🍂
Sebuah mobil mewah edisi terbaru berhenti tepat di depan halaman rumahku. Paman Basri keluar dari dalam mobil diikuti oleh istrinya. Tak berselang lama, mobil mewah lainnya berhenti di belakang mobil paman Basri. Ialah bibi Yanti yang kuyakini turut mengantar nenek.
Ayah dan emak menyambut kedatangan mereka. Emak meminta Fitri agar membawa koper berisi pakaian nenek ke dalam rumah. Sementara ayah terlihat mengobrol dengan saudara-saudaranya.
"Mereka ngomong apa, Kak?" tanya Fitri setelah mengantar koper nenek ke dalam rumah.
"Entah!" Aku mengangkat kedua bahu.
Fitri mendekati mereka. Gadis tomboy itu tak pernah menyukai saudara-saudara ayahku. Terlebih setelah acara pernikahan Diana, rasa bencinya semakin menjadi-jadi.
"Abang yang gendong ibu!" perintah paman Basri kepada ayah.
"Eh, eh, eh! Kenapa harus ayahku yang gendong nenek?" Fitri protes. Aku yakin siang ini ia akan menunjukkan taringnya. Aku mengenal Fitri dengan baik. Kata-katanya pedas. Bahkan seorang Meli pun akan kalah bila berhadapan dengan Fitri.
"Jadi siapa lagi, Fit?" tanya paman Basri dengan kerutan di dahi.
"Siapa? Bodoh! Ya, paman! Siapa lagi? Masa ayahku! Usianya udah 64 tahun. Lah kamu? Lagian kamu anak bungsu. Enak aja nyuruh ayahku!"
'Kamu? Yang bener aja, Fit!' Aku tertawa dalam hati.
Fitri berlalu meninggalkan kami semua. Raut wajah paman Basri berubah total. Sepertinya darah beliau mendidih. Aku yakin, saat ini beliau sangat malu atas perlakuan adikku.
"Ya udah, Bang. Aku aja yang gendong ibu." Perlahan paman Basri membawa nenek keluar dari dalam mobil. Nenek hanya diam tanpa sepatah kata pun. Kedua netranya yang mulai memutih menatap kami satu persatu. Nenek sudah tidak mengenal orang lagi. Ia sudah pikun.
"Di sini aja, Bas." Ayah menunjuk ambal yang telah di gelar emak. Paman Basri meletakkan nenek di tempat yang dimaksud oleh ayah. Istri paman Basri, bibi Yanti serta suaminya juga turut masuk ke dalam rumah.
"Fitri!" Emak memanggil Fitri yang kembali asyik dengan game online-nya.
"Ya, Mak!" Gadis itu menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari layar pipih dalam genggamannya.
"Buatin teh, Nak."
"Ah, gak usah repot-repot, Kak," ucap istri paman Basri. Tumben wanita itu berbicara. Biasanya juga dia diam seribu bahasa kalau ada di rumahku.
"Iya, Mak. Entar tehnya gak diminum lagi. Jangankan diminum, disentuh aja nggak."
Daebak! Aku menahan senyum mendengar perkataan Fitri. Gadis berusia 22 tahun itu tak peduli siapa lawan bicaranya. Sekali tidak suka, tetap tidak suka.
Akhirnya aku yang melangkah menuju dapur atas perintah emak. Kuhidangkan teh hangat serta roti di hadapan paman dan bibiku.
"Makasih, Des," ucap bibi Yanti yang kujawab dengan anggukan dan senyuman.
"Jadi, Bang, ibu gak lama kok di sini. Semampu Abang saja. Kalau Abang udah gak mampu, beritahu kami supaya kami jemput ibu," tutur bibi Yanti.
"Iya, Bang. Kita bisa gantian rawat ibu. Memang untuk saat ini, aku gak bisa. Kak Yanti juga gak bisa. Bang Surya juga gak bisa. Yang lainnya pun sama. Gak mungkin ibu kita antar ke Makassar, ke rumah Bang Ali." Paman Basri menambah penjelasan bibi Yanti.
