600 Ribu Rupiah
🍂 Hidup penuh dengan ujian. Suka dan duka, ujian. Nikmat dan sengsara, ujian. Pun miskin dan kaya, ujian. 🍂




'Kak, tadi aku dipanggil ke kantor kepala sekolah. Peringatan uang SPP dan uang makan, Kak.'

Aku menghirup nafas dalam lalu perlahan membuangnya. Kedua netraku masih fokus pada benda pipih yang ada dalam genggaman. Pesan singkat yang dikirim oleh Tia -adik bungsuku- berulang kali kubaca. Kemana aku harus mencari pinjaman? Ah. Otakku benar-benar tak bisa menemukan jalan keluar. Buntu.

'Besok Kakak ke pesantren ya, Dek. Insyaa Allah.'

Kukirim balasan singkat untuk adikku yang kini tengah belajar di kelas XII pesantren. Aku bekerja sebagai guru di salah satu sekolah swasta dengan gaji 1.5 juta setiap bulannya. Biaya pendidikan Tia di pesantren sebesar 600 ribu setiap bulannya. Tentu saja sisa dari gajiku itu masih lebih dari cukup untukku yang masih lajang. Itulah mengapa aku memberanikan diri mengambil alih tanggungjawab orangtuaku akan pendidikan Tia.

Tiba-tiba aku teringat pada paman Basri. Beliau merupakan adik bungsu ayahku. Dari delapan bersaudara, paman Basri merupakan yang paling sukses. Beliau merupakan orang nomor satu di instansinya bekerja. Beliau juga memiliki puluhan hektar kebun karet serta kebun sawit yang dikelola oleh orang-orang kepercayaannya. Istri beliau juga bukan orang sembarangan. Sama seperti sang suami, bibi Nur juga merupakan orang nomor satu di instansi tempatnya bekerja.

Di lain sisi, ayahku menjadi yang paling tidak beruntung diantara ke delapan saudaranya. Ayahku merupakan satu-satunya yang tidak bekerja sebagai pegawai pemerintah. Beliau hanya seorang tukang becak. Sudah 30 tahun lamanya ayah mengayuh becak. Beliau menghidupi kami dan tinggal di rumah kontrakan berukuran 5x6. Sangat kontras dengan paman-pamanku, bukan?

Terlintas di benakku untuk berhutang kepada paman Basri. Kucari nama beliau di daftar kontak gawaiku. Beberapa detik setelah benda pipih itu menempel di daun telingaku, panggilan tersambung.

"Halo." Paman Basri menyapa dari seberang sana.

"Halo, Paman," balasku kembali.

"Ada apa, Des?" tanya beliau tanpa basa-basi. Sepertinya paman Basri sudah tahu kalau aku sedang membutuhkan bantuannya.

"Hmmm, begini, Paman. Saya boleh pinjam duit paman? Bulan depan saya kembalikan. Bulan ini ada masalah internal yayasan, jadi gaji bulan ini dibayar bulan depan," ucapku takut-takut.

"Berapa?" tanya beliau.

"600 ribu, Paman."

"600 ribu, ya? Begini, Des. Sekarang paman lagi gak punya duit. Andri juga baru bayar uang kuliah. Kamu kan tahu dia kuliah di kampus mahal. Biaya kuliahnya mahal," jelas paman Basri dengan suara yang tak bisa kuartikan apa maksudnya.

"Begitu ya, Paman. Baiklah. Maaf, Paman, sudah mengganggu."

Sambungan telepon terputus. Aku sedih dan menyesal telah menghubungi paman Basri. Ini kali pertama aku meminta bantuan beliau. Itu pun tanpa sepengetahuan ayah. Kalau ayah tahu, pasti ayah marah. Selama ini pantang bagi ayah meminta bantuan pada saudara-saudaranya. Dulu aku selalu bertanya mengapa, tapi ayah tak pernah memberitahu alasannya. Sepertinya hari ini aku tahu jawabannya.

Jempolku terus menari di atas layar benda pipih. Paman Fian. Aku berhenti tatkala melihat nama itu di daftar kontak. Haruskah aku meminta bantuan pada beliau? Saudara kandung ayah saja tidak mau membantu apalagi paman Fian yang hanya sepupu ayah?

Baiklah. Hati kecilku mengatakan kalau aku memang harus menghubungi paman Fian. "Assalamu'alaikum, Paman," ucapku setelah panggilan tersambung.

"Wa'alaikumussalam. Iya, Des. Ada apa?" tanya paman Fian.

Aku menceritakan masalahku pada beliau. Pun jumlah uang yang kubutuhkan serta untuk apa uang itu akan kugunakan.

"Kirim nomor rekeningmu sekarang. Paman transfer 600 ribu setelah makan siang," tutur beliau setelah mendengar ceritaku.

Aku terharu. Paman Fian; bukan adik kandung ayah melainkan sepupu. Beliau bukan orang nomor satu dalam sebuah instansi. Beliau hanya seorang pedagang kelapa. Paman Fian juga tinggal di sebuah kontrakan bersama istri dan ke tiga anaknya. Sama seperti ayah.

*****

Aku duduk di antara keluarga besar ayahku. Hari ini Diana -anak saudara sulung ayahku- menikah. Kulihat ayah dan emak duduk di bagian belakang. Jauh dari keluarga inti. Paman Basri duduk persis di depanku.

"Si Ahmad masih bawa becak, gak?" Seorang lelaki paruh baya yang duduk di sebelah paman Basri bertanya pelan namun masih bisa kudengar.

"Ya," jawab paman Basri singkat.

"Dimana dia? Aku tak melihatnya," tanya lelaki itu lagi.

"Duduk di belakang."

"Apa hidupnya masih kayak dulu? Susah?" 

Aku tersentak mendengar pertanyaan lelaki berkemeja batik itu. Sebegitu susahnya kehidupan ayahku di mata mereka.

"Masih sama. Dia nyekolahin semua anaknya setinggi-tingginya. Giliran gak mampu bayar uang sekolah, dia suruh anak sulungnya meminta duitku. Dengan dalih berhutang." Penjelasan paman Basri ibarat petir yang menyambarku di siang hari. Ingin rasanya aku bertingkah bodoh namun urung kulakukan. Aku harus tetap diam untuk mengenal paman Basri lebih jauh.

"Trus? Si Ahmad mengembalikan, gak?"

"Aku gak mau ambil resiko. Biarin aja dia minjem duit orang lain. Saudara miskin memang selalu menyusahkan," ucap paman Basri kemudian berlalu bersama lelaki itu.



Bersambung~