🍂 Bersyukurlah bila kau bisa membantu orang-orang di sekitarmu. Jangan pernah mengeluh! Percayalah bahwa pelangi akan muncul setelah hujan reda. 🍂
"Mak, lagi nyari apa?” tanyaku pada emak yang sedang membongkar berkas-berkas.
“KTP ayahmu,” sahut emak singkat.
“Loh! Untuk apa?”
“Mak mau pinjem duit ke koperasi. Syaratnya harus ada fotocopy KTP kepala keluarga.” Emak menjelaskan tanpa melihatku. Kedua tangannya masih sibuk membolak-balik setiap berkas yang menumpuk di hadapannya.
“Minjem duit? Untuk apa, Mak?” Aku semakin bingung dibuat emak.
“Tiga minggu lagi kita bayar kontrakan, Nak.”
“Sudahlah, Mak! Gak usah minjem ke koperasi lagi. Biar aku aja yang bayar kontrakan.” Aku menghentikan kegiatan emak. Merapikan semua berkas kemudian mengembalikannya ke dalam lemari.
Anak mana yang tega melihat orangtuanya berhutang disaat ia sendiri memiliki tabungan? Jujur saja, aku tidak tega. Selama kuliah, emak dan ayah telah banyak berhutang demi pendidikanku. Masih segar dalam ingatan bagaimana mereka gelisah di malam hari mengingat hutang-hutangnya. Pun seperti apa mereka ketakutan di siang hari bila si penagih hutang mendatangi rumah. Sepi di malam hari, takut di siang hari. Itulah hutang.
*****
‘Sisa tiga juta,’ gumamku dalam hati.
Aku menghela nafas perlahan tatkala kedua netra menangkap deretan angka yang tertera di mesin ATM. 25 lembar duit seratus ribuan sudah ada dalam genggaman. Duit ini cukup bagi kami untuk istirahat dengan tenang di kontrakan berukuran 5x5 meter.
Lagi, aku harus mengorbankan tabungan. Tabungan yang rencananya akan kugunakan membeli tanah kaplingan milik rekan kerjaku. Untuk saat ini, biarlah aku berkorban demi kepentingan bersama. Sebab aku percaya dan yakin, akan ada pelangi setelah hujan reda.
Sesampainya di rumah, aku menghampiri emak yang tengah memasak air di tungku kayu. “Mak, nih duit buat bayar kontrakan.” Aku menyerahkan duit sebesar 2.5 juta rupiah kepada emak.
Emak tak menerimanya. Wanita berpostur pendek itu memelukku. Tubuh emak bergetar. Apakah emak menangis?
“Mak, kenapa?” tanyaku bingung.
“Maafkan Emak dan Ayah, Nak,” ucap beliau menahan isak.
“Kami selalu menyusahkanmu, Nak. Sudah setahun bekerja tapi kau belum punya apa-apa, Nak. Emak minta maaf, Nak.” Kini tangis emak pecah sembari mengeratkan pelukannya padaku.
Mengapa emak harus meminta maaf? Bukankah apa yang telah kulakukan selama setahun ini belum seimbang dengan apa yang mereka lakukan seumur hidupku? “Gak apa-apa, Mak. Mak doakan semoga rezeki kita selalu berkah.” Aku membalas pelukan beliau.
*****
Benda bundar yang melekat di dinding menunjukkan pukul empat sore. Aku sedang menyetrika pakaian. Suara merdu Maher Zain menggema dari speaker bluetooth yang terletak tak jauh dari posisiku duduk saat ini.
Kulihat Ridwan sudah rapi dengan stelan olahraga serta sepatu sport berwarna putih. Tampan. Ketampanannya turun dari ayah. Postur tubuh tinggi, kulit sawo matang serta rahang yang tegas.
Setiap Minggu sore ia pergi berolahraga ke stadion yang ada di pusat kota tempatku tinggal. Setahun belakangan ini ia aktif mengikuti latihan fisik. Tentu saja atas saran dariku. Bergabung dengan club renang, nge-gym, diet sehat agar berat badannya ideal serta aktif mengikuti bimbingan belajar.
Ridwan merupakan mahasiswa semester empat namun sebenarnya ia bercita-cita menjadi seorang tentara. Sudah dua kali ia gagal meraih mimpinya. Itulah sebabnya tahun ini aku mendukungnya dengan sepenuh hati. Membiayai segala kebutuhan dan keperluannya.
Kumatikan setrika kemudian bergegas mengejar Ridwan. Tiba-tiba aku ingin berfoto dengannya. Padahal selama ini aku malas berselfie ria.
“Dek!” Aku memanggil Ridwan sesaat sebelum ia menyalakan mesin motornya.
“Ya, Kak?” Remaja berambut cepak itu menoleh.
“Foto, yuk!” ajakku penuh semangat. Ridwan tak menjawab. Ia mendekat pertanda setuju.
Ciiiissss!
Dalam beberapa detik, tiga foto selfie sudah tersimpan di galeri. Emak muncul dari balik pintu. Ridwan meraih tangan emak kemudian mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkan kami itu.
“Hati-hati di jalan. Jangan ngebut! Ingat! Kamu hanya anak tukang becak. Jangan sampai orang-orang bilang kamu anak tak tahu diri. Rajin-rajin latihannya. Jangan kecewakan Kakak-mu yang udah banyak berkorban. Selalu berdoa supaya Allah selalu bersama kita.” Panjang lebar emak memberi nasehat. Nasehat yang selalu ditujukan buat kami semua; kamu hanya seorang anak tukang becak. Tahu diri! Tahu di untung!
*****
[Ridwan banyak berubah ya, Des. Makin atletis badannya. Udah kaya tentara aja. Apa dia mau ikut tes calon tentara?] Meli membalas cerita whatsapp yang baru saja kuperbarui. Ia menjadi orang pertama yang melihat dan membalasnya.
[Iya, Mel. Cita-cita dia sejak kecil.] Balasku singkat.
[Zaman now, kalau gak ada duit pasti susah, Des.]
[Gak apa-apa, Mel. Kita hanya berusaha, hasilnya Allah yang menentukan.]
Dua centang biru. Meli tak membalas lagi. Baguslah! Lagipula aku malas kalau lama-lama ngobrol dengannya meski hanya sebatas chat. Beberapa detik kemudian, di barisan teratas muncul sebuah status dari Meli. Ku-klik status berupa tulisan itu.
[Di dunia ini tak ada yang lebih berkuasa selain DUIT. Orang miskin dan gak punya duit, gak usah mimpi tinggi. Entar jatuh, mati lo!]
Seketika aku terbakar emosi. Bukan karena terlalu baper, status itu memang ia tujukan untukku. Aku yakin itu. Aku bukanlah manusia berhati malaikat seperti pemeran teraniaya yang ada dalam sinetron. Aku hanya manusia biasa yang terkadang ingin membalas dendam. Seolah tak mau kalah, aku turut memperbarui status.
[Buah memang jatuh tak jauh dari pohonnya!]
Bersambung~