Sakit perut yang aku rasakan terjadi hampir setiap hari. Sehingga membuatku tidak fokus mengurus Melvin. Kasian bayiku itu sudah beberapa hari ini dia tidak minum asi. Untung saja dia mau di kasih sufor dan makannya lumayan bernafsu sehingga tidak terlalu membuatku kepikiran.
Kesunyian juga telah mengganggu seluruh aktivitasku sebagai seorang Ibu. Sering kali aku mengabaikan Melvin yang menangis bukan karena di sengaja tapi Karen tidak mendengar tangisan bayi dan pada akhirnya Ibu dan Mas Hendra mengomel tidak jelas dengan tuduhan, " kamu itu, Mama yang gak becus!"
"Yah. Mama mau minta uang untuk periksa," pintaku saat Mas Hendra sedang santai, dia hanya menatapku.
"Mau periksa apa lagi sih, Mah. Mamakan gak sakit!" terdengar nada Mas Hendri sedikit menyentak dan keras.
"Entah kenapa pendengaran Mama sedikit berkurang. Mama mau ke Dokter THT. Takut terjadi apa-apa."
Mas Hendra menatapku lalu melihat ke arah Ibu yang sedang menggendong Melvin
"Lihat lah. Ibu sibuk ngurusin Melvin, kamu malah sibuk sendiri, ngurusin hal yang gak jelas."
Entah apa yang Mas Hendra katakan aku tidak bisa mendengar dengan jelas. Mas Hendra mendekati Ibu dan mengambil Melvin lalu menyerahkannya padaku.
"Urus anak ini dengan benar!" perintahnya nadanya masih tinggi.
"Mama." Melva mendekatiku saat Mas Hendra dan Ibu masuk ke dalam kamar. Dia membawaku masuk ke dalam kamarnya.
Melva menyuruhku duduk dan mendekatkan mulutnya persis depan telinga, "Mama mau periksa?"
Aku sangat kaget saat pertanyaan itu keluar dengan suara lembut dari mulut Melva. Ternyata dia lebih peka dari pada Ayahnya. Dia mengerti dengan apa yang aku inginkan.
"Melva punya uang. Mama periksa ya," ucapnya lagi.
Dia membuka laci lomari mengeluarkan sebuah celengan Ka'bah yang aku hadiahkan saat ulang tahun yang ke 10. Bak air hujan yang mengalir deras aku tidak bisa menghentikan air mataku mengalir saat melihat ketulusan dan kepolosan anakku.
Kaget bukan main saat isi celengan itu di keluarkan. Isinya di luar dugaan. Hampir 500 ribu. Bagaimana bisa Melva mempunyai tabungan sebanyak ini.
"Melva, uangnya banyak sekali? Dapat dari mana?"
Mulut Melva mendekat ketelinga, "Disekolah Melva gak jajan, Ma. Sengaja di tabung buat kita kabur."
"Melva!"
"Bercanda, Ma. Besok Mama periksa ya. Melva ikut."
Kenapa Melva bicara seperti itu. Apa dia mulai gak betah tinggal di rumah ini? Apa dia mulai merasa kalau Ayahnya bukan lagi Ayah yang baik.
Ya Tuhan. Kasian sekali Melva. Di usia sekecil ini dia harus menyaksikan perang antara kedua orang tuanya. Sehingga membuat dirinya mempunyai niat untuk membawaku kabur. Mungkin dia sudah tidak tahan melihat Mas Hendra selalu main tangan setiap kali marah. Lain lagi dengan sindiran Ibu yang sangat menyakitkan.
Melva menyeka air mataku. Dia tersenyum sambil menggeleng. Tangan mungilnya membentuk senyum di kedua pipiku.
Lagi-lagi dia mendekatkan mulutnya ke ketelinga, "Besok setelah pulang sekolah, Melva anterin Mama kerumah sakit ya. Sekarang, Mama istirahat di disini, dedek bayinya biar, Melva yang jaga."
Melva, gadis sekecil ini seolah memahami semua penderitaan yang aku alami. Cara dia mengajakku berbicara berbeda dengan yang di lakukan Mas Hendra. Setiap kali berbicara dia selalu melekatkan ujung bibirnya ke telinga.
