20 Ribu
"Mak!" Aku menghampiri emak yang baru saja mengantar kepergian ipar-iparnya.

"Ada apa?" Emak bertanya dengan kening berkerut. Mungkin beliau bisa melihat kebencian yang terpancar dari wajahku.

"Seharusnya Emak gak menerima duit pemberian mereka. 70 ribu? Terkesan merendahkan loh, Mak. Di pesta nikahan Diana, kita dibedain, Mak. Belum lagi paman Basri," Aku menghentikan perkataanku. Biar bagaimanapun aku harus menyimpan semua yang kualami dan kudengar dengan rapat. Emak dan ayah tidak boleh tahu. Hal seperti itu akan menjadi beban fikiran bagi mereka. 

Cih! Aku berdecih kesal mengingat ekspresi paman Basri ketika mengeluarkan duit 20 ribuan dari dompetnya. Belum lagi perkataannya ketika di pesta pernikahan Diana terus terngiang di telinga.

"Emak cuma mau menghargai mereka, Des," ucap emak sebelum meninggalkanku di halaman rumah. Ah! Emak memang selalu seperti itu. Selalu memikirkan perasaan orang lain. Tidak boleh memutuskan tali silaturahmi, senjata pamungkas emak kalau aku mulai meracuni fikirannya.

*****

Seminggu setelah kejadian ayah masuk angin, kondisi ayah sudah sepenuhnya membaik. Beliau sudah kembali beraktivitas seperti biasanya. Beliau juga tidak terlalu mempermasalahkan saudara-saudaranya yang datang menjenguk.

"Ayah." Aku mendekati ayah yang bersiap-siap berangkat bekerja.

"Hmmm."

"Ayah antar Desi ke swalayan, ya," ucapku kemudian dibalas anggukan oleh ayah.

Bentor alias becak bermotor merupakan kendaraan khas daerahku. Kendaraan roda tiga ini bisa menampung dua penumpang. Di sinilah aku sekarang, di dalam becak. Kulihat ayah yang sedang fokus mengendarai becaknya. Tak sampai 15 menit, aku sudah sampai di swalayan.

"Ayah, ikut masuk?" tanyaku pada ayah.

"Gak usah, Nak. Ayah pergi saja. Langganan Ayah udah pada,"

Tiiittt!

Tiiittt!

Tiiittt!

Suara klakson yang berbunyi tanpa henti membuat ayah menggantung kalimatnya. Aku menoleh ke arah suara klakson. Pun ayah mengalihkan pandangannya. Di belakang kami tepatnya, seorang gadis dengan motor matic-nya menatap tajam ke arah ayah. Sorot mata serta raut wajah gadis itu seolah mengatakan bahwa becak butut ayah telah menghalangi jalannya.

Aku berjalan menghampiri gadis berwajah glowing itu. "Kau tidak punya mata? Disana masih lebar!" ucapku dingin sembari menunjuk jalan yang masih lebar.

"Suruh tukang becak itu pergi! Aku mau lewat." Gadis itu menatapku tajam.

"Tukang becak? Dia pamanmu! Kau memang benar-benar iblis, Meli!" Aku mengeratkan rahang menahan emosi yang membakar dada. Tak lain dan tak bukan, gadis itu ialah Meli. Seorang pemancing emosi handal tanpa hati nurani.

Aku melangkah ke dalam swalayan sesaat setelah ayah pergi. Kedua netraku menangkap Meli di barisan sabun dan shampoo. Sebisa mungkin aku menghindarinya. Malas rasanya berhubungan dengan manusia sombong dan angkuh sepertinya.

"Terimakasih, Kak." Aku menjinjing plastik berukuran sedang setelah menyelesaikan transaksi dengan kasir swalayan. Aku berdiri di tepi jalan. Menanti ojek online yang baru saja kupesan.

Meli keluar dari area parkir. Aku tetap fokus pada benda pipih dalam genggaman. Muak melihat wajah Meli 'sang iblis'. Ia melewatiku tanpa menoleh. Kami seperti saling tak mengenal. Namun ada satu hal yang membuatku ingin tertawa terbahak-bahak. Meli menancap gas dengan kencang ketika di depanku. Putri Abu Jahal abad 21 sepertinya sedang emosi.

'Meli si Iblis is calling'

Aku mengernyitkan dahi menatap panggilan masuk di gawaiku. Meli? Untuk apa wanita iblis itu meneleponku? Bukankah ia baru saja tancap gas di depanku?

"Halo!" sapaku ketika benda pipih itu sudah menempel di daun telinga.

"Kamu dimana, Des?" Suara Meli terdengar ramah. Seolah perang dingin di antara kami beberapa menit yang lalu tidak pernah terjadi.

"Apa pentingnya buatmu?"

"Aku serius, Des. Bantuin aku, dong?"

"Emang kenapa?"

