Aku si sulung, hari ini, aku tidak hanya sekadar dituntut dewasa karena aku sudah benar-benar dewasa.
Capek kerja bagiku hal biasa, capek sekolah di sekolah, juga hal biasa, capek pikiran, dan tenaga.
Capek. Aku capek ... banget! capek hidup kayak rasanya pengen mati tapi takut sama rasanya kematian.
Bunuh diri itu haram, ya, untung haram. Kalau tidak. Aku akan mencoba melakukannya. By_Mela Aquila Syafira
_IL
"Mela Aquila Syafira," suara lembut menyapa gendang telinga gadis itu.
Menoleh ke belakang, mata kantuknya masih bisa menatap lamat si pemanggil dengan sempurna.
*
"Sudah makan?" tanya lelaki yang mengaku bernama Admon itu pada Mela. Tak lupa menyisipkan senyum manis tanpa kesan genit. Dingin--tapi, perhatian. Begitu kesan yang disukai kebanyakan kaum hawa.
Benar saja--wajah Mela tersipu merona. Selama ini, ia yang selalu bertanya pada adik-adiknya, apa sudah makan, atau apa yang bisa dibantu olehnya.
Rasa segar mampir di hatinya, mendengar kalimat perhatian pertama dari seseorang, bagai menemukan oase di tengah gurun pasir. Biasanya ialah yang memberi perhatian pada orang sekitar, mimpipun tidak untuk diperhatikan.
Hari ini, kata tanya 'udah makan' bagi Mela, tidak hanya menemukan oase, tapi, juga bagai diberi istana berbatu emas.
Demi menjaga malu di rona wajahnya, Mela memilih diam. Memilin lipatan rok panjang yang ia kenakan. Membalut grogi untuk pertama kali mendapat perhatian.
"Ini tadi abang belikan pizza, kamu suka?"
Bola mata Mela membola demi mendengar kata pizza. Biasanya ia hanya mendengar nama pizza dari bibir teman-teman.
Sejak mengenal makanan populer juga nama-namanya, Mela tidak pernah bersua pizza.
Sekolah Menengah Atas, di situlah Mela mengenal jenis makanan yang sering dibawa Lukas, anak kepala sekolah ke kelasnya. Lukas murid baik, cerdas dan juga religius, meskipun dari golongan atas, ia memilih sekolah negeri daripada swasta dengan biaya luar biasa, padahal memiliki ibu pengusaha berharta.
"Melamun?"
"Eh, i ... iya, Om!" Gagap Mela menjawab.
"Kok manggil, Om?"
"Eh ... i ... iya, Bang!"
Huh. Jantung Mela tak karuan degubnya. Padahal sudah diajarkan Reza menghadapi Admon. Mela percaya Reza. Reza bilang, Admon lelaki yang baik. Tidak akan mencelakai Mela. Pasti. Bukankah guru agamanya selalu bilang wanita baik akan dipertemukan dengan lelaki baik juga.
"Om, mengapa mau nikah sama saya?" Tiba-tiba pertanyaan yang sedari tadi Mela tahan keluar juga.
"Siapa bilang saya mau? Kita belum nikah," sahut Admon sambil mengunyah kacang tanah, membuang sampahnya sembarang, tersenyum tipis--menjawab pertanyaan dengan menguji gadis itu.
Mela tertunduk malu. Admon benar. Mereka belum menikah. Kenapa baper?
'Ah, bukankah, aku bilang ke Reza untuk mencari laki-laki yang berniat menikah'
Mela bermonolog bingung. Kata-kata Admon memudarkan harapannya. Jangan-jangan Admon sama sekali tidak berniat menikahinya. Lalu, untuk apa dia membawaku. Muncul pikiran negatif di kepala Mela. Ada rasa was-was di hatinya.
"Saya menunggu lelaki yang siap menikah, saya mau dibawa pergi oleh lelaki yang siap menikah," ucap Mela dengan lancar.
Entah darimana keberanian itu, gugup di dirinya hilang. Tiba-tiba rasa tersinggung mendominasi dalam jiwa Mela. Hingga membuat grogi pergi, berganti ketusan dari bibirnya.
Admon tertawa menangkap perubahan wajah Mela.
"Artinya kamu salah orang."
"Kalau gitu, saya pergi!" Mela beranjak dari kursi rotan, sebuah cafe dengan interior sederhana namun menarik mata. Belum ada pengunjung satupun di cafe itu.
