Aku si sulung, prestasi terbaikku adalah mampu menjadi wakil ibu dalam hal apapun.
Sebaik apapun yang sudah aku lakukan, sehebat apapun nilai prestasi yang aku raih.
Tetap saja hanya dianggap prestise, yang aku capai itu semua selalu salah,
"Jadi, sulung. Ya, wajar berprestasi, biar contoh buat adik-adiknya." Begitu kata mereka, terutama ibuku.
Padahal, aku juga ingin dipuji, ingin diperhatikan. Ingin--dipeluk saat berhasil mendapat nilai tinggi pada ulangan. Bukan malah mendapat kalimat, "Sulung, ya, wajar!"
Kalau gak berprestasi, ya harus siap diomelin, seolah prestasi bagai celah kesalahan kecil, agar bebas memarahiku.
Padahal, untuk mendapatkan nilai seratus pada buku raport pun--aku harus begadang sampai jam tiga malam. Belajar mati-matian, menahan kantuk, esoknya pulang sekolah, harus siap sedia badan kembali ke pekerjaan, tanpa mendapat pujian apapun.
Aku lelah! _ Mela Aquila Syafira
*
"Sudah berapa kali abang bilang, kerjaan ini susah didapat. Jangan sering nelpon, nanti abang dipecat mandor. Kamu itu ... terus saja mengeluh, yang Vina begini, yang Mela begini, yang Relon begitu ... abang udah hapal apa yang mau kamu bilang kalau nelpon. Masalah cicilan rumah, itu urusan abang, kelewat lebay kamu kalau mikirin itu. Ada permintaan tenor perpanjangan, reskejul namanya, juga bisa pengajuan restrukturisasi ... "
Belum selesai kalimat dari seberang--Nila. Suara dari seberangnya sudah menunjukkan gusar. Membombardir kalimat seolah apa yang hendak Nila katakan semua sudah menjadi rutinitas.
Hingga Nila memejam mata lelahnya. Ingin gila dalam satu waktu. Jengkel, kecewa. Tidak tahu harus berbuat apa. Seharian ia membiarkan Vina menangis. Memarahi Relon yang lupa mematikan kompor, gara-gara menanak air panas sedikit saja, hanya untuk makan mie instan harga seribuan--lauk untuk makan.
Cila tidak les, padahal, gadis kelas tiga sekolah dasar itu masih terbata-bata membaca. Biasanya malam, Mela mengajari Cila sebelum tidur. Walau hasilnya sangat minim. Cila tetap saja terbata, seperti mengeja.
Nila memijit pelipisnya, pusing. Tidak tahu harus mengadu ke mana. Wali kelas Cila, selalu mengancam, jika tahun ini gadis kecil itu belum bisa membaca, maka, alamat akan tinggal kelas.
Hanya Reno satu-satunya anak yang tidak perlu diajari sudah mengerti. Tiga besar di sekolahnya. Reno tidak nakal. Berbeda dengan Relon yang panjang akal.
Relon duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Relon suka membantu Mela. Sayang, di sekolah sedikit nakal, usil dan kerap melawan pada Nila, jika disuruh--banyak alasan.
"Nil, kenapa diam?" Mandri--ayah Mela, heran dengan suara yang tiba-tiba senyap.
"Bu-bu-bukan tentang itu, Abang. Bukan tentang debt collector." Nila bingung mencari cara menyampaikan pada suaminya, perihal Mela yang kabur dari rumah.
Salah sedikit penyampaian, yakin Nila akan sakit hati mendengar kesalahan tentang mengasuh anak kelak ditimpakan padanya.
"Me ... Mela kabur!" Nila menggigit bibirnya. Perih. Telinga ia persiapkan untuk mendengar bombardir tentang ibu yang tidak becus.
"Apa? Mela kabur. Pasti ini karena kamu selalu memperlakukan dia dengan tidak baik, Nila."
Benar. Walau sudah mempersiapkan pendengarannya untuk setiap timpa kesalahan. Tetap saja air mata mengalir di pipi.
Suara tangisan di seberang semakin pilu. Isakan terdengar menyayat. Mandri mengelus dada. Sudah salah bicara. Ia tidak tahu harus membuang kesal ke mana.
Nila mengira, Mela sekuat dirinya.
Dulu, Nila mengasuh sembilan adik-adiknya. Ia yang berencana menyambung sekolah bagian agama, kandas. Sebab sembilan anak dengan sawah dan kebun yang tak seberapa, ketimpangan nyata yang tak mungkin dipaksa sama rata.
