Perut Mulai Terasa Sakit
Sesuai permintaan, Mas Hendra dan Ibu. Aku mulai melamar pekerjaan. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan, tidak perlu menunggu satu minggu karena di hari pertama melamar di perusahaan jasa langsung di terima.

Orang pertama yang paling bahagia saat tau aku keterima kerja adalah Ibu. Beliau sangat antusias. Berbeda dengan Mas Hendra dia tidak berselera mendengar kabar bahagia yang aku bawa. 

"Kenapa, Yah?" tanyaku saat kami sudah ada di kamar. Mas Hendra masih terdiam dia pura-pura sibuk membuka laptopnya.

"Ayah gak senang, Mama keterima kerja?"

"Kenapa bisa secepat itu keterima. Ini hari pertama, Mama melamar dan langsung diterima. Aneh saja."

"Maksudnya, Yah?" Ada angin tidak segar mulai merasuk sel-sel dalam tubuh.

"Ya aneh." Mas Hendra memandangiku dari atas sampai bawah. Dia tersenyum kejut.

"Pantas saja keterima. Penampilan, Mama sedikit menggoda mata pria jalang."

"Ayah!!"

Aku masih tidak percaya dengan apa yang Mas Hendra tuduhkan. Dia yang memintaku  untuk cari kerja. Sekarang dia malah menuduh yang bukan-bukan. Apa aku salah jika sedikit memoles diri dengan menggunakan baju Hem yang di padukan dengan rok di bawah lutut, rambut sehabu dibiarkan terurai serta ada hiasan lipstik tipis. Jika aku melamar pekerjaan dengan baju daster mana ada yang terima.

"Jangan membentak. Pokoknya, Ayah gak mau, Mama bekerja di sana!"

"Tapi kenapa, Yah? Bukannya Ayah sendiri yang meminta Mama untuk mencari kerjaan. Lalu dimana salahnya?"

"Kamu itu kalau dikasih tau suami ya harus nurut. Jangan batah terus!" ucap Ibu yang baru masuk kamar, seperti biasa Ibu datang untuk membela Mas Hendra. 

Ya Tuhan. Beri aku kesabaran. Sungguh aku tidak ingin berdebat terlalu panjang dengan mereka. Karena perdebatan ini tidak akan ada akhir.

Sambil memejamkan mata aku tarif nafas panjang. Sabar, Diana. Batinku saat melihat Ibu mulai berdiri sejajar dengan Mas Hendra.

"Jadi istri itu harus tau diri. Ibu juga heran kenapa kamu langsung diterima. Pasti ada sesuatu," tuduhan Ibu tidak jauah beda dengan Mas Hendra. 

"Baik. Kalau begitu mulai besok Diana gak mau bekerja di luar. Ibu dan Ayah jangan sekali-kali menyuruh Dian cari kerja di kantoran."

Aku keluar dari kamar dengan perasaan marah. Ibu dan Mas Hendra masih di dalam sedang bicara.  

"Punya istri kok suka membantah. Dulu Ibu gak seperti itu sama Ayah mu, Hendra."  Hanya itu yang bisa aku dengar. Entah apa jawaban Mas Hendra aku tidak tertarik untuk mengetahuinya. 

Mas Hendra telah membuatku kecewa dengan menuduhku tidak benar. Jadi selama ini Mas Hendra tidak mengenalku dengan baik. Atau mungkin ada pengaruh lain sehingga Mas Hendra seperti sosok suami yang tidak aku kenal lagi.

Tega kamu, Yah. Sungguh tuduhan tak berdasar itu telah membuat luka baru di dalam hatiku. 

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak bekerja dan fokus mengurus Melva. Apapun yang Ibu katakan tidak ku hiraukan sedikitpun. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Bagiku yang penting Mas Hendra tidak marah dan menuduhku yang macam-macam. Cukup Ibu yang setiap hari selalu melontarkan sindiran menyakitkan karena melihatku selalu ada di rumah. 

Sejak tinggal satu rumah dengan Ibu mertua, aku di tuntut keras untuk menggunakan baju baja dan helm baja anti sakit hati. 

Tuntutan terbesar adalah peringatan dari Mas Hendra. "Mama jangan suka membantah apa yang Ibu katakan. Apapun yang di katakan seorang Ibu benar."

Aku hanya tersenyum sendiri. Apa dia tidak tau atau sudah tau tapi pura-pura tidak tau kalau Ibunya sudah terlalu sering menghina istrinya. 

Jika aku menjelaskan semua yang Ibu lakukan padaku, rasanya percuma karena baginya perkataan, Ibu paling benar. 