"Aku paham kalian semua orang penting, orang sibuk. Aku dan istri aja yang gak sibuk. Hari ini ibu ada di rumahku, besok, lusa sampai seterusnya ibu akan tetap ada di sini. Sampai akhir hidup ibu, ibu akan tetap di sini. Tak boleh ada yang membawanya lagi." Ayah menjeda kalimatnya. Hening. Tak ada suara. Paman dan bibiku tak berani menatap ayah.
Ayah menarik nafas dalam. "Tak ada kata tidak mampu dalam hidupku. Semua yang datang ke hadapanku adalah tanggungjawabku. Meski hanya tukang becak, aku tetap akan merawat ibu karena aku mampu menanggungjawabinya. Kalian gak usah khawatir. Sampai akhir hayat ibu, ibu akan menjadi tanggungjawabku." Ayah meraih gelas yang ada di hadapannya lalu meneguk teh hangat itu.
"Selesai? Pulang yuk, Pa!" Di tengah keheningan yang mendera, istri paman Basri buka suara. Wanita yang sejak awal selalu sibuk dengan gawainya itu sukses menghentikan pembicaraan antara kakak dan adik.
*****
'Des, jemput kursi roda nenek, ya!'
Aku teringat perkataan emak sebelum berangkat bekerja pagi tadi. Selama menunggu jemputan Fitri, aku berselancar di dunia maya. Membaca beberapa tulisan di salah satu grup literasi yang ada di pesbuk. Sebelumnya aku telah memberitahu Fitri bahwa kami akan ke rumah nenek mengambil kursi rodanya.
Emak memang memiliki kegiatan baru sejak kedatangan nenek ke rumah. Memberi makan, memandikan hingga mengganti popok nenek menjadi tugas emak. Dua hari ini, emak ingin mengajak nenek berjemur di pagi hari. Hanya saja sedikit sulit sebab nenek sudah tidak bisa berjalan. Dipapah pun sudah tidak bisa. Itulah mengapa emak meminta kami menjemput kursi roda nenek. Tentunya lebih gampang kalau ada kursi roda.
Dari kejauhan kulihat Fitri sudah datang. Gadis berhijab itu memacu motor matic-nya dengan sangat hati-hati. Sejak Ridwan pergi mengikuti tes demi cita-citanya, Fitri-lah yang mengantar dan menjemputku bekerja.
Tak butuh waktu lama, kami telah sampai di rumah nenek. Rumah nenek cukup besar. Rumah panggung khas zaman dahulu dengan sebuah pohon mangga yang menjulang tinggi di halaman luasnya. Aku menautkan alis melihat apa yang saat ini ada dihadapanku.
"Kak, bukannya nenek di rumah? Kok rumah nenek ramai? Trus aku gak kenal orang-orang ini." Sepertinya Fitri juga sama herannya denganku.
"Yok kita tanya!" ajakku menarik tangan Fitri.
"Maaf, Dek. Nyari siapa?" Seorang lelaki muda berpostur tinggi bertanya pada kami berdua yang mungkin terlihat asing baginya.
"Maaf, Bang. Ini rumah nenek Rohana, kan?" Aku pura-pura bertanya memastikan.
"Oh bener, Dek. Tapi nenek Rohana sudah pindah ke rumah anaknya. Jadi rumah ini dikontrakkan," jelas lelaki itu.
"Maaf, Bang. Anaknya yang mana, ya?"
"Pak Basri, Dek."
Sudah kuduga. Semua ini pasti ulah paman Basri. Selalu saja pencitraan. Katanya nenek di rumahnya? Dasar pembohong! Jangan-jangan ia mengantar nenek ke rumah supaya ia bebas mengolah rumah ini?
"Baiklah. Kami permisi ya, Bang." Aku mengajak Fitri ke rumah paman Basri yang tak jauh dari rumah nenek.