Memilih bersawah, mengikuti orangtua, membantu menyekolahkan adik-adiknya. Nila pikir Mela berpikiran yang sama.
"Cek ke sekolah?"
"Sudah."
"Lapor Pak RT?"
"Belum."
"Astaghfirullah, Nila. Ibu macam apa kamu ini, anak hilang, malah belum lapor RT."
"Soalnya kata Cindy, melapor kehilangan harus 1x24 jam."
"Kata Cindy, kata Cindy ... kata si Cindy. Dari dulu cape banget bilangin kamu, kamu itu hidup punya prinsip, jangan kata orang yang didengar, setiap bicara selalu kata si anu, kata si ono. Sekarang sudah kamu pastikan, Mela kabur, atau dia main ke rumah teman?" Suara bentakan di seberang itu naik beberapa oktaf.
"Sudah, Bang. Mela meninggalkan surat."
"Surat?"
Nila mengusap ujung matanya. Berusaha tidak menanggapi suaminya. Saat ini ia hanya ingin bersua dengan Mela. Ke lubang semut akan ia cari keberadaan anak sulungnya itu.
Mela harus diajarkan berakhlak. Tidak terobsesi dengan dunia. Nila tidak sabar, gegas menarik jilbab, dengan daster yang masih melekat, Nila memakai jilbabnya. Tanpa bawahan.
Daster sedikit di bawah lutut. Lengan pendek. Disorong jilbab pada kepala, stelan dadakan untuk berjumpa Pak RT.
"Ini Nila sudah bersiap, mau ke rumah Pak RT." Ia masih berbicara dengan suaminya. Ponsel jadul menempel di telinga.
"Ya, Sudah. Kamu jangan panikan. Tenang bercerita ke Pak Nino. Nanti malah kita sebagai orangtua disalahkan. Ngerti, kan, Nil? Abang izin ke atasan dulu, semoga dikasih izin. Nanti kita cari sama-sama. Sekarang laporkan ke RT. Kan ada bukti suratnya."
"Iya, Bang. Nila tunggu."
Komunikasi ditutup. Setidaknya ada sedikit lega menjalar.
_IL
"Kenapa, Bos? Muka kok ditekuk begitu." Seno teman sesama pekerja berempati melihat Mandri dengan tampang kusut.
"Anak gadisku kabur."
"Sama pacarnya?"
"Ngak tau, aku tidak pernah melihat Mela berteman dengan lelaki."
"Siapa nama anak gadismu, Bro?" Tiba-tiba teman Mandri mengerjit seolah mengingat sesuatu.
"Mela. Itu nama pemberian dariku. Singkatan nama aku dan Nila--istriku. Mela anak sulung, anak yang kami sayang sejak kecil. Setelah besar, bandel banget jadi orang. Ibunya selalu bilang Mela ini tidak mau membantunya. Entahlah. Mungkin karena pancaroba, jelang dewasa. Jadi, dia sedikit berontak pengen kayak teman-teman lainnya."
Mandri akhirnya curhat pada Seno.
Seno tertawa. Padahal ia tidak sedang selera berceloteh tentang kisah cinta remaja, apalagi membahas pengasuhan anak masa pancaroba.
"Jangan terlalu memberi perintah pada anak remaja, nanti kalau dia berontak, kita juga yang susah. Aku memang tidak punya anak gadis. Tapi, keponakanku anak dari kakak dan adik selalu kuberi arahan agar menganggap anak perempuan jelang dewasa itu sebagai sahabat."
Mandri melirik Seno sekilas.
"Waktu duduk di sekolah dasar, Mela anak yang penurut. Sesudah masuk sekolah menengah, ia mulai rewel, dan malas membantu ibunya."
"Lah ... Kamu cuma dengerin aduan dari ibunya. Coba kalau kamu di rumah. Mela begitu gak?"
"Kalau aku di rumah. Mela jarang keluar. Bicara padaku juga dia jarang. Bagaimana mau bicara, adik-adiknya dapat rangking di sekolah. Sedangkan Mela selalu remedial di beberapa mata pelajaran. Bisa jadi, itu alasan ia takut bicara padaku."
Seno menepuk pundak Mandri.
"Pergilah, minta izin pada Pak Bram, ceritakan padanya tentang putrimu."