Setelah ojek yang kupesan tiba, aku menuju tempat dimana Meli saat ini berada. Ia berada di sebuah bengkel tambal ban. Aku tertawa riang di dalam hati mengingat bagaimana ia memohon bantuanku agar datang ke bengkel ini. Ban motornya bocor dan ia sama sekali tak memiliki duit pecahan kecil? Yang benar saja! Namun tak masalah. Awal mula pembalasan yang indah, batinku.

"Des, aku pakai duitmu 10 ribu, ya? Entar sore aku ke rumahmu. Aku balikin lebih, deh," ujar Meli tanpa malu. Dasar muka tembok!

"Gak perlu datang ke rumahku. Entar kamu jijik! Bisa-bisa virus kismin menular ke kamu. Nih, 20 ribu. Gak usah balikin apalagi bayar lebih. Keluargaku bukan rentenir. Aku bukan pemakan riba. Ini duit papamu yang kemaren ia beri pada emakku. Bilang papamu, duit 20 ribunya aku kembalikan," tuturku sembari tersenyum licik pada Meli.

Meli melongo tak percaya dengan apa yang kulakukan. Ia pasti malu mengingat ada banyak orang di bengkel itu.

"Eh, Bang! Tunggu sebentar!" ucapku setengah berteriak pada abang ojek. Aku melupakan sesuatu. Aku kembali menghampiri Meli.

"Aku lupa, Mel. Hanya beberapa menit setelah kau menghina ayahku dengan bunyi klaksonmu. Ck! Ck! Ck! Secepat ini Tuhan membuatmu membutuhkanku. Kutunggu saudaraku yang kaya ini menyusahkan orang miskin sepertiku." Tak ada ekspresi yang ditunjukkan oleh putri sulung paman Basri itu tatkala aku menepuk bahunya pelan. Wajahnya memerah menahan malu.

*****

Senyum mengembang di wajahku tatkala fikiranku kembali memutar ulang adegan di bengkel kemarin. Aku merasa seolah-olah sedang bermain peran dalam drakor alias drama Korea. Tak kusangka bahwa panggung kehidupan lebih seru dari sekedar sinetron.

"Kak!" Ridwan mendekat dan membuyarkan lamunanku.

"Hmm,"

"Aku berangkat besok pagi," ucapnya lirih.

"Loh? Kok gak semangat?" Aku menatap wajah sedihnya.

"Aku takut gagal, Kak."

"Serahkan semua pada Allah. Kita hanya berusaha."

Ridwan mengangguk pertanda mengerti. Besok ia akan mengikuti tes kesemaptaan jasmani. Sebelumnya, ia dinyatakan lolos tes administrasi. Aku berharap semoga Allah membantu adikku. Emak dan ayah juga menaruh harapan besar pada Ridwan, anak lelaki satu-satunya.

"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari suara yang tak asing di telinga.

"Wa'alaikumussalam. Tumben ayah pulang cepat," ucap Ridwan kemudian menyambut kedatangan ayah.

"Emak, mana?" Ayah bertanya dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan.

"Panggil Emak, Dek!" perintahku pada Ridwan.

Ridwan bergegas menuju halaman belakang. Emak sedang menanam kangkung dan tanaman apotek hidup lainnya. Beberapa saat kemudian, emak muncul bersama Ridwan. Tangan emak masih dipenuhi tanah. "Ada apa?" tanya emak bingung.

"Tadi Basri menemuiku. Katanya, mulai sekarang kita yang harus merawat ibu." Penjelasan ayah membuatku melongo tak percaya.

"Di rumah kita, Yah? Di sini?" Aku sungguh tak bisa mempercayainya.

"Ya, gak apa-apa, Des. Entar nenekmu tidur di kamar emak. Emak sama Ayah tidur di sini aja." Emak menunjuk ruang keluarga sekaligus ruang tamu kami.

"Bukan, Mak. Bukan itu maksudku. Maksudku, kenapa harus kita? Kan selama ini ada perawat di rumah nenek?"

"Desi," sela ayah cepat.

"Pamanmu bilang, selama ini mereka udah bayar mahal itu perawat. Sementara ayah gak pernah ikutan membantu. Ayah juga anak nenekmu, kan? Jadi kata pamanmu, kalau ayah tidak bisa membantu secara materi, setidaknya bisa membantu dari segi tenaga," tutur ayah panjang lebar.

"Udahlah, Des. Kita rawat aja nenekmu. Mudah-mudahan menjadi pahala untuk kita," imbuh emak di tengah-tengah penjelasan ayah.

Aku mengangguk lemah. Sebenarnya, aku tidak keberatan kalau pun kami harus merawat nenek yang sudah berusia 90 tahun. Hanya saja yang membuatku tidak habis fikir adalah alasan paman Basri. Hanya karena selama ini ayah tidak turut membayar gaji perawat nenek, ia memindahkan nenek ke rumah kami. Biarlah! Seperti kata emak, semoga menjadi pahala untuk kami.




~~