Tak sampai lima menit aku dan Fitri sudah sampai di rumah paman Basri. Pantas saja Meli selalu merendahkan orang miskin seperti kami. Mungkin kamarnya saja lebih luas dari rumahku. Empat mobil mewah berjejer di garasi rumah bernuansa putih itu. Ya meskipun dua diantaranya merupakan mobil dinas dengan plat merah.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sebelum mengucap salam pada empunya rumah, Meli muncul dari balik pintu dengan pakaian rumahan. Gadis berambut lurus sebahu itu mengernyitkan kening tatkala melihatku bersama Fitri.
Ia mendekat. "Ngapain kemari? Mau minjem duit lagi?" Meli menatap kami sinis.
"Kau fikir aku butuh duitmu? Dengar ya, Meli. Seumur hidup, aku gak pernah ngutang sama ayahmu. Sekarang aku cuma butuh ayahmu. Buka!" Aku memerintah Meli tanpa takut. Ia membuka pagar yang menjulang tinggi di antara kami.
"Mana ayahmu?" Aku menatap ke sekeliling rumah.
"Tunggu disini! Jangan ikutan masuk. Lantai rumahku bisa kotor," sindir Meli sembari menatap kakiku bersama Fitri.
"Wanita iblis! Kebanyakan dikasih makan duit haram kayanya tuh anak," gumam Fitri.
Kulihat paman Basri muncul dari dalam rumah bersama Meli. Paman Basri sangat mirip dengan ayahku. Bahkan ia satu-satunya yang paling mirip dengan ayah. Bak pinang dibelah dua.
"Iya, Des? Masuk dulu, yok!" ajak paman Basri.
"Gak usah, Paman. Entar lantai rumah paman kotor. Kaki orang miskin gak cocok menginjak lantai rumah orang kaya." Aku sengaja menyindir Meli.
"Syukur deh! Ternyata kamu sadar juga."
"Mulutmu!" Fitri berteriak sembari menunjuk Meli dengan telunjuknya.
"Desi, Fitri, kalian keponakan Paman. Jangan seperti itu. Jangan karena kalian ada masalah dengan Meli, kalian jadi tidak menghormati Paman." Lelaki berkacamata itu mencoba melerai.
Cih! Sok manis sekali pamanku ini! Bahkan masalahku dengannya lebih besar dibanding dengan anaknya. 'Saudara miskin selalu menyusahkan'. Hatiku perih setiap mengingat perkataannya itu.
"Mana kursi roda nenek?" Aku mencoba tenang di hadapan beliau. Biar bagaimanapun, ia tetaplah orangtua yang wajib dihormati.
"Ada di dalam. Meli, ambil kursi roda nenek di kamar belakang."
Meli berlalu meninggalkan kami bertiga. Setelah memastikan Meli benar-benar telah berlalu, aku mulai menginterogasi paman Basri. "Paman, kenapa rumah nenek dikontrakkan tanpa sepengetahuan nenek?"
"Nenekmu sudah tua. Dia udah pikun. Gak ngerti lagi."
"Setidaknya paman beritahu ayah."
"Ha? Ayahmu gak tahu menahu soal itu, Des. Dia cuma tahu gimana caranya mengendarai becaknya untuk kasih makan keluarganya."
"He! Itu mulut dijaga!" Setelah tadi sempat menunjuk anaknya, kini Fitri menunjuk wajah paman Basri. Kedua mata Fitri melotot seolah akan meloncat keluar.
"Ini, Pa." Meli muncul dengan membawa sebuah kursi roda.
"Pulang-lah, Desi. Sampaikan salam paman untuk ayah dan emakmu." Paman Basri kembali masuk ke dalam rumah.
"Kasihan! Diusir paman sendiri," ledek Meli dengan kedua tangan yang saling mengapit di depan dada.
Cuih!
Meli melotot tak percaya. Aku juga tak kalah terkejut dengan apa yang kulihat. Fitri meludah ke lantai rumah Meli.
"Kaki kotorku tak sampai menginjak lantai rumahmu tapi ludahku masih bisa melayang beberapa meter. Bersihkan itu sekarang!" Fitri menunjuk lantai yang sejak tadi dibanggakan oleh Meli.
~~