"Ada apa, Yah?"
Mas Hendra langsung menarik paksa tanganku keluar dari kamar Malva. Entah apa yang membuat Mas Hendra terlihat begitu marah. Kemarahannya membuatku takut.
"Ada apa, Yah?"
"Jawab jujur siapa yang telah mengambil kalung, Ibu!!"
"Maksudnya apa, Yah? Kalung siapa!?"
"Kalung, Ibu hilang! Lihatlah, Ibu di kamar terlihat sedih karena kalung peninggalan, Bapak ada yang mengambil dari tempatnya!"
Cara Mas Hendra membentak menunjukkan kalau dia sedang menuduhku. "Ayah menuduhku? Tega sekali kamu, Yah!"
"Aku tidak menuduh hanya bertanya!" bentaknya
"Itu tuduhan, bukan pertanyaan! Hehmm anak kecilpun tau kalau, Ayah sedang menuduhku."
"Di rumah ini hanya ada kalian bertiga."
"Tega kamu, Yah. Menuduhku mencuri. Mama gak serendah itu sampai mau mengambil perhiasan, Ibu," belaku dengan tegas sambil masuk ke kamar Ibu.
Di kamar, Ibu terlihat menangis sambil memeluk benda kecil berwarna merah tempat perhiasan.
"Kalung, Ibu, hilang dimana?"
Sambil menyeka air matanya Ibu berdiri, tatapan matanya menunjukkan kalau dia juga menuduhku.
"Mungkin Ibu salah menaruh. Apa sudah di cari di semua tempat?"
"Kamu menuduh Ibu berbohong? Hiks.. hiks.. hiks.. Hendra lihat istrimu, dia menuduh Ibu lupa menaruh."
"Bukan itu maksud, Diana, Bu."
"Lalu apa!!? Sudahlah kamu memang menantu yang paling menyebalkan. Keluar! Hendra, bawa istrimu keluar dari kamar, Ibu!!" teriaknya sambil mengeluarkan air mata buaya
Mas Hendra langsung mendorong tubuhku ke luar. Dia menatapku aneh. Memperhatikan semua seluruh tubuh dari bawah sampai atas, dari samping kanan lalu ke samping kiri. Perlahan dia membuka helaian rambut yang menutupi telinga.
Saat kedua matanya melihat benda kecil di telinga dia langsung mengambil benda kecil yang terpasang di telinga kiri tanpa minta izin padaku.
"Ini apa!? Mama beli dimana? Dapat dari mana uang. Jawab!? Oooh, Ayah mengerti jadi..."
"Ayah, jangan menuduhku sembarangan!" sekatku. Mas Hendra tersenyum sinis lalu tertawa sendiri sejurus kemudian tangannya mulai tinggi siap mendarat namun teriakan, Melva mampu menghentikannya.
"Ayah, cukup!!! Jangan sakiti, Mama lagi!"
Melva berdiri di tengah-tengah kami, kedua tangannya di rentangkan lagaknya sudah seperti pahlawan kecil yang melindungi orang dari serangan monster jahat.
"Cukup, Yah. Jangan sakiti, Mama terus. Mama gak salah!"
"Bagus, anak kecil kau ajari melawan!" Mas Hendra bertepuk tangan sendiri, lalu menyeret tubuh mungil Melva ke samping.
"Asal kamu tau, Mama itu telah mencuri perhiasan, Nenek. Lihat dia beli benda yang tak berguna seperti ini," tuduh Mas Hendra. Melva langsung mengambil benda itu dari tangan Mas Hendra dan memasangkan ke telingaku lagi.
"Asal, Ayah tau, Mama menggunakan benda itu karena, Ayah yang telah membuat, Mama kesulitan untuk mendengar," teriak Melva dengan keras. Karena teriakan, Melva, Ibu langsung keluar dari kamarnya.
"Melva sudahlah, Nak. Percuma dijelaskan."
"Tidak, Ma. Ayah harus tau. Sudah cukup Melva melihat Mama menderita."
