Aku Tidak Bisa Mendengar
Mas Hendra memaksaku untuk masuk ke dalam mobil. Dari spion mobil terlihat Melva mengejar dia berteriak tapi kenapa aku tidak mendengar teriakannya. 

Ada apa ini. Kenapa aku juga tidak mendengar kemarahan Mas Hendra yang jelas-jelas dia sedang bicara padaku. Apa yang terjadi denganku. Rasanya telingaku sangat sakit.

"Yah, telingaku sakit, aku tidak bisa mendengar apa-apa, kepala juga sakit."

"Sudah jangan banyak alasan! Kalau Mama nurut ini gak akan terjadi," ucapnya yang tidak bisa aku dengar sama sekali. Mas Hendra menghidupkan mesin mobil malaju cepat menuju sebuah klinik.

Di Klinik Mas Hendra terus saja memegang tanganku dengan erat. Mungkin dia takut kalau aku sampai lari. 

Kali ini aku merasa dengungan yang cukup mengganggu. Mas Hendra terlihat berbicara dengan seorang dokter cantik yang usianya tidak jauh beda dariku. Entah apa yang mereka bicarakan aku tidak bisa mendengar.  Dokter itu mengangguk lalu menyuruhku untuk berbaring. 

Sakit rasanya.. sakit sekali saat benda itu masuk ke dalam. 

"Dok. Telingaku sakit, aku juga tidak bisa mendengar dengan jelas," ucapku berharap Dokter mau memeriksa telingaku.

"Nanti, Ibu Diana periksa ke THT ya," jawabnya yg hanya bisa aku mengerti lewat gerak bibirnya.

Dokter cantik ini hanya melakukan tugasnya, memasukkan benda kecil ke dalam rahim. Aku harap saat mau memasukkan benda kecil ke dalam rahim, Dokter ini dapat mengetahui kalau aku sedang hamil, dan mengurungkan niatnya. 

Apa yang aku harapkan tidak terjadi, Dokter itu terus saja melakukan tugasnya tanpa mengatakan sesuatu. Kali ini aku hanya bisa pasrah, merasakan sakit yang luar biasa saat benda kecil itu hendak di tempelkan, di tambah rasa sakit di kepala seperti di rajam.

Kenapa kamu tega melakukan ini Mas. Kenapa kamu tega padaku. Aku lagi hamil Mas. 

***

Seandainya Melva tidak ada tentu aku sudah pergi meninggalkan rumah tangga yang aku bangun dengan cinta namun isinya bagai Neraka. 

Sebelum kami menikah Mas Hendra sosok pria yang bertanggung jawab dan romantis dia sosok penyayang. Sedikitpun dia tidak pernah membuatku menangis. Sehingga aku bertekad meyakinkan kedua orang tuaku untuk menerima lamaran dari Mas Hendra. 

Awal kami menikah dan tinggal di sebuah kontrakan kecil Mas Hendra masih sosok pria yang aku kagumi perhatiannya semakin dalam apalagi saat hamil anak pertama seakan aku menemukan surga yang tidak pernah aku dapatkan. 

Namun... Semua berubah saat Bapak mertua meninggal dan kami harus pindah kerumah Mas Hendra menetap di rumah mertua atas permintaan Ibunya. 

Perhatian Mas Hendra mulai berkurang. Kata-katanya mulai kasar, bahkan dia sering melayangkan tangannya saat tidak suka dengan apa yang aku lakukan. 

Entah apa yang terjadi aku sendiri tidak tau. Aku merasa Ibu mertua juga tidak suka dengan kehadiranku. 

Gaji yang sebelumnya sepenuhnya dia serahkan padaku kali ini harus berbagi dengan Ibu. Kata Mas Hendra Ibu lebih berhak mengatur keuangan di rumah ini karena Ibu sudah berpengalaman. Itu tidak jadi masalah selama jatah untuk jajan Melva masih ada. 

Sebenarnya aku tidak pernah punya masalah sama Ibu, tapi entah kenapa setiap kali, Ibu memandangiku seakan ada bara api yang menyala.


