Munafik
Dandi meninggalkan toko roti milik bersama yang dikelola Rahmi—mantan ibu mertuanya dengan perasaan kesal, berulang kali pria itu mengusap wajah kasar dan beristighfar dalam hati.

“Munafik, aku ... munafik. Ya! Benar kamu Ze, aku layak disebut munafik karena sudah zalim, berdusta, ingkar janji dan khianat. Pantas! Sangat pantas kamu memberikan julukan itu untukku,” ucap Dandi emosi hingga wajahnya memerah dengan pergejolakan batin yang tak bisa dipungkiri ada rasa sesal yang teramat dalam ketika melihat keadaan Ze.

“Menikahlah denganku dan kujanjikan kamu akan menjadi istri paling bahagia, menjadikan dirimu satu-satunya dalam hidup dan kita akan membina keluarga samawa nantinya. Aku berjanji, Zelmira. Berjanji di depan orang tua kita.”

Ucapan yang diingat oleh Dandi saat ia melamar Zelmira depan kedua orang tua mereka, saat ada jamuan antara kedua keluarga yang memang sudah bersahabat sejak lama. Hingga rasa cinta Dandi hadir ketika kedua orang tua mereka saling mengenal dan dekat satu sama lain, begitu pun Zelmira yang merasakan cinta dan kenyamanan untuk Dandi dengan jarak umur 5 tahun lebih muda dari Dandi.

Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, Dandi tiba di sebuah rumah yang dulunya menjadi tempat dirinya dan Ze berumah tangga, merajut kisah penuh cinta dalam rumah tangga yang dipenuhi kebahagiaan.

Dandi menatap nanar rumah yang masih terawat dengan baik, masih sama seperti dua tahun yang lalu saat ia tinggalkan.

“Aku yang akan pergi, terima kasih karena sebelumnya telah banyak memberiku kebahagiaan. Aku akan mengingatmu sebagai pelajaran dalam hidup, suatu hari nanti jika kamu menyadari semua kesalahan yang sudah kamu buat.”

“Ingatlah aku sebagai kenangan yang sudah sukses membuatmu menjadi pria yang sangat berarti dalam hidup wanita tak berguna sepertiku.”

Ucapan cukup panjang yang kembali teringat oleh Dandi, pintu pagar menjadi saksi seorang wanita yang sudah membersamainya selama 2 tahun harus meninggalkan rumah mereka.

Dandi menyandarkan tubuh di mobil, tanpa mau beranjak melangkah masuk ke rumah penuh kenangan dengan mantan istrinya. Ponsel berdering, membuyarkan lamunan.

“Iya, Ras. Assalamu’alaikum,” sapa Dandi.

“Wa’alaikumsalam Mas, sedang apa? Urusanku sudah selesai, aku sudah mengurus pengubahan jadwal penerbangan besok pagi,” terang Laras.

“Iya,” jawab Dandi tak bersemangat.

“Aku mencintaimu,” ungkap Laras dengan wajah semringah dari seberang telepon, berkebalikan dari Dandi yang memaksakan sebuah senyuman tanpa melepas bayangan masa lalu dengan Zelmira.

“Mas ... aku mencintaimu!” teriak Ze hampir setiap hari saat dirinya melangkah keluar pintu utama ketika berangkat bekerja.

“Maaf Ze ... aku tak menyangka kamu akan sehancur ini,” ucap Dandi dalam hati dengan telinga rasanya menjadi tuli mendengar ucapan panjang Laras yang tak fokus pria itu dengarkan.

**

“Ze ... sedang apa?” tanya Rahmi ibunya saat melihat anaknya membuka banyak dokumen hingga tercecer di atas kasur.

“Menyiapkan persyaratan dokumen untuk yayasan rumah sakit bagian home care, Bu,” jawab Ze meneliti lembaran dokumen yang berada di genggaman dengan penjepit kertas dan map hingga tertata rapi dengan persyaratan yang sudah ia penuhi.

“Ijazah S1 keperawatan, sudah.”

“Sertifikat pelatihan home care.”

“Surat tanda registrasi profesi.”

“Surat kelakuan baik, sip beres semua,” kata Ze memastikan satu per satu dokumen yang harus dipenuhi sudah komplit, lalu memasukkan ke dalam map coklat.

“Home care, Ze?” tanya Rahmi, bingung karena sang anak sudah mendapatkan tempat tugas di rumah sakit, “bukannya kamu sudah dapat RS, kenapa ke yayasan agensi home care, Ze,” lanjutnya bertanya untuk memastikan.

Ze terdiam, kedatangan Dandi tiga hari lalu ke Jakarta kembali mengusik ketenangannya. Ia ingin menyibukkan dirinya hingga lelah dan ketika malam bisa beristirahat dengan lelap seperti apa yang ia lakukan selama ini. Namun, lebih lelah dari hari sebelumnya agar ia juga bisa menekan kebiasaan ke klub malam, pikir Ze saat sisi baik dalam dirinya terus meneriakkan sebuah kebenaran yang selalu ia ingkari tentang Takdir.

“Aku memilih mengambil job tambahan perawat home care, Bu,” putus Ze membulatkan mata Rahmi yang tak percaya dengan keputusan anaknya.

“Mendapatkan tempat di rumah sakit itu sudah cukup, Ze. Kamu akan lelah kalau masih mengambil pekerjaan perawat home care,” tolak Rahmi.

