Goresan Kecil Mela

Saat lelah datang aku berada di titik terendah merasa down banget. Aku gak tau mau curhat ke siapa. 

Solat? Kok rasanya capek banget. Memang Mama selalu menyuruh solat, sih. Tapi, pekerjaan, pelajaran udah buat capek. Apalagi solat dibarengi rasa was-was takut Vina kenapa-kenapa.

Apa piring bakal pecah, atau lemari papan Relon bakal berserakan. Ada Relon sih atau Cila yang bisa jaga. Tapi, mereka lebih suka lupa ketimbang aku.

Aku pengen ngomong, pengen cerita, tapi gak tau mau sama siapa. Pengen nangis, pengen bersandar. Pengen ... 

Setiap hari, aku harus terlihat baik-baik saja, di depan semua orang rasanya lelah banget tuk yakinin diri sendiri, kelak suatu hari aku bertemu seseorang yang bisa diajak ngobrol. Bicara itu membawa dampak positif bagi siapapun. Itu kata Guru BP--Bu Wardah di sekolah.

Aku sulung, wajib menjadi pendengar yang baik, cerita Relon tentang temannya yang nakal, cerita Reno tentang gurunya yang galak. Cerita Cila tentang betapa ia ingin seperti anak guru yang selalu diistimewakan.

Bahkan, cerita mama tentang gaji papa yang masih serupa dahulu, dengan pengeluaran bertambah besar.

Tapi, tidak semua dari mereka jadi pendengar yang baik buat aku.

Malam itu aku mau cerita, tentang anak perempuan pertama harus sekuat baja. Tentang menelan cita-cita demi bahagia adik-adik tercinta.

Tentang ...

Tidak jadi, karena malam di mana aku ingin bercerita pada gelap malam, pada embun basah di subuh hari. Kudengar isak tangis menyayat mama. 

Perumahan sangat sederhana, lebih tepatnya sangat sempit, yang sudah kami tempati kurun sepuluh tahun, menunggu lima tahun untuk lunas dari cicilan harus segera dibayar.

Mama didadatangi debt collector, ternyata cicilan rumah yang kami tempati sudah menunggak lima bulan. Padahal sepuluh tahun tidak ada debt collector yang datang.

Yakini diri sendiri semua akan baik-baik saja meskipun sangat tahu kalo keadaannya lagi tidak baik-baik saja, terima bahwa keadaan sedang tidak bersahabat.

_ Mela Aquila Syafira.

*

Sebagian manusia lalu lalang bak setrikaan, sebagian lagi hanya ikutan nongkrong, sebagian lagi mengaku mengantar jula-jula, ibu Reza sebagai pemegang buku. Aktivitas di rumah Reza riuh. Admon belum menampakkan batang kelingkingnya.

....

Fly Over sepanjang jalan Sudirman menampilkan keindahan ukiran Melayu. Filosofi kelembutan, ketenangan, dan persahabatan, berpadu cahaya lampu berpijar di kegelapan, menerangi jagad jalan. Indah sekali.

Keindahan terpancar jelas kala lampu warna-warni menyorot pinggiran ornamen ukiran jembatan. Namun, tak seindah apa yang dialami seorang gadis belia di negeri harapan bergelar lancang kuning.

Rumah layak pakai berukuran cukup besar. Ruang depan enam kali lima meter. Memiliki teras tiga kali sembilan meter. Model memanjang. Istilah di kota, hop zaman Belanda. 

Halaman yang cukup luas ditumbuhi rumput manis, beberapa meja didesain menampung tamu yang begitu banyak. Kursi panjang saling berhadapan.

Di dalam ruangan depan Ibu Reza--Lisa masih duduk bersama kawan sejawatnya. Mela tidak berani bertanya pada Reza. Apa para wanita itu masih punya suami? Mengapa mereka keluyuran seolah tidak ada beban di rumahnya?

"Cuma malam Minggu di sini ramai, itu karena pedagang pasar ngumpul, ya, kalo yang perempuan, ada yang main jula-jula, makanya datang--mau nyetor, ada juga lagi nungguin sayur turun, lepas penat di rumah. Sesekali. Biasanya mereka yang sering nongkrong di sini, ibu-ibu yang anaknya udah besar-besar, udah sekolah, jadi gak perlu diurus serius."

Reza seolah mampu menembus pikiran Mela. Menjelaskan duduk pertemuan para wanita yang ada di rumahnya.

"Mereka kayak bahagia banget ya, Za?"

"Tertawa cara paling ampuh menyembunyikan luka. Mereka semua itu lelah, tapi kehidupan ini harus tetap dijalani. Sebagian mereka menunggu bawang datang, nanti jadi kuli kupas. Kalau subuh gini dikerjakan, entar jam sepuluhan udah bisa balik. Bisa ngerjakan yang lain lagi."

"Oh. Kasihan. Tapi, kamu gak kerja kayak mereka, Za?"

