🍂 Jangan pernah menyerah pada orang-orang yang merendahkanmu. Sebab itu merupakan salah satu hal terbodoh dalam hidup. Bertahanlah! Berjuanglah! Bungkam mulut mereka dengan keberhasilan. 🍂
Benda pipih dalam tasku bergetar tiada henti. Sejak beberapa jam yang lalu, paman dan bibi serta sepupu-sepupuku berkicau di grup keluarga kami. Aku membaca obrolan mereka satu per satu. Ucapan selamat serta doa kebaikan untuk pernikahan Diana masih berlanjut di grup.
'Kalau aku yang nikah, sebanyak inikah yang mengucapkan selamat dan mendoakan?' gumamku dalam hati.
[Foto-fotonya mana? Paman pengen lihat.] Tulis paman Ali. Paman Ali merupakan anak ke tiga nenekku. Beliau memang tidak menghadiri pesta Diana. Kondisi kesehatan beliau yang tidak stabil membuatnya tidak bisa bepergian jauh. Sepertinya keluarga besarku bisa memahami sebab Makassar-Medan tidaklah dekat.
Satu per satu potret suka cita di pernikahan Diana mulai muncul di sana. Sepupu-sepupuku saling memuji. Mulai dari warna pakaian seragam yang sangat cocok untuk mereka hingga polesan make-up di wajah mereka. Paman Ali juga turut memberi komentar dan pujian.
[Keluarga Ahmad gak datang, ya?]
Deg!
Pertanyaan paman Ali membuatku sadar akan sesuatu. Ternyata foto yang mereka kirim hanya foto keluarga mereka saja. Tak ada keluargaku di dalam foto itu. Haruskah aku mengirim foto keluargaku ke grup ini? Kalau mereka tidak menanggapi, bagaimana? Atau sebaiknya kukirim langsung pada paman Ali? Bagaimana kalau paman Ali merasa aneh? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Tak tahu harus berbuat apa. Bingung.
Setelah beberapa menit paman Ali bertanya mengenai keluargaku, tak ada yang menjawab. Mereka bungkam. Mungkin mereka sedang sibuk, fikirku. Akhirnya kuputuskan mengirim foto keluargaku di grup.
[Alhamdulillah. Kemaren Allah masih memberi nikmat kesehatan dan kesempatan untuk menghadiri pesta pernikahan Diana, Paman. Ini foto ayah dan emak serta kedua adik Desi.] Aku turut melampirkan sebuah foto yang diambil dari hp-ku.
[Alhamdulillah. Ayah dan emakmu sehat, Nak?] balas paman Ali.
[Alhamdulillah. Sehat, Paman. Paman sekeluarga, sehat?]
Untuk beberapa saat aku dan paman Ali saling berbalas pesan di grup itu. Paman Ali memang ramah. Ekonomi keluarganya lumayan. Anak-anaknya juga sukses semua. Ya meski sebenarnya beliau juga pelit. Setidaknya beliau tidak pernah melukai hati orang lain dengan lisannya.
Hei! Kira-kira kemana orang-orang yang tadi berkicau ramai di grup ini? Tidak tertarik-kah mereka dengan pembicaraanku dan paman Ali? Sungguh! Mereka sedang dalam mode senyap.
[Kenapa Desi dan keluarga gak pakai pakaian seragam, Nak?]
Istri paman Ali yang juga ada di grup bertanya. Benar dugaanku. Mereka pasti curiga dengan perbedaan yang ada. Ya lain cerita bila semua keluarga memang memakai pakaian yang berbeda. Apa yang harus kukatakan? Apa aku harus mengatakan mereka tidak mengajak kami? Ah rasanya tidak sopan. Lagipula aku takut memicu perdebatan. Beberapa saat aku memikirkan jawaban. Benda pipih berwarna hitam yang masih ada dalam genggamanku kembali bergetar.
[Bakal kainnya mahal, Bi. Belum lagi upah menjahit pakaiannya. Kami takut paman Ahmad gak mampu beli. Makanya gak diajak.]
Putri paman Basri –Meli– menjawab pertanyaan istri paman Ali. Sampai segitunya-kah mereka memandang ekonomi keluargaku? Ya Tuhan, mengapa hidup sekejam ini? Aku menggingit bibir menahan perih di hati. Mengapa begitu sakit? Syukurlah tidak ada ayah, emak atau adik-adikku di grup ini. Sebab hanya aku seorang yang memiliki telepon seluler di rumah.
Aku akan keluar meninggalkan grup sialan itu. Eh tunggu! Tidak seharusnya aku keluar darisana. Aku harus tetap bertahan ditengah-tengah badai yang menghantam. Terus melayarkan kapalku mengarungi samudera kehidupan. Pun berhati-hati akan karang yang kapan saja bisa membuat kapalku karam.
*****
“Kak!”
“Kak!”
“Ya!” Aku menyahut Ridwan yang berulang kali memanggil.
“Kakak lagi apa di kamar?” Remaja berusia 19 tahun itu bertanya sebelum membuka pintu kamarku.
“Lagi baca novel. Masuk aja.”
Dari balik pintu, Ridwan muncul dengan menggenggam handphone milikku. “Kak, coba lihat!” Ia menyodorkan benda berbentuk persegi itu kepadaku.
Kutahan layar pipihnya dengan jempol. Sebuah status dari Meli yang diperbaharui tiga menit yang lalu. Kualihkan pandangan menatap Ridwan yang duduk persis di sampingku. Wajahnya datar namun memancarkan kebencian. Aku tahu ada yang mengusik ketenangannya.
“Kamu kenapa?” tanyaku pura-pura bingung.
“Kakak gak sadar ada yang aneh di status si Meli itu? Lihat, Kak! Ayah di-crop. Tuh tangan ayah yang merangkul paman Ismail kelihatan. Caption-nya juga sok manja. Cih!” Ridwan berdecih kesal melihat ayah diperlakukan berbeda.
‘Paman dan bibiku tersayang’ Begitulah caption yang disematkan Meli di status itu. Tentunya lengkap dengan emoji penuh cinta. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Meli yang mengatur posisi tujuh bersaudara itu. Yang tertua berdiri paling tepi. Sebab ayah anak ke empat Meli menyuruh ayah berdiri di tepi sebelah kanan.
'Meli, kau memang licik. Ternyata ini tujuanmu menyuruh ayahku berdiri di tepi.' gumamku dalam hati.
Bersambung~