[Kamu nyindir aku, Des? Maksudmu apa?]
Aku terkekeh membaca balasan yang baru saja kuterima dari Meli. Gadis berusia 23 tahun itu terbawa perasaan dengan status yang baru saja ku-update. Sepertinya ia tahu kalau ia memang sangat mirip seperti ayahnya. Suka merendahkan! Aku sungguh tak menyangka kalau hatinya sepeka itu.
[Aku gak nyindir kamu, Mel. Ada yang salah dengan statusku ini? Memang faktanya buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Gak mungkin jambu depan rumahku jatuh dan melayang ke depan rumahmu, kan? Wkwkwkwkwk.]
Dua centang biru. Itu artinya Meli telah membaca pesan yang ia terima. 'Meli is typing....' Aku tertawa dalam hati membayangkan Meli yang tengah terbakar emosi sambil mengetik. Tak sabar rasanya menerima balasan dari putri sulung paman Basri itu.
Drrrrtttt!
Gawaiku bergetar. Menunjukkan sebuah pesan masuk dari Meli. Kusiapkan mental sebelum membaca isi pesan itu. Sebab aku menyadari bahwa aku baru saja membangunkan iblis dari tidurnya. Bagiku, Meli tak ubahnya iblis yang terkenal dengan lidah tajamnya.
[Aku tau kau menyindirku, Desi. Terserah kau mau mengatakan apa. Seperti apapun kau menilaiku, aku tetap akan berada di atasmu. Kau dan keluargamu tak ubahnya keset kaki di rumahku. Oh iya, Desi. Aku cuma mau bilang, gak usah sok kaya. Sok menyekolahkan adikmu tinggi-tinggi padahal gajimu gak seberapa. Jangan-jangan buat makan aja kurang. Ujung-ujungnya kau mengemis-ngemis sama ayahku. 600 ribu aja kamu gak ada duit? Gak tau malu! Orang kismin memang selalu menyusahkan. Syukur papaku gak kasih pinjem. Eh, aku lupa! Kamu kan guru bahasa Inggris, ya! Mulai sekarang aku panggil kamu Missqueen, deh!]
Aku menelan saliva payah. Sakit hati? Tentu saja. Meli benar-benar merendahkan keluargaku. Satu hal yang menampar harga diriku, paman Basri menceritakan perihal diriku yang meminjam duit padanya meski sebenarnya ia tidak memberi?
Aku tersenyum kecut. Ternyata pemeran antagonis tanpa hati nurani tidak hanya ada dalam sinetron. Baiklah! Aku akan menempatkan diri di posisi protagonis yang tak bisa direndahkan. Akan selalu kudekati dan kubujuk sang sutradara kehidupan hingga aku benar-benar bisa membungkam mulut sepupuku, Meli.
Kuputuskan untuk mengirim balasan agar Meli tidak merasa menang. [Let's wait and see, Meli.]
*****
Aku berjalan menyusuri jalan beraspal dengan tergopoh-gopoh. Jantungku berpacu dengan langkah kakiku. Aku memasuki sebuah gang kecil di ujung jalan. Kupercepat langkah menuju rumah semi permanen tanpa cat yang sudah tertangkap oleh kedua netra.
Ada banyak sandal di depan pintu. Aku masuk dengan hati yang tak tenang. Beberapa tetangga terlihat sedang mengurut kaki dan punggung ayah. Kudengar mereka berkata kalau sepertinya ayah masuk angin. Lidahku kelu tak mampu berkata tatkala kulihat kedua mata emak sembab. Pun adik pertamaku -Fitri- menangis sembari mengusap-usap kepala ayah.
"Ayah!" panggilku pelan. Aku mendekati beliau. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Perutnya kembung. Keras ketika tanganku menyentuh perut dan punggung ayah. Tak ada sepatah kata pun yang beliau ucapkan. Hanya erangan kecil yang sesekali terdengar dari mulutnya. Rasa sakit yang teramat sangat membuat wajah beliau pucat pasi.
