“Duduk di sini, Neng. Deket sama Abang,” pinta Sujiwa. Dia yang hanya mengenakan sarung sebagai bawahan sementara tubuh bagian atasnya tidak tertutup apa-apa.
Ragu, Marjinah mendekat.
Petir menggelegar, seperti akan meruntuhkan atap pondok.
Marjinah menjerit, reflek dia mendekat dan kini duduk di samping sang lelaki. Tubuhnya merapat dan mendekap erat tubuh Sujiwa. Dia kaget dan takut terhadap petir yang baru saja menyambar.
Dalam gelap, lelaki itu tersenyum, menyeringai.
“Neng, takut petir?” tanya Sujiwa. Pelan, Marjinah mengangguk.
Jarak yang teramat dekat, hingga tubuh keduanya menempel, membuat lelaki itu dapat menghidu aroma tubuh dan sisa parfum yang dikenakan Marjinah. Membuat sebuah sensasi tersendiri bagi si lelaki, lebih tepatnya, kini dia tengah di puncak nafsu. Dan, akalnya tengah berpikir bagaimana caranya untuk bisa mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Tenang, selama Abang ada di sisi Eneng, tidak ada yang perlu ditakutkan,” ucapnya sambil mencoba menekan nada yang dikeluarkan.
“Abang, kenapa?” tanya Marjinah menyadari sesuatu.
“Ah, enggak. Mungkin sedikit demam karena kehujanan,” ucap Sujiwa beralasan.
Marjinah kembali memeluk erat tubuh lelaki bertubuh tegap di hadapannya itu. Gadis itu sepertinya tak menyadari bahwa bagian depan tubuhnya menempel erat di dada Sujiwa. Mengusik sebuah fantasi liar di otak lelaki itu.
“Tubuh Abang hangat,” kata Marjinah sambil menyandarkan kepalanya di ceruk leher Sujiwa. Mencari sebuah kenyamanan dan kehangatan dalam dekapan lelaki pujaan hatinya itu.
Pelan, Sujiwa mengangkat dagu sang gadis dengan tangan kanannya. Marjinah yang tak tahu maksud Sujiwa hanya menurut begitu saja.
Jarak yang teramat dekat, membuat dua insan itu bisa merasakan hembusan napas satu sama lain. Hujan masih saja turun di luar, meski tidak sederas beberapa waktu yang lalu tapi cukup mendukung suasana pondok yang hanya diterangi cahaya lampu temaram.
“Ba—Bang,” panggil Marjinah gugup manakala menyadari jarak wajahnya dengan Sujiwa semakin dekat. Embusan napas Sujiwa yang menampar halus pipinya, membuat wajah Marjinah bersemu merah.
Pelan, bibir sang lelaki akhirnya menyapu dalam bibir Marjinah.
Dari bibir, dengan cepat kedua tangan Sujiwa itu bergerilya, menjelajah setiap inchi tubuh indah si gadis. Napas keduanya memburu, laksana tengah dikejar sang pemburu.
Hingga akhirnya, lelaki itu sampai pada titik terakhir dari benteng pertahanan si gadis.
“Ja—jangan, Bang,” ucap si gadis takut dan gugup.
“Ayolah, Neng. Abang janji, akan terus mencintai Eneng”
Si gadis menggeleng.
Tidak kehilangan akal, si lelaki kembali berucap, “Ini … sebagai bukti bahwa Abang tulus mencintai Eneng, Abang juga berharap Neng bisa membuktikan bahwa perasaan Abang tidak bertepuk sebelah tangan.”
Si gadis tampak ragu, dia takut jika tidak dilanjutkan, Sujiwa benar-benar akan pergi meninggalkannya.
“Abang ... janji?” tanyanya ragu.
Lelaki itu mengangguk cepat dan mantap.
Pasrah, akhirnya sang gadis menyerahkan mahkotanya ke tangan lelaki pujaan.
Marjinah melenguh kecil, kala sebuah benda asing memaksa masuk ke dalam bagian sensitifnya. Ini ... sakit tapi juga nikmat. Sebuah sensasi baru yang belum pernah Marjinah rasakan sebelumnya.
Entah Sujiwa yang terlampau ahli atau memang Marjinah yang tak mengerti. Satu yang pasti, Sujiwa berhasil membuat kekasih hatinya itu melayang berkali-kali.
Malam itu, hilanglah sudah sesuatu yang seharusnya bisa dijaga sebelum nanti akhirnya diserahkan kepada yang berhak menikmatinya, sesuatu itu bernama kehormatan, hilanglah sudah demi nama cinta.
***
Pagi menjelang, suasana yang memang dingin semakin dingin.
Sepasang anak manusia itu terjaga setelah mendengar suara ribut dari luar, di jalan raya sedikit agak jauh dari pondok.
Sujiwa mengendurkan pelukan, dikecupnya pipi Marjinah. Si gadis mencoba tersenyum, meski masih terasa perih akibat perbuatan si lelaki semalam.