Ze menghela napas panjang, ia sudah tahu kalau sang Ibu akan keberatan dengan keputusannya. 

Namun, apa mau dikata, ia ingin menyibukkan diri agar tak terbelenggu oleh masa lalu. Sesuatu yang kini sudah ia niatkan merelakan dan menjalani kelanjutan hidupnya, setelah mengetahui Dandi terlihat bahagia dengan kehidupannya sekarang.

Untuk apa dirinya bersedih? Seharusnya bisa menunjukkan kalau dirinya bahagia tanpa Dandi, tambah besar kepala pria yang sudah membuangnya dan memilih wanita teman masa kecil pria itu. Ayo Ze bangkit! Pria bukan dia saja, sisi lain dalam diri Ze terus menyemangati sejak pertemuan pertama setelah 2 tahun tak bertemu.

“Aku tidak mengundurkan diri, Bu. Hanya mendapatkan tawaran menjadi petugas home care dan kurasa menarik.”

“Beberapa bulan ke depan aku memilih pasien home care kunjungan, gaji lumayan perkunjungan bisa untuk ke klub,” ledek Ze memancing kekesalan ibunya,  “pemilik rumah yang memakai jasa akan menanggung semua transportasi dan uang makan sebagai tambahan, ini juga karena menggantikan teman,” terang Ze dengan keputusan yang sudah bulat, memberikan banyak alasan pada ibunya.

Rahmi menghela napas panjang, “Jadi kamu masih bisa bertugas di rumah sakit ‘kan?” tanyanya kemudian, khawatir Ze melepaskan tugas saat ini dan memilih home care.

“Iya, Bu. Hanya sementara menggantikan teman,” terang Ze yang akhirnya mengatakan semuanya.

“Apa uang Ibu kurang untuk memenuhi kebutuhanmu?” tanya Rahmi dengan kemajuan bisnis yang beliau kelola.

Ze menggelengkan kepala seraya tersenyum dan menggenggam tangan ibunya, “Aku tidak ingin menikmati secuil pun materi yang diterima dari hasil usaha bersama Mas Dandi, aku masih bisa menjadi ghost writer atau mengerjakan tugas mahasiswi Akper untuk menutupi kebutuhan, Bu.”

“Lalu, untuk apa Ibu mengurus bisnis ini kalau kamu tak ingin menikmati semuanya?” tanya Rahmi tak habis pikir selama perpisahan anaknya tak memakai uang hasil usaha toko roti hingga akhirnya modal terkumpul untuk membuka cabang baru.

“Untuk anak asuh Almarhum Ayah,” kata Ze terdengar tulus, “aku ingin amalan baik untuk almarhum Ayah terus mengalir,” lanjutnya membuat Rahmi bangga dan semakin yakin anaknya akan berubah karena hati Ze masih tetap lembut seperti dulu.

“Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah bersabda: “Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan,” kata Ze mengingat ucapan mendiang ayahnya, “perkara ketiga aku tak bisa memenuhinya, tetapi paling tidak dua amalan tetap mengalir untuk Ayah,” ucapnya dengan mata mengembun.

“Kamu anak yang sangat Ayah banggakan, Ze. Anak saliha Ayah dan Ibu, saat ini hanya yang di dalam sini masih dipenuhi awan hitam yang sebentar lagi akan bergeser dan tergantikan awan cerah yang penuh kebahagiaan nantinya,” kata Rahmi menujuk dada Ze yang ditanggapi gelengan kepala oleh anaknya, lalu kemudian berdiri dan mencium pipi ibunya, memilih mengabaikan ucapan sang ibu.

“Jadi wanita baik itu capek hati, aku ingin menjalani apa adanya asal bahagia, lebih baik dikatakan urakan tapi baik, dari pada dikatakan baik aslinya busuk,” kata Ze setelah itu pamit pada sang Ibu menuju tempat tugas.

Namun, diperjalanan ingatan tentang kebahagiaan yang sudah kembali pada-Nya begitu mengusik dan menghadirkan kerinduan hingga akhirnya Ze membelokkan arah mobil ke tempat pemakaman umum.

Menginjakkan kaki ke area pemakaman, Ze sudah siap dengan air mawar dan juga bunga setaman melangkah ke gundukan tanah berukuran kecil.

Langkahnya terhenti ketika mendapati bunga setaman yang tampak segar berada di atas gundukan tanah lebih dulu, ia tersenyum miris, “Masih inget anak juga rupanya,” ucap Ze mulai menekuk lutut, kemudian memanjatkan doa.

Namun, suara dehaman seseorang dari belakang tubuh Ze terdengar dan cukup mengejutkan hingga tubuh Ze terjengkit kaget.

“Maaf mengganggu, mobil anda menghalangi jalan mobil lainnya, bisa di pinggirkan lebih dulu?” sapa seorang tak dikenal, Ze menoleh dan mendapati sosok pria yang juga membulatkan mata melihat keberadaan Ze di hadapannya.

“Kamu ....” Tunjuk pria itu ke arah Ze yang kini menelan Saliva pun rasanya tersekat.

“Apes! Mimpi apa gue semalem,” rutuk Ze dalam hati dengan tubuh menegang.



~Bersambung~

Tinggalkan jejak komentar ya ... jangan lupa follow, bab 9 bagi-bagi koin emas. 

Sheina lomba season 1 up malam ☺️✌️