"Semoga dia mengizinkan aku pulang."
"Walaupun garang dan jomblo, Pak Bram punya hati."
Tawa keduanya meledak.
"HRD kita yang punya banyak wanita itu kabarnya mau kawin, kamu tau?"
Mandri menaikkan alis. Heran. Berhenti saat kakinya sudah melangkah demi mendengar gosip dari bibir Seno.
Alhamdulillah. Ternyata si bos normal. Kurun jadi Bos. Setahu mereka atasan dengan sorot mata tajam itu betah melajang hingga usianya jelang empat puluh.
Bisa jadi tidak normal. Mereka berdua tertawa kecil. Berita pernikahan sang Bos menyebar ke segala arah.
"Sama siapa, Pak Bos nikah? Kau bikin gosip, Sen? Jangan-jangan sudah nikah siri. Skrg lagu lanjut nikah beneran."
Keduanya tertawa lagi.
"Enggak lo, ini serius, pas kau sebut nama anak kau itu, aku jadi teringat si bos. Kabarnya--nama calon istrinya Mela juga."
Mendadak jantung Mandri berdesir. Tapi, ia menepis. Mana mungkin anak gadisnya mengenal si Bos. Itu mustahil.
"Terus? Apa hubungannya. Mana mungkin Mela anakku, kau ini ada-ada saja," ucap Mandri pada Seno. Walau pikirannya menjadi tidak tenang.
Seno menepuk pundak Mandri. Paham si kawan salah paham.
"Sudah, jangan dipikirkan, sorry jadi bikin kau jadi kepikiran, lanjut sana!" Seno mengibaskan tangan menyuruh Mandri segera ke ruang human resource department.
"Duluan ya, Bro. Aku izin pamitan. Mana tau karena hatinya bahagia, seperti yang kau katakan--lagi niat kawin. Aku dikasih izin tanpa potongan."
"Aamiin."
Seno melambaikan tangannya. Kembali bergabung dengan beberapa kru. Sedangkan Mandri menuju kantor.
Langkah kaki Mandri bagai diberi perekat kala telinganya mendengar tawa membahana dari ruang dengan tulisan kayu ukiran tag--HRD. Human Resource Department.
Tempat segala keluhan pegawai didengarkan. Tapi, entah pada realisasinya. Nama Bos Mandri terpampang jelas di kanan pintu kaca. Pelan Mandri mengetuk pintu.
"Siang, Pak."
Suara tawa berhenti. Tanpa menghadap ke arah Mandri. Lelaki di balik kursi itu mengangkat tangannya tanda tidak setuju diganggu.
Mandri berbalik arah. Kode dilarang bicara ia mafhum.
"Biarkan dia menunggu. Aku suka melihat cewe tidak sabar dipersunting. Apalagi sampai dia yang meminta padaku, nanti. Bersujud bermohon untuk segera dinikahi. Lucu sekali pasti."
Tawa kembali meledak.
Semoga Mela baik-baik saja. Doa Mandri melihat tingkah sang Bos yang arogan. Pikirannya melanglang pada putri sulung yang belum ditemukan keberadaannya.
"Daun muda itu menyehatkan." tawanya kembali terdengar. Mandri tak bergeming. Ia ingin pulanng, memastikan Mela tidak bersama siapa-siapa.
Mungkin sakit mendengar Bos lapangannya berbicara seperti itu. Meremehkan para wanita. Tapi, Mandri bukan siapa-siapa untuk melarang.
"Ada apa?" Serta merta Mandri terkejut, lelaki arogan itu sudah berdiri di dekatnya.
Singkat Mandri menceritakan keperluannya untuk izin.
"Pergilah. Temukan anak gadismu." Wajah datar itu berkata, tanpa ekspresi apapun.
Mandri menarik napas lega.
Melangkah meninggalkan lapangan. Menuju tepi jalan raya. Ia harus menunggu bus pengantar karyawan tiba.
"Mela. Nama yang bagus Raymon. Jangan sampai ada yang mengusiknya. Sebentar lagi aku datang."
Walau sudah berjarak, suara itu seiring derap kaki melangkah, melewati Mandri, masuk ke dalam mobil jenis Jeep.
Mandri terpaku di tempatnya. Bukan karena betapa arogan sang bos. Tapi, nama yang keluar dari bibir atasannya itu. Membuat hatinya riuh tak karuan.
#TBC.
Login untuk melihat komentar!