Saat kegiatan sore, Setiawan menarik lengan Ginting dan mengajaknya untuk berbicara empat mata.
“Ada apa ini?” protes Ginting.
“Ting, kamu ini! Kenapa sih cerita hal begitu ke David. Itu malah semakin membuatnya paranoid!”
Ginting menggaruk-garuk pelipisnya. “Ada apa sih, Set? Aku bingung.”
“Lihat David, sekarang sering melamun, nggak nafsu makan, lama-lama dia bisa mati beneran karena kecemasannya!”
Ginting masih bingung.
“Maaf, Sob, kalau ada kata-kataku yang salah, tapi suwer aku nggak tahu apa masalahnya?” Ginting melihat wajah cemas Setiawan ke David, mereka bertiga sudah kenal sejak awal pendaftaran karena sama-sama daftar dari Jakarta meski Ginting bukan asli Jakarta, tetapi ia ikut keluarganya setahun di Jakarta sebelum akhirnya mendaftar kadet di AAL.
Akhirnya Setiawan menceritakan apa yang menjadi kecemasan David. Ginting pun tercengang.
“David bertemu taruna merah?”
“Ssstt, jangan keras-keras.”
Kedua tangan Ginting bersedekap sambil mengelus-elus bulu halus di tangannya yang mulai mengisyaratkan perasaan merinding. “Ih, serem.”
Setiawan menghela. “Aku sih nggak mau berpikir yang enggak-enggak, apalagi hal mistis atau sekadar mitos. Realita saja hidup itu. Kalau karena hal yang nggak nyata dibawa ke dalam kenyataan, lama-lama susah sendiri. Ya seperti David ini sekarang resah sendiri. Kamu, Ting, janganlah lagi cerita hal-hal seperti itu ke dia, nanti dia akan semakin percaya dan kepikiran, stres nanti dia!”
Setiawan menoleh kanan-kiri dan tersadar ternyata ada Bara yang berjongkok sedang membersihkan rerumputan di sekitarnya. Tak sengaja mendengarkan pembicaraan Setiawan dan Ginting. Setiawan pun terkejut mendapati Bara ada di tempat itu, ia yakin Bara cukup jelas mendengarkan ceritanya. Namun ia berharap Bara cuek seperti biasanya. Setelah itu Setiawan pun berlalu, sebelum benar-benar berlalu, dengan bahasa isyarat, Setiawan meminta Ginting untuk tak menceritakan pada sesiapa pun.
Tak seperti yang diindahkan, Ginting yang menganggap apa yang dialami David itu cukup serius akhirnya ia bercerita ke beberapa orang kawan sekamarnya. Bukan bermaksud bergunjing, hanya sekadar tukar pikiran, namun sayangnya Ginting bercerita bukan pada orang yang tepat. Di antara teman sekamarnya, ada yang tak begitu suka dengan David─Fransyadi. Fransyadi atau Adi sempat bersitegang dengan David. Adi yang lulusan dari SMU Taruna pernah tersindir dengan ucapan David.
Memanglah David kadang tak terkontrol kalau bicara, hampir sering mengandalkan emosi daripada etika saat berbicara. Ketika itu David berkata kalau lulusan dari SMU Taruna itu cenderung meng-andalkan uang. Adi tak terima, meski memang ia anak seorang pejabat, tapi kemampuan Adi mumpuni sebagai seorang taruna, masuk dalam peringkat atas bersama Setiawan. Adi mengejek kalau David hanya iri padanya. Akhirnya persinggungan itu berlanjut hingga jarangnya mereka bertegur sapa. Menyebarlah berita yang sedikit dilebih-lebihkan dari mulut Adi.
“David lihat penampakan taruna merah! Tanda-tanda sebentar lagi dia angkat kaki dari AAL! Sial nasibnya!”
Kasak-kusuk ini sampailah di telinga David, pemuda yang berasal dari keluarga menengah ke atas itu tersulut emosi, yang ia tahu, ia hanya cerita hal itu pada satu orang, yaitu Setiawan.
Setelah kegiatan basket usai, dengan geram David mendatangi Setiawan. Tatapan matanya kesal berat, emosi pun terlihat jelas sudah menguasai pikirannya.
“Aku mau bicara!” ucapnya tajam.
Setiawan cukup peka merasa David menda-tanginya dalam keadaan emosi. “Ada apa?”
“Nggak usah tanya-tanya! Pokoknya aku mau bicara, sekarang!”
Napas memburu terembus dari hidung David yang memerah. Setiawan mengikuti langkah kawan satu letingnya itu ke arah belakang gedung Maspardi. Dirasa cukup sepi dan tak ada yang berlalulalang, David tanpa aba-aba spontan mendorong keras tubuh Setiawan ke dinding gedung.
“Bajingan kamu, Set! Aku nggak nyangka mulutmu itu berbisa!”
Setiawan membela diri. “Vid! Apa-apaan ini! Kamu tenang dulu, kita bisa bicara baik-baik.”
“Bicara baik-baik, bicara baik-baik! Nggak perlu!”
“Vid, tenang dulu, ada apa sebenarnya?”
“Brengsek kamu, Set! Ternyata kamu teman yang nggak bisa dipercaya! Aku hanya cerita sama kamu soal taruna merah itu, tapi kenapa kamu cerita ke orang-orang! Heh!”
Setiawan tersentak kaget.
“Gara-gara kamu, orang-orang yang nggak suka padaku jadi tertawa karena aku akan kena sial dan keluar dari sini! Kamu senang, ya! Aku nggak nyangka orang baik-baik kayak kamu … orang yang kunilai baik, bisa setega ini sama kawan!******kamu!”
Setiawan melepaskan napas. “Vid, dengarkan aku dulu … aku nggak bermaksud─”
“Berarti kamu memang mengakui kan! Kalau kamu yang membongkar rahasiaku!”
“Vid, maafkan aku, aku tak bermaksud, aku hanya … cerita sama Ginting saja!”
Wajah David yang masih emosi semakin masam. “Kalian berdua sama saja!” kepalan tangan David sudah menuju wajah Setiawan, akan tetapi seseorang dari arah belakang menahannya.
“Vid! Sudah, sudah!”
David menoleh, ternyata Bara. Namun ia kepalang emosi hingga terus berusaha ingin menghantam wajah Setiawan.
Setiawan bukannya tak dapat melawan, tapi ia sadar hal itu memang kesalahannya meski ia tak bermaksud demikian.
“Vid, sudah!” Bara memperingatkan lagi. David tetap pada emosinya hingga akhirnya Bara menarik kuat David meninggalkan Setiawan.
Bersambung