"Karena aku biniknya Bang Raymon. Gak boleh kerja, dulu Bang Raymon juga seperti mereka, kerja serabutan, kadang jadi tukang parkir. Sejak kenal Bang Admon. Suamiku sedikit banyak berubah haluan bisnis. Alhamdulillah, sukses dan aku tidak perlu jadi kuli kupas, apalagi kuli angkat-angkat, capek banget itu, Mel."

"Kuli angkat-angkat di pasar juga dikerjakan perempuan?" tanya Mela bergidik, membayangkan dirinya mengangkat barang-barang berat di pasar. 

"Tu, yang pakai topi caping kuli angkat di pasar, yang pakai sepatu bot, itu tukang turunkan barang dari truk sayur, kentang dan banyaklah."

Mela melongo. Ma sya Allah. Banyak wanita kuat ternyata di dunia. Jadi, Admon itu masih di atas suami Reza tarif hidupnya. Jika perubahan nasib Reza dan suaminya ada di tangan Admon artinya Mela akan bahagia. 

Senyum gadis itu mengembang seiring apa yang ia pikirkan menyimpulkan sendiri keadaan. Hatinya berdesir tak karuan membayangkan betapa indah menjadi istri seorang Admon. 

Niat Mela semakin membulat. Jalan singkat menuju kebahagiaan ternyata begitu mulus, Mela tersenyum manis sekali. Menambah jelita wajahnya dijelang subuh--pagi buta.

"Mel, kamu tau gak? entah karena kebetulan, ibuku anak sulung, dan para teman wanitanya yang kuat-kuat itu hampir merata anak sulung. Memang tidak semua, tapi kebanyakan--mereka sulung. Sulung yang dituntut kuat berhati baja."

Mela terdiam. Pundak sulung harus sekuat karang. Tempat bersandar adik-adik semua. Itu benar.

Hari telah menunjukkan fajar dengan kode suara mengaji dari toa-toa mesjid. 

Kedua wanita sebaya itu lelah berceloteh, mengakhiri dengan saling diam bukan karena kehabisan obrolan. Tapi, merenung tentang cita-cita yang mereka telan, terbengkalai sebab berstatus sulung.

Ibu Reza masih belum beranjak--berbaur dengan beberapa wanita di ruang tamu yang cukup besar. Semakin dini mendekati pagi, kunjungan semakin ramai sekali.

Tawa meledak tiap menit, semua yang mereka perbincangkan seolah komedi melepas lelah. Mela masih ingin berbincang banyak hal dengan Reza. Terutama tentang sosok Admon yang belum datang juga. 

Sesekali hatinya bertanya mengapa Admon menerima perkenalan ini. Bukankah mereka belum saling kenal?

Mengapa Admon kebelet cari istri, memilih anak SMA seperti Mela, Mengapa bukan memilih dewasa yang berpengalaman. Jangankan punya pacar, kenal dekat lelaki saja Mela jarang. 

Hanya mengenal beberapa teman pria di sekolah. Tapi, Mela tidak pernah akrab.

Bukan mereka tidak mau mengakrabkan diri dengan Mela, atau sebaliknya, melainkan takut akan Nila yang bagai bertanduk jika melihat teman lelaki Mela datang  ke rumahnya.

"Kalau kamu masih mau sekolah, ikuti kata Mama. Jangan sok akrab dengan cowok. Para lelaki itu hanya memanfaatkan kamu. Kalau sudah pacaran lupa jalan pulang. Lupa sekolah, lupa semuanya."

Terngiang repetan panjang ibunya, Mela menarik napas. Sebenarnya ia rindu rumah. Tapi, tidak ada pilihan mengubah nasib selain dari apa yang direncanakan Reza dan dirinya--menikah muda dengan orang kaya.

Perkataan Nila--berteman dengan jenis lelaki hanya akan berdampak buruk, Nila ternyata salah defenisi, apalagi persepsi. Justru Mela, sang gadis perawan manis, merasakan dampak buruk perlakuan ibunya sendiri. Kehilangan jadwal bermain. Lebih menghancurkan daripada balita tunawisma mengemis recehan.

"Sabar ya, Mel, Bang Admon lagi shift malam. Palingan--mau subuh udah sampai, dia ngecek karyawannya dulu."

Reza kembali seolah tahu apa yang dipikirkan Mela, gundah yang dinanti belum tiba. 

"Berapa gerai usaha Bang Admon?" tanya Mela memastikan, benarkah suaminya itu kaya, seperti tutur Reza. Atau hanya bual saja.

"Cafe paling menghasilkan, ya, Vape Shop. Kamu lihat sendiri pas datang, aku jamin langsung jatuh cinta."

"Vape Shop itu apa?" tanya Mela bingung. Reza menutup mulutnya untuk tidak menertawakan teman. 