****

"Pemasangan ayudinya sudah berhasil," ucap sang Dokter sambil tersenyum pada Mas Hendra. Aku masih belum bisa mendengarnya.

"Segera bawa istrimu, ke Dokter THT, karena Sepertinya pendengarannya sedang bermasalah," perintahnya.

"Baik."

Entah apa yang mereka bicarakan, aku hanya bisa sedikit mengerti dari gerak bibir mereka. Setelah cukup lama membuatku menunggu dalam kesunyian, akhirnya Mas Hendra mengajakku pulang. 

"Yah. Kenapa, Mama tidak bisa mendengar?" tanyaku saat kami sudah ada di dalam mobil, Mas Hendra hanya melihatku tidak ada ekspresi yang mengkhawatirkan. 

"Tidurlah. Nanti juga sembuh!" kali ini suaranya sedikit terdengar walau dengan nada sentakan.

Sampai di rumah, saat aku turun dari dalam mobil, tiba-tiba pelukan hangat dari tubuh mungil, Melva, sudah melekat dari belakang. Ku balikkan badan, terlihat kedua bola matanya masih sembab, putriku menangis.

"Putri cantik kenapa menangis? Mama gak papa," Melva tidak menjawab dia hanya menatapku lalu melototi Ayahnya yang berdiri di sampingku.

"Mama sakit?"

"Mama gak sakit, Melva, jangan berlebihan gitu. Ayok masuk," perintah Mas Hendra.

Sepanjang malam perutku serasa sakit. Seperi ada sesuatu yang berputar di dalamnya. Saaangat sakit. sudah berbagai macam obat aku minum namun tidak ada hasil, rasa sakit itu semakin jadi. Rasanya seluruh isi dalam perut sedang di bor.

Dimana Mas Hendra, kenapa belum datang juga dari kantor, ini sudah malam. 

Ku raih hape hendak menghungi tapi saat kunyalakan ada delapan panggilan dari Mas Hendra yang tak terjawab.

[ Malam ini, Ayah pulang terlambat. Ada lembur. Tidurlah, jangan menunggu] 

Pesan singkat darinya. Tumben dia ikut lembur?

Aku melihat Melvin sedang menangis, tapi kenapa aku masih tidak mendengar tangisannya, ada apa dengan telingaku?  Aku mengkorek telinga dengan ujung jari kelingking berulang kali, berharap dengan begini pendengaranku pulih.

Segera aku meraih tubuh mungil itu dan memberinya asi, namun hanya sedikit yang diminum. Melvin menangis lagi dan menolak saat aku sodorkan puting ke mulutnya. 

Perutku sakit lagi, lebih sakit dari tadi. Aku meletakkan tubuh Melvin di atas kasur sedangkan aku berjuang melawan sakit yang begitu menyayat seperti di gores dengan pisau berkarat. Berulang kali kupanggil Ibu dan Melva namun tidak ada yang datang. 

Melvin terus menangis sampai wajahnya merah. Berlahan aku menggendongnya berusaha untuk menenangkan bayi mungilku sambil menahan rasa sakit yang begitu kuat menyerang semua penghuni di dalam perut. 

Dimana Ibu dan Melva. Kenapa mereka tidak ada. Kenapa mereka tidak mendengar teriakanku.

"Ya ampun, diana! Kamu apakan anakmu sampai menangis begitu." 

Ibu datang wajahnya menunjukkan kalau dia sedang marah dan bicara padaku tapi aku masih belum bisa mendengar dengan sempurna.

Di raihnya Melvin dari gendonganku lalu membawanya keluar. 

Melva masuk, memelukku dengan erat. "Mama kenapa? Sakit?"

Aku tidak bisa mendengar apa yang Melva katakan tapi aku tau dari gerakan mulutnya dia menanyakan, "Mama kenapa?"

"Perut Mama sakit. Sakit sekali.."

Melva langsung mencari sesuatu di laci, namun tidak menemukan apa yang di carinya. Kemudian dia keluar dan kembali lagi dengan membawa minyak kayu putih punya Melvin.

Tangan mungilnya mulai meratakan minyak telon di atas perut ku. 

Kini tangan mungilnya meraih selimut dan menyelimutkan keseluh tubuh lalu menciumku penuh cinta. 

"Tidur dulu, Ma. Nanti sembuh sendiri. Minyak telonnya akan bekerja saat Mama tidur," ucap Melva yang tidak bisa aku mengerti karena pikiran dan perhatianku hanya berpusat pada rasa sakit yang luar biasa.