Hanya ada mereka berdua. Bahkan meja kasir kosong, mata Mela memindai sekeliling. Membaca situasi. Ya, ia paham. Cafe ini yang Reza maksud milik Admon.
Di beberapa dinding, berjejer isi ulang Vape rokok elektrik, Reza sudah menceritakan detail tentang ini pada Mela. Sebentar. Sepertinya tidak detail. Beberapa botol minuman beralkohol saling bertumpuk di meja-meja lainnya. Di dinding, di meja kasir. Bahkan yang kosong berserakan di lantai.
Gadis itu bergidik ngeri.
Merasa tidak dilarang pergi, tidak dicekal, mengambil langkah lebih cepat, kakinya terhenti di depan pintu berbahan fiber. Di balik pintu ada pintu besi yang terbuka saat mereka datang tadi. Kini, kembali terkunci.
Mengerjap berkali-kali, memastikan dirinya tidak dalam bahaya. Menarik napas panjang untuk menetralisir gundah, gelisah bercampur ketakutan. Mengumpulkan segenap keberanian Mela membalik badan.
"Apa Om sengaja mengunci ruangan ini?" tanya Mela pelan dengan suara bergetar.
"Duduklah, Mela. Abang tidak akan memperkosa gadis kecil yang lebih layak disandingkan dengan triplek. Duduklah! Mari bercerita! Bukannya dari tadi malam kamu belum makan. Makan dulu! Tidak perlu takut."
Mela mendekat. Admon kembali menarik kursi untuk Mela duduki. Tidak perlu takut?
Lelaki di depannya memang tidak menakutkan, tapi, kata Bu Wardah tetap waspada pada orang yang baru dikenal. Mela menyesal telah begitu percaya pada Reza. Ia merasa senasib, karena sama-sama sulung, berharap takdir baik berpihak. Kehidupan lebih baik seperti yang Reza alami, ternyata semua jadi berbeda.
Sekarang ia dalam keadaan antara ingin percaya dan ketakutan yang nyata.
"Kamu dengarkan, Abang!" Admon mendekat tempat duduknya. Berpikir sejenak cara mengolah kata untuk kaum hawa yang masih labil seperti Mela.
"Abang gak bakal ngapa-ngapain kamu, sebelum kita menikah. Tadi abang cuma bergurau, jangan ditanggapi. Begini .... "
Admon berpikir lagi mencari kalimat.
"Kamu itu perempuan, tentu butuh wali jika kita menikah, otomatis kamu butuh ayah sebagai wali nikah. Kita tidak bisa menikah dadakan. Abang akan mendatangi rumah kamu, untuk menikahimu dengan baik-baik. Bukan dengan cara seperti ini. Kabur dan membuat panik orangtuamu." Lembut Admon menjelaskan.
Mela menelisik wajah Admon. Kalimat barusan telah menghilangkan ketakutannya seketika. Gadis itu kembali tersenyum.
Malu-malu ia memandang wajah Admon. Menunduk lagi. Kalimat yang barusan Admon lontarkan membuat Mela percaya, lelaki yang di depannya--orang baik.
"Sekarang, makanlah!"
Mela mengangguk. Menghabiskan seporsi pizza, segelas bubur kacang ijo, dan sebuah pir madu. Sarapan sehat yang diberikan Admon pagi ini.
*
"Jadi bagaimana? Apa kata Pak RT? Mela sudah ditemukan? Apa ada kabar dari salah satu temannya. Guru, atau .... "
Mandri baru saja sampai, langsung memberondong Nila dengan pertanyaan.
Oaks ... Oaks. Waqqss ...
Suara tangis, teriak keras Vina dari kamar. Menghentikan sementara pertanyaan Mandri.
Nila beranjak ke kamar. Menggendong Vina ke kamar mandi. Mandri membantu Nila, bau pesing dari dapur dan juga kamar hinggap di penciuman Mandri.
"Nil, kamu ngak ngepel?"
"Suntuk seharian mikirin Mela," jawabnya.
"Kenapa Vina gak pakai pempers?"
"Uang beli pampers bisa dikumpul buat cicilan rumah," jawab Nila sekenanya.
"Nil,"
"Kan benar, buat makan sehari-hari untuk enam perut itu bukan sedikit, Bang."
"Iya, abang paham. Tapi, abang gak pernah nganggur, semua gaji kamu yang pegang. Kenapa tidak coba berhemat."
