Maafkan Mela, Ma!

#Catatan Luka si Sulung

Ma ... Maafkan Mela, Mela memang anak yang tidak berguna, Mela selalu nyusahin mama, ngak bisa ngurusin adik. Ngak bisa nyuci piring cepat, malah piring hasil arisan mama sering pecah Mela buat. Adik sering jatuh, Mela ceroboh ya, Ma?

Mela kadang lupa melihat baju Reno sudah berlumpur, Mela lupa kalau Cila seragam lesnya belum disiapin, Mela lupa Vina belum boleh makan pedas, karena masih kecil. 

Mela juga gak ingat Relon harus bangun jam dua untuk pergi mengaji. Mela gak ingat, gara-gara Mela Relon telat pergi mengaji.

Gara-gara Mela, Cila berpakaian kusut pergi les. Gara-gara Mela Vina diare. Gara-gara Mela, Reno tidak sekolah.

Ma ... Mela pergi. Maafkan kesalahan, Mela.

Mela akan cari duit yang banyak buat bantu mama. Carikan pembantu biar bisa nolong mama jagain adik-adik.

Jangan cari Mela, Ma. Mela baik-baik saja. Mela sayang Cila, Mela sayang Relon, Reno, juga Vina.

Mela capek, Ma. Maafin Mela ngak sanggup bantu mama lagi. Mela selalu nyusahin mama. Mela akan datang untuk mama.

Mela pengen belikan mama mesin cuci, kulkas, setrika uap kayak di laundry Tante Cindy, dan Mela juga ingin rumah kecil kita di keramik biar Vina ngak jatuh-jatuh lagi. Mela juga pengen beliin mama blender, biar gak banyak waktu habis untuk menggiling cabe, dan mama ngak capek.

Mama ... Mela sayang mama.

Mela pergi, Ma. 

Mama yang sabar ya. Mela mohon, jangan pukul Relon, dia anak laki-laki, belum mengerti pekerjaan dapur, apalagi jagain Vina.

Sekali lagi, Mela minta maaf. Mela sayang mama ... doain Mela agar sehat selalu.

*

Wanita dengan jangat keriput meski usia belum senja--terpana, bola netranya mengerjap, kerjapan yang tak mungkin berhasil mengembalikan buah hati sekadar menikmati hari-hari.

Meremas lembaran di atas rajutan hitam, rajutan itu melindungi lembaran-lembaran pengetahuan, milik adik dari gadis itu.

Tulisan tangan Mela, gadis yang baru saja beranjak dewasa, memberi tahu pada sang bunda--betapa wanita kecil yang terenggut jadwal bercengkrama dengan teman, mengalami luka yang ia torehkan sendiri--ibunya.

Mela.

Empat tahun lalu, tamu rutin bulanan memberi tanda gadis itu telah dewasa. Tanpa gelar dewasa, pun ia telah tersemat--sulung, sematan berkode wajib disebut 'besar' sebelum waktunya.

Tumpu harapan, menjejak helai hari dalam kelelahan, serupa tunas berkembang dari pelepah pisang, semua ornamen dimanfaatkan, jantung, daun, kelak berbuah sebanyak mungkin, tetap saja batang kokoh menjadi pelepah, tunas lain tumbuh, yang lama terlupakan. 

Telah habis masa manfaatnya.

Tahun ini, pakaian putih abu-abu, seragam sekolah, bangga Mela memakainya, bukti telah sampai pada titik sekolah menengah atas, jenjang pendidikan pertanda pesertanya sudah memiliki satu kartu kedewasaan.

Masih berusia enam belas tahun, untuk kartu tanda penduduk, belum bisa ia dapatkan. Namun, cita-cita yang digantung tinggi berharap seseorang melepaskan dirinya dari cengkeraman keletihan.

Letih disalahkan, letih diperintah. 

Dulu, usia Mela baru enam tahun, si gadis berparas jelita itu harus berteman piring-piring kotor, bersahabat dengan lantai bekas kotoran adik-adiknya, juga badan yang siap sedia terbang menuju jemuran kain.

Jemuran yang lebih mirip gantungan monja di pasar pagi, adik bungsu yang menangis jika.ia tinggalkan, seolah bergantung hidup pada Mela sang kakak. Bukan ibunya.

Jika hujan mendadak melanda, tubuh ringkihnya harus rela berlari bagai buroq, menyelamatkan pakaian dari kebasahan.

Siap kembali berlari ke dalam rumah, si adik menanti untuk terus dipindai agar tidak terjatuh, atau terkena sesuatu yang berakibat fatal.

Fatal--karena suara lengkingan ibunya lebih membahana daripada halilintar yang baru saja menggelegar.

Meski napas baru saja lelah, Mela tetap melanjutkan rutinitas lain, misal--menolong sang ibu yang mungkin lebih lelah dari dirinya.

Jangan tanya tentang musik viral hari ini, media sosial milik Markus tidak ia kenali, drama korea bagi Mela serupa melihat ketinggian Monas dari Sumatera.

Apalagi sinetron terbaru, berita terupdate, dije ala aplikasi terkini. Mela sama sekali buta dunia remaja, juga dunia manisnya. Ia bagai kelopak mawar yang indah--tapi, tidak pernah akarnya tersiram. Menunggu layu meski tidak dipetik duluan.

Usia masih enam tahun, Pemilik mata indah itu memilih mengasuh empat adiknya, menuruti titah ibu, agar aman, nyaman, tenang rumahnya.