****
Melva menyodorkan selembar kertas kecil ke meja dokter. Entah apa yang dia tulis, karena, Melva tidak memberiku kesempatan untuk membacanya. Setelah membaca dokter itu tersenyum haru pada gadis kecil yang duduk di sampingku.
Dokter itu berdiri mengambil sebuah senter kecil dan mulai memeriksa telingaku. Setelah itu, Dokter menyuruh seorang perawat untuk mengajakku ke sebuah ruangan khusus yang hanya aku sendiri yang bisa masuk.
Disebuah kotak kecil yang hanya muat satu orang perawat menyuruhku duduk setelah menempel beberapa alat di telinga.
Di ruangan lain salah satu petugas memberiku instruksi untuk mendengarkan beberapa macam bunyi suara. Jika suaranya jelas aku harus memperlihatkan dua jempol jika tidak cukup satu Kompol dan jika tidak ada suara sama sekali cukup diam saja.
Setelah mengikuti beberapa rangkaian tes, perawat itu membawaku ke rumah dokter THT lagi.
Dokter muda itu membaca hasil pemeriksaan, sesekali sambil melihat, Melva lalu padaku. Dia berdiri mengambil sesuatu dari rak yang ada di belakangnya.
Dokter spesialis THT memberikan sebuah alat kecil pada Melva untuk di pasangkan ketelinga. Dengan cepat Melva memasangnya.
"Ibu sudah bisa mendengar suara saya dengan jelas?"
"Bisa, Dok."
"Alhamdulillah."
"Ada apa dengan telinga saya, Dok? Rasanya sakit sekali suka ada suara dengung bahkan saya tidak bisa mendengar dengan jelas."
"Ada robekan pada selaput tipis membran timpani di telinga, Ibu. Sehingga hal ini membuat pendengaran, Ibu, menurun. Kejadian seperti ini di terjadi jika terkena benturan keras atau suara yang begitu keras."
Seketika tubuhku jadi lemas saat Dokter mengatakan pendengaranku terganggu. Hari itu, Mas Hendra menamparku begitu keras sehingga kepala terbentur ke dinding, aku merasakan sakit yang luar biasa.
"Mama.." Melva memegang tanganku dia tersenyum.
"Dokter.. alatnya bagus. Melva beli untuk Mama" ucap, Melva membuat, Dokter itu tersenyum haru sambil membendung butiran kristal.
"Ini hadiah buat, Melva, karena Melva sudah menjadi anak yang baik buat, Mama."
"Sungguh? Ini hadiah buat Melva?" Melva langsung berdiri dan memeluk, Dokter itu dengan erat, dia menangis di pelukannya.
"Ada bonus lain. Pemeriksaan ini gratis karena kamu sudah jadi pahlawan kecil buat, Mamamu," tambahnya lagi yang membuat Melva semakin bahagia dan memeluknya sekali lagi dengan erat.
Aku yang menyaksikan semua ini tidak bisa menyembunyikan rasa haru yang, Melva ciptakan. Dokter itu berusaha tegar sambil mengelus pundak Melva dengan lembut.
Netraku menangkap sebuah kertas kecil yang, Melva, berikan pada, Dokter tadi. Sebuah pesan singkat yang meluluhkan seluruh raga yang aku punya, bukan hanya aku orang lainpun akan tersentuh saat membacanya, tangisanku semakin jadi.
__Pak Dokter. Kata Google, Mamaku tuli. Tolong periksa dan bicaralah dengan lembut karena, Mama, tidak butuh di bentak seperti yang, Ayah dan Nenek lakukan setiap kali bicara sama Mama._ _
Aku merasa wanita paling beruntung mendapatkan malaikat kecil tak bersayap seperti Melva. Dia begitu memperhatikanku. Bahkan dia lebih dulu tau kalau pendengaran Mamanya sedang terganggu makanya setiap kali dia bicara selalu mendekatkan mulutnya ke telinga.
"Melva.. terima kasih sayang," ucapku sambil terisak.
Melva menyeka air mataku, senyumnya begitu indah.
"Jangan menangis lagi. Sekarang, Mama sudah bisa mendengar."