"Ini sudah lebih dari hemat. Teman-temanku semua pakai mesin cuci. Gosok pakai seterika uap biar gak capek. Jangankan beli keduanya, sekedar memperbaiki lantai yang rusak saja sudah lebih dari hemat. Sesekali Abang belanja minyak makan, cabe, beras biar tau ke mana duit gaji semua."
"Nil, abang tidak menanyakan itu. Abang hanya .... " Mandri mengehentikan kalimatnya. Melanjutkan perdebatan hanya akan menambah masalah baru. Sebenarnya ia bukan tipe suka menyimpan kata. Tapi, demi anak sulungnya saat ini. Ia harus kompak senada dengan istri.
Menggendong Vina ke depan. Mandri mengajak Nila diskusi dengan pikiran tenang.
"Pak RT bilang tunggu besok pagi, kalau belum ada kabar, kita bisa mengadu ke kantor polisi atau mencari dengan iklan di koran."
"Apa kamu pernah lihat Mela dengan teman lelakinya?"
"Nggak. Mana mungkin Mela lari dengan temannya, kebetulan tadi semua temannya hadir di sekolah, jadi kecil kemungkinan pergi bersam kawannya."
Sebenarnya Nila ragu mencari Mela dengan jasa polisi apalagi iklan di koran. Selain bayar, juga tidak efektif. Nila berfirasat Mela memang pergi dengan laki-laki. Tapi, siapa yang membawa, ia tidak tahu.
Nila menyembunyikan firasatnya pada Mandri. Dari surat-surat Mela, Nila yakin gadisnya itu pasti dalam keadaan baik-baik saja. Mela sudah dewasa, mengerti baik dan buruk, bahaya atau tidak bahaya.
"Jadi kita harus menunggu?"
"Ya, begitu kata Pak RT."
"Assalamualaikum."
Suara serentak tiga gadis menolehkan kepala Nila dan Mandri ke arah pintu.
Nila berdiri melihat siapa yang datang.
"Assalamualaikum, Tante."
"Rina."
"Iya Tante, Ini Lukas, dan ini Selvi." Rina memperkenalkan kedua temannya.
"Oh iya, tapi Mela belum .... "
"Kami tau, Tante. Bolehkah kami masuk? Kami sudah izin dari sekolah untuk membantu Tante mencari Mela."
Mata Nila membola. Senyum mengembang di bibirnya. Teman yang baik.
"Ayo, nak. Masuk ... Masuk," ajak Mandri yang muncul dari belakang Nila.
Teman-teman sekolah Mela masuk, duduk lesehan di ruang tamu yang merangkap ruang tidur Relon dan Reno.
"Apa ada petunjuk di mana, Mela?" tanya Mandri tidak sabar.
Rina tersenyum simpul. Melirik ke arah dua temannya sebelum membuka mulut mengikuti pertanyaan suaminya. Setelah Rina dan temannya mengangguk.
Gadis itu melanjutkan kalimatnya,
"In sya Allah Mela aman, kita akan bantu bapak menemukan Mela. Kami sudah dapat petunjuk keberadaannya."
Rina menjelaskan, sejak berita Mela kabur dari rumah, sulung di pojokan--nama yang Mela berikan untuk geng mereka. Geng atau tim persahabatan yang dibentuk tanpa perhelatan, tanpa peresmian, selain satu nasib mereka satu sekolah dasar dahulunya. Kecuali Lukas.
Rina dan Selvi langsung mengumpulkan teman-temannya untuk ikut berpartisipasi mencari Mela. Setidaknya, sedikit membuahkan hasil.
"Alhamdulillah, Allah mengirim malaikat penolong untuk mencari anak saya," ucap Mandri.
Nila hening di tempat. Merasa tidak yakin Mela akan ditemukan. Andai ditemukan bisa jadi sudah menikah.
Nila mengedikkan bahunya. Merasa kepergian Mela seolah satu keberuntungan.
Jika memang niat Mela menikah, atau bekerja dan ingin membantu Nila jika sudah mapan. Seperti isi suratnya.
Nila sangat tahu karakter keseharian Mela. Gadis itu--selain penurut, juga baik hati, tidak suka melawan, sering mengalah bahkan terkesan bodoh.
Kalau Mela ditemukan, tentu akan kembali ke rumah dan tidak jadi mencari kerja. Entah apa yang ada dipikiran Nila. Mencari Mela baginya satu hal sia-sia.