"Itu lo, Mel, tempat orang-orang merokok elektrik dengan bebas, plus menjual segala alat-alat untuk memfasilitasi para pecandu Vape, Vape itu jenis rokok elektrik yang sekarang lagi viral." 

Mela memainkan bola matanya, keningnya mengerjit. 'Kirain Vape sejenis anti nyamuk' bhatin Mela tertawa. Untung tidak mengatakan pada Reza, dalam pikiran polos seorang Mela. Vape shop adalah toko penjual khusus anti nyamuk.

"Eh Kamu ngomongnya kok kayak anak sekolahan, maksudku kayak mahasiswa gitu?" tanya Mela heran, susun kata Reza seolah dia bukan seorang wanita putus pendidikan. Lalu mencari jalan ninja untuk kebahagiaan.

"Emang kamu pernah jumpa mahasiswa?" tanya Reza balik, dari mana Mela menilai dirinya seperti itu.

"Ya, pernah, kemarin aja ada yang promosi ke sekolahku, promo kampus gitu, katanya setahun kuliah bisa langsung kerja, beasiswa dan penempatan."

"Hati-hati promo kayak begituan, bilang sama teman-teman lain, banyak kampus bodong sekarang, sekolah di ruko-ruko, eh taunya ijazah palsu. Mending putus sekolah kayak aku. Gak sekolah bukan berarti buta lo, Mel. Aku udah punya anak. Dua lagi. Buta dunia terkini, cikal bakal anak kita ikutan buta."

"Kamu dari dulu cerdasnya gak ilang ya, Za. Tapi, harus rela menikah muda," puji Mela tulus.

"Demi adik-adik, Mel. Kalau aku egois, memaksakan diri untuk kuliah, yang ada ibuku stress. Mana harus irit, tiap tahun harus beli buku, belum lagi seragam, walaupun sekolah negeri, tetap aja kertas latihan lembar kerja siswa--di-ba-yar. Gak ada yang gratis, bantuan pemerintah untuk anak sekolah, cuma dua orang di antara ratusan, ya gak kejaring. Belum jajan adik, sepatu tiap tahun, terus tas dan lain sebagainya. Sebagai anak sulung, kita harus mengalah."

"Kamu benar, Za. Kita anak sulung ini harus punya tanggung jawab, kata mamaku, percuma anak sulung kalau manjanya kayak anak bungsu."

Pikiran keduanya sama, sulung tumpuan, bungsu manja-an. Padahal di belahan bumi lainnya, bisa ada bungsu yang mengemban amanah persis sulung dalam pikiran mereka.

"Benar banget, Mel. Adikku manjanya ngak ketulungan, kebiasaan dari kecil ngarap dari aku. Lagian, meskipun kita gak sekolah, sekarang ada Mbah cerdas."

"Mbah cerdas? Kamu belajar sama Mbah cerdas itu?" tanya Mela menumpu dagu di telapak tangan--bingung.

"Mbah cerdas itu gugel, Mela. Masa kamu gak tau. Isshh gemes," keluh Reza merasa kalau Mela yang sudah mencicipi bangku SMA semakin bodoh saja.

"Ohh gugel, kirain apaan. Kalau gugel aku tau, soalnya di rumah ada smartphone untuk akses saat pandemi kemarin. Papa belikan--Nyicil, sih. Tiap hari harus buka gugelmit. Makanya, aku tau. Untung aja jadwal daring aku, gak pernah sama dengan Relon dan Reno. Bisa kacau kalau benturan."

Keduanya tertawa.

Entah menertawakan apa. Kehidupan hari ini? Atau masa depan yang tiada kepastian.


*

Berputar, riuh rendah suara-suara dirinya dan Mela bermain-main di telinga. Nila terhuyung lagi. Mendapati kenyataan si sulung belum ditemukan.


Mela kamu di mana?

"Assalamualaikum, Abang ... "

"Sudah berapa kali abang bilang, kerjaan ini susah didapat. Jangan sering nelpon, nanti abang dipecat mandor. Kamu itu ... terus saja mengeluh, yang Vina begini, yang Mela begini, yang Relon begitu ... abang udah hapal apa yang mau kamu bilang kalau nelpon. Masalah cicilan rumah, itu  urusan abang, kelewat lebay kamu kalau mikirin itu. Ada permintaan tenor perpanjangan, reskejul namanya, juga bisa pengajuan restrukturisasi ... "

Belum selesai kalimat dari seberang--Nila. Suara dari seberangnya sudah menunjukkan gusar. Membombardir kalimat seolah apa yang hendak Nila katakan semua sudah menjadi rutinitas. 

Hingga Nila memejam mata lelahnya. Ingin gila dalam satu waktu.

"Bu-bu-bukan tentang itu, Abang." Nila memotong pembicaraan sebelum hatinya semakin sakit.

"Me ... Mela kabur!"

Mandri terdiam di seberang.

#TBC



 


Komentar

Login untuk melihat komentar!