan wanita itu.
“Mas! Gimana?”
Jamal tersentak kaget dan tersadar dari lamunannya.
“Mas, ke mana separuh uangnya?” Tari menatap tajam sang suami.
“Anu, itu, dipake buat bayar dp motor sama Mbak Yuyun.”
Lelaki berperawakan kurus itu sedikit tergagap. Ia tahu betul konsekuensi yang akan diterimanya. Kemarahan sang istri.
“Bayar dp motor pake uang pinjeman? Itu namanya mau enaknya sendiri. Kita aja motor butut nggak ganti-ganti. Udah ditolong malah seenaknya sendiri! Mana tadi bos udah telepon minta uangnya ditransfer, mana mungkin mau minta penangguhan lagi. Bisa hilang kepercayaan bos padaku.”
Tari menghela napas kasar. Seketika kepalanya terasa berdenyut sakit mendengar jawaban Jamal.
“Ya udah, Dek. Untuk sementara ambil uang di tabungan aja buat bayar tagihan. Mbak Yuyun nggak mau uang segitu aja jadi masalah yang digede-gedein, biar gimana pun kita ini saudara harus bisa saling bantu.”
“Enteng bener Mas ngomongnya. Segitu aja nggak dibayar semua, gimana kalau lebih banyak! Mas tahu nggak, sih. Sekarang aku mau ikut bantu kerja biar kita punya tabungan buat beli rumah, bukan untuk bantu ekonomi orang! Biar kita nggak ngontrak terus!”
“Satu lagi, Mas! Ikatan saudara itu orangnya, kalau uang nggak ada teman, saudara atau hubungan apa pun!”
Semenjak perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, Jamal menjalani profesi sebagai ojek online. Penghasilannya hanya pas-pasan untuk biaya hidup. Belum lagi bila ada pelanggan gelap yang mengerjai, order makanan, tapi alamatnya fiktif. Ia harus rela membawa makanan yang harganya tak ramah untuk kantongnya.
“Mas udah usaha nagih, tapi mau gimana lagi, dikasihnya cuma segitu.”
“Makanya lain kali semua urusan keuangan aku yang urus. Siapa pun yang mau pinjem uang ngomong ke aku dulu! Jangan berani-berani pinjemin uang tanpa seizinku! Apalagi bukan uang kita!”
Tari bersungut-sungut kesal. Jamal memang mudah sekali iba bila ada yang meminta bantuan. Terlebih sang kakak yang begitu pandai berkata-kata manis.
Lagi-lagi Jamal hanya terdiam pasrah. Bila berhadapan dengan wanita, ia pasti kalah bicara. Daripada salah mengucap kata, maka akan semakin panjang urusannya.
Tak ada pilihan lain bagi Tari selain mengambil uang tabungan, sebagai pengganti uangnya yang belum dikembalikan. Atau mungkin bisa jadi tak kembali. Dadanya sesak melihat nominal angka yang hampir habis. Sisanya justru tak sebesar yang ia ambil. Tak terasa sudut matanya mengeluarkan air mata. Ia yang selama ini rela berhemat dan banting tulang mengumpulkan sedikit demi sedikit uangnya, harus dengan mudah melepas.
“Kita mulai lagi dari nol,” gumamnya lemah. Ia meremas slip saldo ATM miliknya dan memasukkan kasar ke dalam dompet.
“Harus kutanyakan kapan Mbak Yuyun mau ngembaliin uangnya.”
***