Kerap mendengar cerita teman saat meluang waktu akhir pekan. Tertawa riuh di keramaian. Mela lebih memilih membakar sampah di halaman.

Mela menikmati pilihannya menjadi gadis rumahan daripada menikmati secangkir Pepsi di restoran cepat saji bersama teman-teman. Gadis luar biasa.

Bertahun berlalu, Setelah enam belas purnama, pemilik rambut hitam lebat itu, mengenal seorang sahabat bernama Reza, pendengar terbaik keluh kesahnya, sayang Reza acap bersua dengan banyak pria. 

Bersekongkol diri untuk menerima perintah ibu tanpa bantah. Meskipun akal pikiran tersiram lelah, beberapa ornamen tubuhnya terbakar keletihan nyata. Mela tetap melaksanak tugas, sebab ibunya selalu berkata,

"Kamu sudah besar, anak sulung perempuan ya harus cepat, gesit bantuin mama. Anak perempuan sulung kalau malas, lamban, gak bakal ketemu jodoh."

Kalimat serupa ancaman, diulang-ulang terdengar menjadi pembenaran.

Kamelia Anila--Wanita itu--ibu kandung Mela, makhluk keramat yang seharusnya paling bersedih hati jika anak yang ia kandung sembilan bulan, hilang dari tatapan.

Menggapai rajutan hitam milik Relon--putra kedua, hendak menyiapkan buku pelajaran, retina milik Nila merah menyala, bagai pewarna telor pada perayaan sekaten.

Mendapatkan lembaran tulis tangan di atas tas sekolah itu--tulisan Mela. Frekuensi detak jantung Nila berirama genderang.

Putri sulung yang kerap menjadi pusat pelampiasan murka, begitu lamban membantu pekerjaan, suka mengeluh kecapean, makan kadang sengaja belakangan, mungkin untuk menghindari adik-adiknya kehabisan sambal.

Kini, si Sulung tak tahu di mana rimbanya.

Lemas, denyut di pembuluh arteri simpang siur alurnya, jantung berdetak tak karuan, kaca-kaca menaungi pelupuk, ketakutan tersirat jelas. Menggenggam kuat lembaran tulisan sang gadis yang telah memudar, sebab air dari retina yang merembes berjatuhan.

Nila menetralisir napas agar terhirup sempurna, tidak panik, menahan kekawatiran dan pikiran yang sudah ke mana-mana.

"Mah, lulus SMA, Mela kuliah jurusan kedokteran, bisa gak ya?" 

Tanya lembut dari bibir manis, mendapat sorotan tajam sebagai balasan.

"Ngayal! lulus SMA sudah sukur, jangan mimpi bisa kuliah, kalau sudah lulus, kamu bisa kerja, bantu ibu nyekolahin adik-adikmu."

Bentakan ke sekian, belati berbalut kata, meremukkan mimpi indah yang ia bangun dengan kata andai. Mata itu meredup bersama cita-cita yang ia gantung tinggi, ternyata tidak mendapat dukungan.

Pernah bermimpi di seribu hari terlewati, kelak suatu masa, ibunya berkata,

"Berdoalah, sayang. Takdir bisa diubah dengan usaha dan doa,"

Patah--kata terucap dari bibir wanita yang melahirkannya itu tak sesuai harap menghujam. Esok dan esoknya lagi. Mela tak pernah berani bertanya, apalagi menunjukkan perihal hayalannya.

Seseorang bertaruh nyawa untuknya melihat dunia, itu ibu, wanita yang tidak akan pernah ia sakiti hatinya. Meski sejuta belati kata selalu menerobos setiap derit detik dilalui hari.

Mengaminkan perintah tanpa membantah. Itu ciri khas sulung, padahal anak tetaplah anak, sulung, tengah, atau bungsu. Tak ada beda. Semua butuh perhatian.

Kini, si Sulung punya cara menunjukkan perhatian, mengejar cita dan hayal, dengan caranya sendiri.

Lari dari kungkungan. Tanpa meninggalkan jejak.

Nila meremas lembaran berisi kata hati Mela dengan penyesalan tiada dua. Tak ada lagi artinya. 

"Berita terkini, ditemukan mayat seorang gadis tanpa busana, disinyalir berusia enam belas tahun ... "

Tangan Nila semakin gemetar, bagai kabel setrika yang terkelupas menyentuh kulit saat sedang menyetrika pakaian. Tapi, Nila lupa rasa kesentrum itu seperti apa, peran yang seharusnya ia lakoni, digantikan Mela sang buah hati.

Kesentrum kabel setrika yang sedikit terbuka, kerap terjadi pada Mela, gadis itu membalut kabel listrik dengan plastik kresek--sendirian. Cara membalut kabel itu ia dapatkan dari seorang teman satu kelas di kelas satu menengah pertama.

Karena Nila selalu berkata, "Anak sulung kreatif dikit, kek. Cuma betulin kabel gosokan gak bisa. Apa yang bisa kamu kerjakan, nilai di sekolah pas-pasan, giliran disuruh leletnya hampir kiamat. Mela ... !" 

"Di tubuh jenazah tidak ditemukan identitas apapun, tas kecil yang berada di bawah tubuhnya berisi kond*m dan obat terlarang."

Suara pengantar berita, membuat limbung tubub Nila. Luruh di lantai--pingsan. 

#TBC


Komentar

Login untuk melihat komentar!