Cepat, Sujiwa mengenakan pakaiannya, kemudian mengintip melalui lubang di dinding ke arah jalan raya.
“Ada mobil pengangkut sayuran, Neng. Kita bisa menumpang ke kota,” serunya.
Marjinah bangkit dan menyambar pakaiannya satu persatu, dan segera mengenakannya. Sementara Sujiwa membereskan perlengkapan yang semalam dikeluarkan dan memasukkannya kembali ke dalam ransel.
“Bang. Kalo mereka dari desa sebelah, mereka tidak akan mengenaliku. Tapi, kalo berasal dari desaku, kita berdua bisa celaka,” ucap Marjinah takut.
“Neng, tunggu di sini, biar Abang periksa. Kalo nanti Abang kasih tanda, Neng segera ke sana, ya,” usul Sujiwa. Marjinah mengangguk.
Setengah berlari lelaki itu menghampiri mobil pick up pembawa hasil pertanian yang tengah parkir di tepi jalan tersebut.
“Jurig,” ucap salah satu lelaki yang tengah menunggui temannya mengganti ban.
“Permisi, Kang,” ucap Sujiwa setelah dekat.
“Oh, manusia,” ucap si lelaki tadi yang barusan bicara.
“Iya, Kang. Masih manusia. Kenapa ini, Kang?” tanya Sujiwa lebih jauh.
“Pecah ban,” ucap orang yang tengah duduk mengganti ban.
“Oh, Akang berdua ini, mau ke kota, kan?”
“Iya,” jawab lelaki yang berdiri.
“Eng, begini, Kang. Kalo boleh, saya dan teman ingin menumpang sampai ke kota,” ucap Sujiwa.
“Memang kamu ada temen?”
“Iya, Kang. Dia sedang istirahat di pondok di tengah kebun itu,” jawab Sujiwa sambil menunjuk ke pondok. “Dia sedikit sakit, karena kehujanan semalam.”
“Kok, bisa?”
“Motor kami kecelakaan, Kang. Kami kehujanan dan tidak bisa melihat jalan. Beruntung kami tidak apa-apa, hanya motor saja yang masuk ke jurang,” ucap Sujiwa berbohong mengarang cerita. “Boleh, ya, Kang. Teman saya itu butuh segera diobati.”
“Eng, ya bolehlah.”
“Terima kasih, Kang,” ucap Sujiwa kemudian kembali berlari ke arah pondok di tengah kebun.
“Bagaimana, Bang?” tanya Marjinah saat Sujiwa sudah kembali ke dalam pondok.
“Kayaknya, aman, Neng. Mereka tidak mengenali Abang. Abang juga belum pernah lihat muka mereka berdua. Kita bisa menumpang mobil mereka sampai ke kota. Ayo, Neng,” ajak lelaki itu.
Pelan, Marjinah mulai berjalan. Akan tetapi, langkahnya tertahan, perih di selangkangan, membuatnya tak leluasa untuk melangkah sebagaimana seharusnya.
“Sakit, ya, Neng?” tanya Sujiwa. Si gadis hanya mengangguk.
“Kalo begitu, sini Abang gendong,” tawar Sujiwa sambil sedikit merundukkan tubuh.
“Ah, gak usah, Bang. Aku masih bisa jalan sendiri, kok,” ucap Marjinah, dia risih jika harus digendong oleh lelaki tersebut. Hal yang sama sekali belum pernah terjadi dalam hidupnya.
Suara klakson dari arah jalan menyatakan bahwa si pemilik mobil tengah menunggu kedatangan mereka.
“Mereka butuh cepat, lo, Neng. Tar kita malah ditinggal,” sahut Sujiwa sedikit resah.
Mau tidak mau, akhirnya Marjinah terpaksa mau digendong belakang oleh Sujiwa. Ini yang memang diharapkan oleh sang lelaki, supaya bisa klop sama cerita yang ia karang dan katakan kepada pemilik mobil di pinggir jalan tadi.
“Buruan,” seru sang kenek yang berada di pinggir jendela mobil.
“I—iya, Kang,” ucap Sujiwa.
Wajah Marjinah yang tertempel di punggung Sujiwa, membuat kedua lelaki yang berada di dalam mobil tidak dapat melihat dengan jelas padanya.
“Temanmu itu, wanita, ya?” tanya si sopir saat menyadari bentuk tubuh yang tengah digendong oleh Sujiwa.
“Iya, Kang. Dia terpeleset, kakinya terkilir,” kata Sujiwa memberi alasan saat sudah mendekat pada mobil.
“Bisa kami lihat wajahnya? Karena, kata penduduk desa yang kami lewati, ada salah satu anak gadis di desa tersebut yang melarikan diri dari rumah.”
Deg.
Jantung sepasang anak manusia itu seperti mau lepas mendengarnya.
***
Baturaja, 25 Juni 2021