Sifat keras kepala Melva tidak bisa aku hentikan. Dengan gamblang dia menceritakan semua yang terjadi di rumah sakit, Melva juga menceritakan kalau alat pendengar itu hadiah dari Pak Dokter karena, Melva sudah jadi anak yang baik.
Mendengar cerita Melva, Mas Hendra dan Ibu saling pandang lalu mereka ketawa dengan keras. Beberapa menit kemudian wajah kedua makhluk satu darah itu berubah jadi sinis. Mas Hendra bertepuk tangan.
"Hebat. Pintar sekali kamu berbohong, Nak. Siapa yang ngajarin?"
"Siapa lagi kalau bukan, Mamanya," jawab Ibu lebih sinis."
"Nenek, diamlah!"
"Oh, jadi sekarang kamu berani membentak, Nenek. Lihatlah Hendra anak sulungmu sudah mulai berani persis seperti, Mamanya."
"Apa yang kamu ajari sama anak kita!"
Mas Hendra mendekat, aku mundur beberapa langkah. Terdengar suara tangisan, Melvin segera aku masuk ke kamar dan mengambilnya dari tempat tidur.
"Ajari istri dan anakmu sopan santun, Hendra!" Ibu sengaja berteriak agar aku mendengarnya.
Kurang sopan apa selama aku ada di rumah ini, sudah cukup aku mengalah. Sedikitpun Ibu mertua itu tidak pernah menghargai ketulusan yang aku punya.
Dengan suka rela aku mendengar bahkan seperti sarapan setiap hari ocehan yang keluar dari mulut seksi Ibu mertua, aku tampung dengan harapan suatu hari nanti dia akan menyadari jika menantunya ini patut dia hargai dan di hormati.
Mas Hendra. Selama tinggal di rumah ini dia seakan tak peduli dengan cinta yang pernah dia berikan padaku dulu. Baginya, Ibu adalah satu-satunya orang yang harus dia perhatikan. Dia lupa kalau sekarang hidupnya sudah terikat oleh janji pada Tuhan untuk menjaga istri dan kedua anaknya.
"Nenek, yang harus belajar menghargai, Mama. Jangan bisanya membuat Mama sedih terus," teriak Melva lebih berani, "dan Ayah paling tidak beri, Mama sedikit senyuman supaya, Mama bahagia."
"Kurang ajar," PLAKKK tamparan keras mendarat di pipi gadis kecilku. Melva menangis.
"Ayah!! Apa yang kamu lakukan. Ayah telah menampar anak kita!" teriakku yang langsung keluar dari kamar..
Terlihat dengan jelas ada raut penyesalan di wajah Mas Hendra, dia langsung memeluk Melva.
"Maafin, Ayah, Nak. Aya gak sengaja," ucapnya penuh penyesalan.
"Lihatlah, Ibu. Sifat apa yang, Ibu tanamkan pada suamiku, pada Ayah anakku, sampai dia tega menampar anaknya sendiri? Apa, Ibu puas dengan semua ini? Sebenarnya apa yang Ibu inginkan dengan pertengkaran ini? Apa, Bu, apa!?" teriakku yang melupakan batasan sebagai menantu dan anak.
"Kenapa kami salahkan, Ibu? Yang salah itu kamu yang sudah mengajari Melva jadi pembangkang!" jawab, Ibu lebih keras dan tidak mau kalah.
"Bagus! Semua ini terjadi salahku. Apa kalian tidak sadar didikan apa yang kalian perlihatkan setiap hari pada anak kecil itu. Sebuah kekerasan."
"Diana!!!" Mas Hendra berdiri, kali ini dia menatapku lebih tajam, kemarahannya sedang memuncak, dia tidak terima aku membentak Ibu.
"Selama ini sudah cukup batinku tersiksa. Bukan hanya batin tapi seluruh raga yang aku punya sudah lelah menghadapi ketidak adilan ini! Ayah sudah keterlaluan, perbutana Ayah sudah tidak bisa aku maafkan. Lebih baik aku keluar dari rumah ini!" ucapku sambil menahan sesegukan.
Melvin menangis lagi, sepertinya dia tidak bisa tidur karena mendengar keributan yang kami ciptakan.