Aku si sulung, yang sering nangis di pojokan kamar. Aku takut mama tahu, ada air mata yang diam-diam mengalir karena kelelahan.
Aku si sulung, terbiasa memendam sesuatu sendirian. Yang jarang ber-haha hihi dengan teman-teman.
Aku si sulung, Setiap yang kulakukan selalu dijadikan contoh untuk adik-adik, ketika melakukan sesuatu kesalahan. Maka, akulah yang salah.
Untuk itu, melakukan sesuatu aku harus mikirin adik-adik dulu, sebelum diri sendiri.
Menjadi anak pertama bukan sebuah rencana, dan tidak pernah diminta.
Aku yakin bahwa Allah tidak pernah salah memberi peran pada anak sulung. Karena takdir tidak akan pernah bisa direkayasa.
Untuk itu aku ingin mengubah nasib, agar mama tak lagi marah-marah. Beban papa sedikit berkurang memikirkan kami, anak-anaknya.
By_Mela Aquila Safira.
_IL
Jeef berjenis hardtop membelah jalanan, melewati jembatan layang dengan motif pucuk Rebung khas Melayu.
Dentuman musik dije mengalun keras dari dalam mobilnya. Memecah di lalu lalang pagi buta.
Patung perahu lancang kuning tertata pada ujung layang, dengan ukiran berwarna gading, melambangkan kejayaan dan kekuasaan.
Serupa pengemudi mobil hardtop kelas atas yang menekan pedal gas begitu kuat, Toyota model lama, dengan harga fantastis. Ngebut bukan hal baik. Tapi, siapa yang bisa melarang sosoknya.
Pengemudi itu mengikuti setiap irama. Dentum musik membuat kepalanya miring kanan, miring kiri. Senyum di bibir tak kunjung lekang, seolah tengah mendapat jackpot pada permainan judi online, mengembang sempurna.
Namun, tersisip belati yang siap menusuk, bagi yang tak sadar masuk dalam perangkap pesonanya.
Corak pucuk rebung di sisi jembatan, bermakna pertumbuhan dan semangat untuk menumbuhkan optimisme berjuang pada kehidupan.
Seumpama gadis yang menunggu kehadiran sosok yang tengah senyum dalam Jeep klasik itu--Mela masih mengukir senyuman penantian, yang juga tak lekang.
Terbersit keinginan untuk hidup yang lebih baik. Memilih jalan yang menurut dirinya, halal, lagi menghindari dosa.
Berharap menjadi kuntum mambang, jelita itu bagai cahaya bulan di gulita malam. Sayang, ilusi sang gadis--mengambang. Serupa legenda-legenda perempuan yang tinggal di bulan, hidup karena kutukan atau telanjur minum ramuan keabadian. Entah mana cerita yang benar.
Mela tak lagi bisa kembali menggapai cinta meski punya kekuatan. Ceritanya tak selesai. Meninggalkan jejak luka pengulik legenda.
Hilang raga lenyaplah bimbang, bagaikan bunga baharu berkembang.
Harusnya pribahasa itu berlaku untuk para gadis yang beranjak dewasa, dengan segala keunikan tingkahnya. Namun, tidak berlaku untuk si sulung bernama Mela.
Kini, ia sendirian memeluk hari. Menanti dalam ketidakpastian. Berusaha untuk berprasangka baik. Temannya--Reza--benar. Yang ditunggu tengah sibuk mencari cuan.
Gadis itu menguap, bola matanya berkali-kali mengerjap, untuk izin tidur, Mela ragu. Kelak ia sedang terbuai di alam mimpi, yang ditunggu hadir tanpa diketahui.
Bukankah sesuatu bisa terjadi, terkadang saat kita tidak tahu apa-apa? Dalam sedikit sisa kesadaran dengan kantuk menyerang. Mela masih waspada menjaga dirinya.
Walaupun begadang acap ia lakukan, menjaga adik bungsu dari segala rengekan. Bukan berarti mata indah itu mampu menolak kantuk yang sedari beberapa jam berlalu telah bertamu.
Lisa dan teman sejawat kembali ke pasar dengan aktifitas rutinnya. Sedangkan Reza menyediakan sarapan untuk menyambut suami tercinta karena mendapat jatah shift malam di sebuah perusahaan ternama.
Mela termangu di ruang yang mendadak sepi. Ia berdiri, melangkah ke arah jendela berjeruji besi. Memandang langit mulai berwarna kekuningan, pertanda pagi--cerah telah tiba.
Pikirannya melayang, seakan di atas langit, ia melihat sosok adik kecilnya-Vina. Tentu pagi ini Vina akan menangis jika tidak mandi. Bekas selimut Vina yang terkadang kena ompol, harus segera direndam.
Setelah pulang dari sekolah, ia tinggal mengucek atau menginjak kaki dalam baskom untuk menghilangkan bekas bau seni sang adik.
Memeriksa buku Cila, Cila sudah bisa mencari baju seragam sendiri. Mela cukup memeriksa PR atau mata pelajaran sekolahnya saja. Rutinitas setiap pagi.
Relon sudah besar. Dulu, Mela juga yang menyiapkan baju seragamnya. Pagi-pagi sekali ibuNya mencuci baju. Mela bagian membilas. Kadang sebaliknya.
Sehari tidak mencuci, pakaian sudah menumpuk seperti gunung. Bau keringat bertebaran, menambah sumpek rumah sempit mereka.
Tiga hari sekali Mela dan Nila akan menyetrika pakaian, pakaian membumbung tinggi pada keranjang rotan pemberian orang kaya yang sudah pindah--tidak terpakai. Barang lungsuran terkadang sangat berguna bagi mereka yang tak berpunya.
