Mata Ze membulat, mengingat sosok pria yang ternyata orangtua pasien yang sedang ia rawat. Ia menundukkan wajah berharap pria yang kini di dekatnya tak mengenal dirinya walaupun kini ia memakai masker.
Teringat kemarin malam, Ze baru selesai tugas siang hingga petang, bergegas ke sebuah klub malam untuk meringankan penat serta beban pikiran yang menyiksa dengan minuman haram yang sejak awal kehancuran hidupnya ia kenal.
Mata Ze berkunang-kunang saat keluar dari klub, kepala pening tetapi tak menahan langkahnya menuju mobil dan mengendarainya, lalu sebuah mobil yang berada di depannya tak sengaja terserempet oleh mobilnya.
“Sorry Mas Bro! Ga sengaja!” teriak Ze membuka jendela mobil dengan tampang tak berdosa bahkan menyunggingkan senyum lebar.
Pengendara mobil yang ia tabrak pun membuka kaca jendela, menggelengkan kepala dan terus mengejar mobil Ze yang tak berhenti dan tak berniat sedikit pun untuk bertanggungjawab atau meminta maaf.
“Hei berhenti!” teriak pengendara pria yang mobilnya ditabrak, sudah tentu tersulut emosi ketika sang penabrak pergi begitu saja dengan tawa yang masih terdengar.
Hingga di salah satu tikungan, mobil Ze tersalip tak bisa berkutik. Maju akan nabrak, mundur pun sulit.
“Ya! Ketangkep deh! Amsyong!” rutuk Ze dengan keberanian dan urakan ketika minuman tanpa ia sadari membuat dirinya lebih berani dan berpikir lepas.
Seorang pria keluar dari mobil dan menggedor kaca jendela. Namun, Ze tak gentar, turun dari mobil dengan menampilkan senyuman.
“Mau meras wanita nih, pasti! Iya ‘kan?” tuduh Ze, jelas pria yang menabraknya kebingungan dengan tuduhan tak mendasari itu.
“Wanita aneh,” kata pria yang ditabrak Ze, pria itu pun menggelengkan kepala, memundurkan wajah ketika bau alkohol menguar ke indera penciumannya.
“Tanggung jawab atau setidaknya anda meminta maaf,” tekannya, “bukan lari dari tanggungjawab,” lanjutnya mendesak.
Ze tertawa, mendorong dada dengan mata menyorot tajam ke arah pria yang malah berekspresi tegang. Alis ia naik turunkan, seringai jahil pun tampak di sudut bibir tipis nan merah menggoda.
“Anda yang tanggung, saya yang jawab, caranya ....”
Ucapan Ze tergantung, secara cepat ia mendekatkan tubuh lalu memberikan kecupan di pipi dengan begitu berani setelahnya tertawa geli saat pria itu langsung mendorong tubuhnya.
“Hei! Jaga sikap anda!” protes sang pria dengan teriakan sangat lantang terdengar, tak terima dengan apa yang dilakukan Ze.
Sedikit kesal dengan penolakan pria yang ia kecup, Ze menutup telinga dengan kedua tangannya seraya membuka mulut dan berteriak.
“Tolong! Tolong! Tolong!” teriak Ze yang mengundang orang sekitar melirik ke mereka.
Mata pria yang ditabrak Ze membulat sempurna, “Wanita gila!” rutuknya murka.
“Tolong! Tolong!” teriak Ze lagi semakin histeris.
“Hei! Hei! Kenapa minta tolong?!” teriak pengendara yang diserempet oleh mobil Ze.
“Tolong penodongan, tolong!” teriak Ze semakin kencang.
“Innalilahi!” seru pria yang tak dikenal itu pun masuk ke mobilnya kembali dan meninggalkan Ze sendiri yang kini tertawa geli melihat ekspresi takut di wajah pria yang mobilnya tak sengaja tertabrak.
Tak berapa lama orang-orang menghampiri dengan posisi Ze yang masih tertawa geli melihat ekspresi pria yang tadinya ingin marah berubah panik. Lalu, membubarkan kerumunan setelah dirasa puas.
Ingatan yang membuat jantung Ze deg-degan, bagaimana kalau tahu? Ini tempat tugas, sudah pasti memalukan nantinya, Arghh! Ze tiba-tiba merasakan takut.
