Pesta Pernikahan Sepupu

🍂 Tidak selamanya menjadi berbeda itu menyenangkan. Ada saatnya ia terasa sakit ketika kau memang sengaja dibedakan. 🍂




"Aku gak mau ambil resiko. Biarin aja dia minjem duit orang lain. Saudara miskin memang selalu menyusahkan," ucap paman Basri kemudian berlalu bersama lelaki itu.

Aku bergeming mendengar semua perkataan paman Basri. Menyusahkan? Hingga usiaku 27 tahun, aku belum pernah meminta bantuan mereka. Pun ayahku yang selalu menjaga jarak dengan mereka. Lalu dari sudut mana aku menyusahkan mereka? Sungguh aku menyesali tindakanku yang meminta bantuan padanya beberapa hari yang lalu.

Aku menatap paman Basri beserta istri dan ke dua anaknya yang kini berdiri di atas pelaminan. Bersama kedua mempelai, keluarga paman Basri tersenyum menghadap kamera. Kemeja batik yang dikenakan pamanku senada dengan batik putranya. Terlihat mewah dan elegan. Pasti barang mahal. Aku yakin itu.

Setelah keluarga paman Basri, giliran keluarga bibi Yanti -kakak kedua ayahku- yang naik ke pelaminan. Tak jauh berbeda dengan keluarga paman Basri, bibi Yanti beserta suami dan kelima anak serta cucu-cucunya mengenakan pakaian yang sama. Sungguh indah dipandang. Belum lagi sentuhan tangan MUA profesional membuat wajah mereka terlihat semakin cantik.

Seketika aku merasa insecure. Seluruh keluarga besar ayah memakai seragam keluarga. Sepertinya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Sementara keluargaku? Tak satupun yang senada. Kami memakai pakaian yang dibeli saat lebaran tahun lalu.

Keberadaan keluargaku disana tak ubahnya seperti semut di antara kerumunan gajah. Tak terlihat dan bahkan bisa saja terinjak tanpa ampun. Ah! Bodo amat. Aku tidak peduli dengan mereka semua. Toh semut juga bisa menumbangkan gajah hingga terkulai tanpa ampun. Bukankah begitu?

Dari posisiku duduk saat ini, kulihat ke lima pamanku dan bibiku satu-satunya silih berganti mengabadikan moment bersama Diana dan sang suami di atas pelaminan. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan bernuansa putih ini. Mencari-cari keberadaan ayah dan emak. Kedua netraku menangkap sosok yang sejak tadi kucari. Ayah dan emak serta kedua adikku berbincang-bincang sembari menyantap hidangan yang disediakan.

"Kamu darimana aja, Des?" tanya emak setelah aku menghampiri mereka.

"Dari depan sana, Mak," jawabku singkat lalu kemudian mengambil posisi duduk persis di depan ayah.

Kutatap lekat wajah ayah. Wajah yang dulunya tampan kini telah dipenuhi kerutan. Jambang dan rambutnya sudah mulai memutih. Ternyata ayah sudah tua. Aku teringat perkataan paman Basri yang menuduh ayah telah memanfaatkanku untuk berhutang padanya. Ya Allah, aku benar-benar merasa bersalah dan iba pada ayah. Aku akan meminta maaf dan menceritakan apa yang telah kulakukan. "Ayah," panggilku dengan mata berkaca-kaca.

"Ya, Nak?" Ayah menghentikan suapannya.

"Maaf, Ayah. Aku belum bisa membelikan pakaian mahal untuk Ayah." Nada suaraku mulai bergetar. Alih-alih menceritakan perbuatan paman Basri, aku malah mengatakan hal konyol yang sangat tidak penting. Ada apa denganku? Aku menunduk malu. Menyembunyikan air mata yang telah menggenang dan mungkin beberapa detik lagi akan jatuh membasahi pipi.

"Eh, Kakak kenapa? Pengen nikah juga?" Ridwan mulai meledekku. Adikku itu memang suka sekali meledek status jomblo kakaknya ini.

"Ridwan!" seru emak pertanda meminta anak lelaki satu-satunya untuk diam.

"Trus baju yang Ayah pakai ini apa? Ini Desi yang beli. Bagus kok kemejanya. Harganya juga mahal. Kalau gak salah harganya 120 ribu, kan? Bahkan seumur hidup baru kali ini Ayah pakai kemeja harganya di atas 100 ribuan." Ayah menatapku sembari tersenyum hangat.

Aku menatap ayah. Mencoba menyelam ke dasar hati beliau melalui kedua manik hitamnya. Mencari kejujuran di dalam sana. Benar kata ayah. Ayah dan emak memang telah mengorbankan semuanya demi ke empat anaknya. Mereka rela memakai pakaian lusuh asal anak-anaknya memakai pakaian bagus. 

"Paman!" Seorang gadis cantik dalam balutan gaun mewah berwarna silver menghampiri kami. Ialah Renata, adik kandung diana yang kini duduk di bangku SMA. Ia seusia dengan adik bungsuku, Tia.

"Paman kok duduk di sini?" Ia bertanya lalu menepuk-nepuk bahu ayah pelan. Apa yang kulihat sekarang bukanlah drama. Diana dan Renata memang rendah hati. Mereka berdua sering berkunjung ke gubuk kami. Ayah mereka -paman Ismail- merupakan saudara sulung ayah.

"Lah? Paman harus duduk dimana? Di panggung bersama biduan?" seloroh ayah.

"Duduk di depan bersama keluarga, dong! Ayo, Bi, kak Diana ngajak foto."

Mau tidak mau, kami harus menuju pelaminan atas permintaan Diana. Kami memberi selamat kepada kedua mempelai. Tak lupa juga kuberi kado untuk Diana. "Semoga kak Desi juga segera bertemu jodoh, ya," ucap Diana setelah menerima ucapan selamat dariku.

Akhirnya keluargaku berfoto bersama Diana. Keluarga besar ayahku tersenyum menatap kami. Sangat ramah. Tak terkecuali paman Basri yang tersenyum hangat dari tempatnya duduk saat ini. Ia seperti bunglon yang bisa berubah-ubah sesuai tempat.

'Tersenyumlah, Paman. Aku sudah mengenalmu!' batinku sarkas.

"Satu, dua, ciiiiiiss!"

Ceklek!

Akhirnya terabadikan juga momen keluargaku bersama Diana. Renata menyerahkan benda pipih yang sebelumnya kuberi padanya. Aku turut mengabadikan momen suka cita itu di dalam gawaiku.

"Paman Ahmad, jangan pergi dulu. Diana pengen foto sama paman semuanya," seru gadis bergaun navy itu.

"Ah! Gak usah, Din. Entar merepotkan dan menyusahkan!" ujarku setengah berteriak. Aku sengaja agar paman Basri mendengarnya. Berhasil. Kulihat paman Basri menatapku datar. Aku tersenyum ramah pada beliau.

Ayah, kelima pamanku serta satu-satunya bibiku berdiri di atas pelaminan. Menatap kamera dengan pose saling merangkul satu sama lain. Sungguh akrab. Namun ada sesuatu yang mengganggu keakraban tu. Ialah seorang lelaki berusia 60-an yang tak mengenakan pakaian senada dengan yang lainnya. Ia tak ubahnya orang asing yang merusak suasana. Ayah.

"Ma, paman Ahmad merusak suasana aja. Baju beda sendiri, miskin sendiri lagi." Salah satu anak paman Basri berbisik kepada mamanya yang berdiri tepat di belakangku.

~