Tahun 1814 di China terdapat armada perang terkuat yang bernama armada Beigung dari dinasti Qing yang dipimpin oleh Laksamana Qu Sheng.
Mengetahui informasi bahwa Indonesia pada saat itu bernama Hindia Belanda atau dalam bahasa Belanda disebut Nederlands Indie terdapat banyak rempah-rempah untuk bisnis maka Qu Sheng mengalihkan fungsi kapal perangnya menjadi kapal dagang dan mengutus seorang komandan kapal dari armadanya yang terkenal yaitu Laksamana Ding Qu.
Perjalanan ke Hindia Belanda sangat berat dirasakan karena misi yang dijalani adalah misi berdagang bukan berperang sehingga tidak ada satu pucuk senjata pun yang difungsikan di kapal tersebut.
Memasuki laut China Selatan menuju laut Natuna di koordinat 3°28'30" LU - 105°07'12" BT kapal yang dipimpin Ding Qu bertemu dengan armada kapal patroli Belanda dan tentu saja karena waktu itu Belanda menguasai Hindia Belanda (Indonesia) tentunya tidak ada toleransi bagi negara lain untuk masuk ke wilayah jajahan mereka.
Laksamana Ding Qu menjelaskan pada awak kapal patroli Belanda kalau dia dalam misi perdagangan bukan misi perang meskipun ia memasuki perairan wilayah jajahan Belanda dengan kapal perang.
Sayangnya pihak kapal patroli Belanda tidak begitu saja percaya. Kapal Ding Qu pun diperiksa, awak serta laksamana kapal tersebut pun disiksa juga diinterograsi.
⚓⚓⚓
Januari 2020.
TNI AL mendapat laporan dari nelayan setempat bahwa ada penangkapan ikan secara ilegal di laut Natuna yang diduga dilakukan oleh kapal ikan dari negara lain.
Mengetahui informasi intelijen tersebut, Lanal Ranai segera melaporkan ke pimpinan atas yaitu Lantamal IV Tanjung Pinang.
Menginformasikan ke kapal patroli yang pada saat itu sedang melaksanakan tugas patroli di sekitar wilayah Natuna yaitu KRI Krait-827 yang dikomandani oleh Mayor Laut (P) Setiawan Arie.
Mendekati koordinat yang diberikan tiba-tiba langit menjadi gelap dan angin berubah kencang serta berkabut, tapi situasi dan kondisi seperti itu tidak menyurutkan KRI Krait-827 untuk kembali ke pangkalan, mereka tetap berlayar menuju koordinat yang diinformasikan.
Beberapa saat setelah kabut mulai menghilang tampak sebuah kapal laut sedang berlayar menggunakan jenis layar tradisional layaknya kapal dari zaman kerajaan.
Melihat kapal itu, tentu saja membuat sang komandan dan seluruh awak kaget, bingung dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. KRI Krait mendekati posisi kapal misterius yang tampak kosong itu.
Mayor Setiawan memberi perintah pada dua orang anggotanya untuk memeriksa kapal misterius di depan mereka.
Sersan Chairul dan Kopral Tobing bersiap memeriksa.
“Hati-hati, siagakan senjata kalian!” Mayor Setiawan memperingatkan.
“Siap!” jawab kedua anggotanya serempak, mereka menuju kapal kuno itu dengan berbekal senjata dan handy talky sebagai alat komunikasi.
Mayor Setiawan memerhatikan kedua ang-gotanya yang sudah menapakkan kaki di dek kapal misterius yang terkesan kuno namun memiliki ukuran yang cukup besar.
Di belakang Mayor Setiawan, berdiri wakilnya yaitu Kapten Putra yang menjabat sebagai perwira pelaksana di KRI Krait tersebut.
“Ini seperti kapal perang kuno, ya, Sun,” ucap Mayor Setiawan mencoba mengindentifikasi melalui matanya yang menatap tajam.
“Siap!” balas Kapten Putra. Lalu keduanya terus menatap kapal misterius di mana dua orang ang-gotanya sedang memeriksa masuk ke dalam.
Lama-kelamaan situasi semakin terasa aneh, langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba menghitam. Gemuruh angin menghantam ombak membuat kulit menggigil seketika.
“Rus! Coba panggil Tobing melalui radio pemanggil!”
“Siap!”
Serma Rusdi mencoba memanggil kedua rekannya dengan alat penghubung komunikasi handy talky, mencoba dan terus mencoba, tapi tak ada balasan suara. Pelipis Rusdi mengalirkan keringat dingin, demikian pula Mayor Setiawan dan Kapten Putra yang mulai resah meski tak terlalu menunjukkannya.
“Sudah setengah jam mereka tak juga kembali atau memberi kabar!” pekik Mayor Setiawan.
Kapten Putra menoleh kanan-kiri, memandangi lautan yang mengelilingi kapalnya, desiran halus menyusupi hatinya. Ia jelas merasa keadaan semakin aneh, tak ada satu kapal lain pun yang melaluinya, hanya ada kapal KRI Krait dan kapal kuno misterius di depannya saja di perairan Natuna.
“Ini masih di Natuna kan? Kenapa aku merasa ini seperti di ujung dunia ...,” gumam pelan Kapten Putra.
Mata Kapten Putra terbelalak dengan apa yang dilakukan komandannya ... Mayor Setiawan bersiaga dengan senjatanya.
“Sun, kamu tetap di kapal!” perintah Mayor Setiawan ke Kapten Putra.
“Siap! Mentor mau ke mana?”
“Aku akan ke sana!” bulat tekad Mayor Setiawan untuk memeriksa keadaan. Bersama dengan lima orang anggota lainnya, mereka menuju kapal kuno misterius itu.
Ada firasat tak enak Kapten Putra saat komandannya meninggalkan kapal, meski ada rasa salut pula pada abang seniornya yang terkenal pemberani dan juga sangat memerhatikan kesejah-teraan anggotanya itu.
“Hati-hati, Tor!”
Rasanya, napas Kapten Putra tertahan saat pandangan matanya mengiringi kepergian Mayor Setiawan dan kelima orang anggota kapal.
Tak hanya Kapten Putra, Lettu Alvin yang mengawasi seorang anggota yang mengoperasikan radar juga merasa situasi aneh.
“Radar ini sama sekali tidak bisa mengirimkan dan menerima sinyal elektromagnetik, mohon izin!”
Apa alat radar ini rusak? Sangat tiba-tiba, sungguh aneh!
Tangan Alvin menjadi dingin saat menemui hal yang tak biasa terjadi secara bersamaan dengan menghitamnya langit di atas perairan Natuna.
Bersambung