"Jadi istri itu harus kreatif jangan mengandalkan suami terus."

Kata Ibu, saat aku sedang bermain dengan Melva kecil.

"Maksud, Ibu apa?"

"Melva biar Ibu yang jaga. Kamu kerja cari uang. Kasian suamimu banting tulang sendiri."

Ibu menyuruhku kerja! Tumben? Dulu saat Bapak masih hidup Ibu yang melarang aku untuk tidak bekerja dan fokus menjaga Melva, mengantar Melva ke sekolah, menjaga rumah dengan baik. Kenapa sekarang Ibu berubah pikiran?

"Kenapa Ibu menyuruh Diana untuk kerja. Bukannya dulu Ibu melarang Diana untuk tidak bekerja."

"Kalau di kasih tau orang tua itu nurut. Jangan bantah!"

"Ya ampun, Ibu, siapa yang bantah. Melva kamu masuk ya." Aku menyuruh Melva masuk ke kamar karena merasa suasana sudah memanas, Ibu mulai memasang wajah sinisnya. 

"Kamu tuh kerjaannya cuma main terus sama Melva. Percuma dong punya ijasah sarjana kalau tidak berguna." 

"Masya Alloh, Ibu. Kenapa bicara begitu?" berusaha supaya nadak tidak keras melebihi nada Ibu. 

Asal Ibu tau dulu aku wanita karir jabatanku di kantor lebih bagus dari Mas Hendra. Aku berhenti bekerja juga karena Mas Hendra yang menyuruh karena saat hamil Melva kandunganku sangat lemah. 

"Kalau begitu cari kerja. Jadi wanita jangan bergantung pada suami terus!" 

Aku menarik nafas panjang berusaha untuk tidak melawan pada wanita yang sudah masuk usia 55 tahun, "Baiklah, Buk. Diana kerja di rumah saja sambil ngurus Melva dan Ibu."

"Mau kerja apa?"

"Buka ketring juga bisa. Diana, juga bisa jahit nanti, Diana, buat sesuatu yang punya nilai jual tinggi."

"Percuma dong. Ijasah serjanamu gak di pakek juga. Buang-buang uang aja. Ibu mau kamu kerja di kantor."

Mendengar perintah Ibu aku hanya bisa menelan ludah. Ada apa dengan ibu mertuaku?

"Baiklah. Dian bicara dulu sama Mas Hendra." Jawabku sambil meninggalkan Ibu. 

"Hendra pasti setuju kalau Ibu yang bicara."

Setelah aku bicara sama mas Hendra tentang permintaan Ibu yang  menginginkanku untuk bekerja di luar rumah jawabannya cukup mengejutkan. 

"Ya. Mama harus ikut kerja. Semakin hari pengeluaran kita semakin banyak, di tambah lagi Melva sudah masuk sekolah.. harus bayar SPP dan biaya lainnya. Kalau hanya Ayah yang kerja nanti tidak mencukupi."

"Apa itu alasan yang tepat, Yah? Mama lagi hamil muda loh, Yah."

"Mama ini gimana sih. Kok masih mempertanya pendapat, Ayah. Kalau gak mau kerja ya sudah. Gak usah di ributkan!"

Ada apa dengan suamiku? 
Kenapa dia membentak ku dengan alasan yang tidak jelas?

"Baiklah. Kalau Mas Hendra menginginkanku bekerja aku akan kerja. Mulai besok aku cari kerja."

"Bagus. Hamil bukan jadi alasan. Banyak wanita di luar sana bekerja dalam keadaan hamil."

Aku hanya menelan ludah, menarik nafas panjang sambil keluar  menuju dapur, menyibukkan diri dengan mencuci piring yang sudah bersih, menyapu lantai yang tidak kotor. 

Aku menangis. Seharusnya aku bahagia, sudah lama aku juga menginginkan bekerja lagi karena merasa jenuh tinggal di rumah sambil mendengarkan sindiran dari Ibu yang hampir menjadi sarapan setiap pagi, tapi entah kenapa hari ini aku merasa tidak rela saat Mas Hendra dan Ibu seakan memaksaku bekerja.