Pakaian yang sudah mirip gunung Himalaya.. Dieksekusi berdua. Mela dan Nila.
Sarapan pagi, Mela biasanya menjerang air di tungku belakang dengan kayu bakar. Nila bilang ini untuk berhemat. Air sumur bisa buat minum satu rumah dimasak dengan dandang cukup besar.
Setelah tanak, Mela membuat teh untuk adik-adiknya, sebelum berangkat menuju sekolah adik-adik Mela sudah rapi, kenyang dan siapa mengikuti pelajaran.
Di sekolah acap kena ceramah, karena Mela lupa ada tugas diberikan. Mela lupa jadwal pelajaran, Mela sering membawa buku yang salah ke sekolahan. Mela juga lupa kapan ulangan, serasa semua terlupakan.
Jika diberi nasehat agar lebih baik ke depannya. Tidak telat, tidak lupa mengerjakan tugas pelajaran rumah, dan tidak lupa membawa buku pelajaran. Mela cukup mengangguk tanpa bantahan.
Sekarang, saat dirinya tiada di rumah, siapa yang melakukan itu semua? Mela meragu.
Haruskah kembali ke rumah? Kembali membantu ibu? Hatinya bimbang.
Tidak. Bhatinnya mendadak menolak. Masih segar dalam ingatan jernihnya. Deretan kejadian tak terlupakan.
"Ma, Mela diajak ke Mall, main bareng teman-teman, boleh, Ma? Cewek semua kok. Gak perlu bawa duit. Rina yang bayarin ongkos Mela."
Suatu hari Mela izin pada ibunya. Teman-teman sekelas bermain ke Mall. Katanya--cuci mata. Mela ikut diajak serta.
Nila yang berbaring sehabis memasak sambal telur dadar, merebus sayur bayam ala kadar, menanak air dengan kayu di tungku buatan--sambil menggendong Vina yang sedang demam--Menunggu sang kakak pulang dari sekolahan--melotot gusar.
"Mall?" tanya Nila dengan suara ditekan keras.
Mela yang mengerti ibunya marah. Mundur melangkah. Menyesal telah mengeluarkan kalimat permintaan.
"Ulangi sekali lagi, kamu mau ke mana?" bentaknya berulang.
"Ngak jadi, Ma. Mela gak jadi pergi."
Ralat Mela buru-buru sebelum murka lebih dalam bertamu pada ibunya.
Masih dengan seragam yang melekat. Mela sangatlah paham, lirikan tajam Nila ke arah dapur. Jawaban dari permintaan kecil yang tidak dikabulkan.
Baskom piring kotor sisa sarapan mereka sekeluarga yang tidak sempat Mela cuci pagi hari, karena terburu-buru ke sekolah--baskom itu ... Lebih penting daripada berjalan bersama teman di akhir pekan.
Zrenk ... zrenk ....
Suara raungan mobil dengan decit rem. Berhenti tepat matahari beranjak sepenggalan.
Perempuan muda itu berpaling ke arah pintu. Jantungnya berdebar tak karuan. Lamunan kejadian sepenggal, terbang terbawa desau angin.
Suara deru mesin beradu dengan lemparan bawang sisa di pasar--datang--dipanggul beberapa orang.
Beberapa orang lainnya, berdiri mematung di depan pintu. Seolah tengah menatap makhluk planet dari belahan dunia lain. Raymon yang telah siap sarapan, bahkan sejak datang tak menyapa langsung masuk ke dalam kamar-- keluar dari bilik belakang rumah--terburu-buru membawa sepinggan penganan.
Takut yang datang murka--sepertinya bukan. Bukan karena kemurkaan, karena sosok di belakang kemudi, tidak terlihat seorang yang suka berbuat murka. Wajah klimis dengan tulang pipi keras itu justru memberi senyum pada semua yang ada di sana.
Turun dari mobilnya, bagai slow mation dalam sebuah adegan. Sorotan seluruh manusia, dari ujung gang, hingga depan rumah Reza. Tak lepas menatap lelaki yang kini berjalan ke arah pintu. Walau sudah disambut dengan secangkir kopi di tangan Reza. Sepinggan penganan yang baru ditaruh Raymon pada sebuah kursi dan meja spesial di depan halaman.
"Apa kau memperlakukan calon istriku dengan baik, Raymon?" tanya dengan nada pelan namun mengundang berbagai arti.
"Tentulah, Bos. Reza menjaganya sampai pagi. Sepertinya gadis itu mengantuk. Apa kau mau membawanya sekarang?"
"Tentu saja. Gadis itu tidak akan menolak saat kuajak. Lihat saja."
Admon--sang penakluk. Melirik ke arah ruang tamu rumah Mela. Gadis mungil berwajah jelita itu tengah menatap langit cerah. Tak menyadari seseorang yang ia nanti telah datang menjemput dirinya. Ia pikir deru mesin mobil masih sama, lalu lalang orang-orang pasar.
Bahkan, ia tidak menyadari, orang-orang takjub pada dirinya, menyatakan keberuntungan karena berhasil diiyakan statusnya untuk dipersunting oleh seorang bernama Admon Emirsyah. Si lelaki berwajah Turki, sosok dikenal baik hati, cinta jelata. Pasti mendapat wanita berhati jelita.
Begitu pendapat mereka, orang-orang di areal pasar. Tempat Reza dengan segala kehidupannya.
"Mela Aquila Syafira," suara lembut menyapa gendang telinga Mela.
Menoleh ke belakang, mata kantuknya masih bisa menatap lamat si pemanggil dengan sempurna.
#TBC
Login untuk melihat komentar!