“Bagaimana keadaannya, Sus?” tanya pria yang belum dikenali Ze, membuyarkan lamunan Ze saat mabuk bercampur sedih mengingat mendiang bayinya yang belum pernah sekali pun ia gendong dalam dekapan, sekaligus takut akan perbuatan yang ia lakukan kemarin malam.
Posisi mata Ze semakin tertunduk dalam, menyembunyikan ketakutan dari wajah yang sebenarnya sudah tertutup masker, “Masih tahap tindak lanjut medis, Pak. Rencananya Dokter anak akan tetap melakukan pemeriksaan laboratorium khawatir terjadi cedera di kepala karena tadi Maira mengalami muntah,” terang Ze menunjuk bajunya yang terkena muntahan Maira tanpa menatap pria yang kini memandang ke arahnya.
Pria yang belum memperkenalkan diri itu pun mengambil sapu tangan dari saku celana, lalu menyodorkan ke depan Ze, “Bisa gunakan ini untuk mengelapnya,” katanya terdengar tulus.
Ze melirik ke arah tisu yang berada tepat di samping pria itu, ingin mengatakan sudah mengelap dengan tisu dan yang menempel hanyalah sisaan saja. Namun, ucapan Ze tertahan karena merasa tak enak jika menolak.
“Terima kasih kembali, Pak. Sudah jadi tugas saya,” jawab Ze mengambil sapu tangan sebelum perawat lain dan dokter anak memasuki tirai perawatan Maira.
“Terjadi benturan saat kecelakaan dan pasien muntah, kami akan melakukan pemeriksaan penunjang foto rontgen kepala dan juga foto ct scan,” terang Dokter.
“Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok,” kata Papa Maira.
“Baik, kami akan mempersiapkan semuanya, Pak,” kata Dokter dengan memerintahkan perawat bagian administrasi untuk mempersiapkan lembar formulir pemeriksaan.
“Duh duh,” keluh Maira dengan desisan sakit dan wajah meringis menyentuh kepala yang rasanya berdenyut lalu anak itu menangis lagi ketika rasa sakit kembali menusuk.
Zelmira yang melihat hal itu pun tak tega, terlebih saat Papa Maira kebingungan menenangkan anaknya. Lagi pula ia yang bertugas di tirai perawatan tempat Maira berada, masih tanggung jawabnya sebagai tenaga medis.
“Sini biar saya yang gendong sembari di kompres untuk meredakan nyeri, Pak,” pinta Ze mengulurkan tangan untuk mengambil tubuh Maira dalam gendongan.
“Maira cantik haus, iya?”
“Minum susunya ya? Susu UHT enak loh, biar kuat dan ga aduh lagi,” bujuk Ze saat susu botol yang ia siapkan ditolak oleh bayi yang malam ini menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Posisi Ze terus membelakangi posisi Ayah dari bayi yang ia gendong dan tenangkan, berharap dengan cara itu ia tak dikenali pria yang kini menjadi orangtua pasien.
Maira menuruti apa pun yang dikatakan Ze, hingga akhirnya bayi itu mendapatkan kenyamanan tertidur dalam gendongan pelukan Ze yang tanpa diketahui siapa pun hatinya gerimis terhujam lara dan kerinduan pada bayi yang ia kandung, tetapi tak bisa ia lihat, rawat, bahkan mendekapnya sekali saja seperti ini.
“Takdir yang begitu menyakitkan,” gumam Zelmira memindai wajah cantik Maira tanpa menyadari sosok pria yang berdiri masih setia menatap ke arahnya dengan perasaan pilu juga, tanpa ada siapa pun yang tahu hancur hatinya seperti apa di balik keteguhan iman pria yang berada dalam satu tirai perawatan bersama Ze.
Dua orang yang sama-sama merasakan lara, ketika terpisah dari seseorang yang sangat berarti dalam hidup oleh takdir-Nya .
“Takdir yang dituliskan Tuhan merupakan hal terbaik dalam hidup kita, walau terkadang yang terbaik itu tak selalu indah bahkan menyakitkan,” gumam Papa Maira dalam hati menatap nanar anaknya yang nyaman dalam gendongan wanita yang tak ia kenal.
“Seandainya kamu masih hidup, bukan perawat itu yang menenangkan anak kita, tetapi dirimu ... mamanya,” ucap Papa Maira dalam hati.
~Bersambung~