"Permisi, saya periksa dulu." Seorang wanita muda dengan rambut yang dikuncir tiba-tiba muncul. Ia mengeluarkan stetoskop dari dalam tas jinjingnya. Kuketahui wanita itu seorang bidan yang baru saja dijemput oleh Ridwan.
"Masuk angin. Bapak makan apa pagi tadi atau malam tadi?" tanya bidan itu.
"Pagi tadi ayah saya makan nasi goreng, Bu." Fitri menjawab pertanyaan bidan bertubuh tinggi itu. Setelah memeriksa dan meresepkan obat, ia pamit pada kami semua.
"Kan bener apa yang kubilang! Ayahmu pasti masuk angin. Kalau bahasa kampungnya, ini namanya angin jahat. Bisa sampai menyerang jantung. Maaf! Bisa saja gak tertolong," tutur salah satu tetanggaku.
Sebenarnya aku tidak suka mendengar perkataan tetanggaku itu. Bukannya memberi semangat malah mengatakan hal menyedihkan. Menyebalkan sekali!
"Desi, beritahu paman dan bibimu." Tetangga yang lain memberi saran agar aku memberitahu saudara-saudara ayahku. Aku hanya mengangguk meski sebenarnya aku enggan memberitahu mereka.
*****
Dua mobil mewah berwarna putih dan hitam berhenti tepat di depan rumahku. Aku menatap datar ke arah orang-orang yang keluar dari dalam mobil. Paman Basri beserta istrinya dan juga bibi Yanti bersama suaminya. Mengapa mereka datang? Apakah mereka tahu kabar mengenai ayah?
"Assalamu'alaikum." Bibi Yanti mengucap salam kemudian masuk ke dalam rumahku. Aku menyahut salam beliau. Mereka masuk lalu duduk di lantai beralaskan tikar yang baru saja digelar emak.
"Kamu kok gak ngabari Paman dan Bibi, Des?" tanya paman Basri.
"Aku takut menyusahkan, Paman," jawabku datar.
"Paman dan bibi tahu darimana kalau ayah sakit?" lanjutku.
"Bu Lia yang ngasih tahu," jawab bibi Yanti. Bu Lia, rekan kerja bibi Yanti yang tinggal persis di depan rumahku, mengabari bibi Yanti. Sudah kuduga.
"Kamu jangan sombong, Des! Kalau ada masalah di rumah ini, beritahu paman dan bibi," lanjut bibi Yanti.
"Maaf, Bi. Aku gak mau menyusahkan orang lain. Khususnya Paman dan Bibi." Berulangkali kata menyusahkan itu kuulangi. Sepertinya kata itu sudah menjadi senjataku untuk menyerang paman Basri secara tidak langsung.
Kulihat istri paman Basri yang sejak tadi diam saja. Wanita berseragam hitam putih itu mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Ia terlihat tidak nyaman dengan posisi duduknya saat ini. Mungkin ia tidak terbiasa duduk di dalam rumah kecil seperti rumahku.
Mereka menanyakan kondisi ayah pada emak. Ayah memang sudah tidur sejak makan obat sejam yang lalu. Tak sampai dua puluh menit, mereka pamit pulang. Empat gelas teh yang dihidangkan oleh emak bahkan tak disentuh. Hanya bibi Yanti yang minum. Ya meski hanya beberapa teguk. Itu pun mungkin hanya sebagai bentuk penghargaannya pada emak.
"Kami pamit pulang, Kak! Ini ada sedikit bantuan dari kami." Bibi Yanti menyodorkan selembar duit lima puluh ribuan yang dilipat hingga kecil kepada emak.
"Makasih banyak, Dek," ucap emak sembari menerima duit itu.
"Ini dari saya, Kak." Paman Basri merogoh dompet dari dalam sakunya. Selembar duit 20 ribuan ia beri pada emak.
"Makasih ya, Basri." Ucap emak. Mengapa emak harus menerima duit itu? Seharusnya emak menolaknya. Sepertinya aku benar-benar sudah membenci mereka.
"Ya, Kak. Segitu aja udah cukup, kan? Lagian Abang dirawat di rumah, kok. Bukan di rumah sakit," ucap paman Basri kemudian tersenyum hangat pada emak.
Bersambung~